"HAI, pacar."
"Aku bukan pacar kamu."
"Lho, pacar kok."
"Bukan."
"Masa sih? Kita udah sejauh ini masa gak pacaran?"
"Sejauh apa maksud kamu?"
"Yaa, sejauh kayak udah tidur barhmpp..."
Gavin tidak sempat melanjutkan perkataannya karena Liasha lebih dulu menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Gavin," tegur Liasha seraya menarik tangannya dari mulut laki-laki itu.
"Arabella," balas Gavin dengan senyum tidak tahu dirinya.
Tubuh Liasha agak menegang ketika laki-laki itu menyebut nama kakaknya. Ia mendesah pelan, berusaha tetap tenang dan terkendali. Liasha sudah berjanji kalau ia hanya akan bersenang-senang di sini, melakukan apa yang ingin ia lakukan, melupakan semua masalahnya di Indonesia. Membahas mengenai tetek-bengek romansa itu tidak ada di daftar keinginannya ketika pertama kali menginjakkan kakinya di Los Angeles. Bertemu dengan Gavin hanya bagian tidak terduga dalam perjalanannya, ia sama sekali tidak berniat serius akan hal itu.
"Terserah kamu ajalah," kata Liasha mengibaskan tangannya tidak mau ambil pusing. Gavin tersenyum sumringah, ia menggenggam tangan Liasha, berjalan santai merasakan angin sore yang menghantam wajah mereka penuh kedamaian.
"Jadi kita udah pacaran hari ini," kata Gavin memutuskan sendiri.
"Kamu pacaran sama cewek yang bahkan baru tiga hari kamu kenal? Gak takut kalau aku tipu?" tanya Liasha tidak mengerti kenapa Gavin merespons berlebihan mengenai hubungan mereka berdua. Tentu saja, Liasha juga tidak tahu apakah Gavin memang bersikap serius mengenai ucapannya, atau memang godaan semata. Siapa tahu pria ini sudah memiliki perempuan lain di Jakarta, bukan?
"Aku tau kamu bukan tukang tipu," sahutnya percaya diri.
"Dari mana?"
"Insting."
Liasha mendengus tidak percaya. "Kamu cuma ngandelin insting doang?"
"Jangan remehin insting Gavin Varren, dong. Selain ganteng, ramah, baik, dan humanis, insting Gavin itu kuat banget," ujarnya membanggakan dirinya sendiri dengan ekspresi wajah yang berlebihan.
"Tengil banget ya mukanya," komentar Liasha.
Gavin terkikik geli. "Pokoknya kita pacaran, titik," cetusnya. "Gak ada drama penolakan, penghinaan, atau pemutusan sepihak. Kita pacaran!" tandas Gavin kemudian.
Liasha menggelengkan kepalanya dengan kelakuan laki-laki itu yang diluar nalar. Terserah laki-laki itu memikirkan apa tentang mereka berdua, Liasha hanya perlu diam, dan semuanya akan baik-baik saja. Apa yang bisa kauagungkan dari sebuah pertemuan singkat? Kau bisa melupakannya begitu saja lalu menjalani kehidupanmu yang lain. Kalau menjalin hubungan dengan Liasha begitu mudah, Gavin juga akan melakukan hal yang sama kepada gadis lain yang ia temui dikemudian hari. Jadi, Liasha tidak perlu ambil pusing. Ia bukan tipikal gadis yang bisa dengan mudah menjalin hubungan baru bersama orang lain, karena ia sudah lama menghapus kemungkinan itu dalam hidupnya. Nyaris sepenuhnya.
***
Menjalin hubungan dengan seseorang itu penuh risiko. Untuk seseorang yang tidak begitu memedulikan komitmen, setidaknya begitulah menurutnya. Berbeda dengan saudara-saudara sepupunya yang menganggap jatuh cinta-berpacaran-menikah itu pasti, Gavin justru menganggap hal-hal semacam itu hanya akan menyiksanya. Tapi tidak untuk kali ini, gadis itu sudah mengambil hatinya sejak pertemuan pertama. Laki-laki itu ingin percaya kalau ia juga berhak memilih jalan lain yang berbeda dari biasanya. Ia berhak jatuh cinta, berpacaran, dan... baiklah, kecuali untuk pernikahan. Itu terlalu jauh, ia akan memikirkan itu lain kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer We Met
Aktuelle LiteraturLiasha Kiran merasa hidupnya tidak berguna. Ia merasa sudah tidak memiliki gairah untuk menjalani hidup sejak satu tahun yang lalu. Namun kakaknya bersikeras agar dirinya mau menjalani perawatan psikologis agar ia mulai membaik seperti sedia kala. K...