Bab 5 - When the Summer Ends

2K 201 13
                                    

"AW! Aw sakitt!"

"Sabar."

"Sakit, Bel."

"Jadi cowok jangan cengeng!"

Gavin menghela napas berat. "Maksud aku bukan dicintai kayak gini, Bel. Ini namanya penyiksaan," ujarnya.

"Mana ada sih penyiksaan? Ini supaya kamu juga mandinya bersih," kata Liasha.

Kini gadis itu tengah menggosok punggung Gavin dengan spon kasar di bathup kamar mandinya.

"Ini spon apa sih? Kok kasar banget perasaan."

"Spon yang aku bawa dari rumah," sahut Liasha.

"Kenapa kamu sampe bawa ke sini?" tanya Gavin bingung. Kenapa Liasha harus repot-repot membawa spon semacam ini? Untuk apa?

Liasha tak langsung menjawab, namun itu justru membuat Gavin makin penasaran.

"Kenapa, Bel?" tanya Gavin menuntut jawaban.

"Gak kenapa-napa," sahut Liasha tersenyum setengah hati. "Cuma udah kebiasaan aja gitu, kayak aku sering ngerasa kalau mandi aja gak cukup buat bersiin tubuh," tambahnya.

"Ooh," gumam Gavin tanpa curiga.

Sebelum Liasha selesai menggosok punggung Gavin, laki-laki membalikkan tubuhnya menghadap Liasha.

"Sini giliran aku," tawarnya.

"Gak usah, Vin. Aku bisa sendiri kok," tolak Liasha langsung. Ia tampak tidak nyaman dengan tawaran yang diberikan laki-laki itu.

Gavin tersenyum simpul, ia mengambil spon yang berada di tangan Liasha lalu menyentuh kedua bahu gadis itu, dan menyuruhnya berbalik.

"Tenang aja, aku gak bakal bales dendam. Aku gak punya keinginan buat gosok punggung kamu dengan kasar," kata Gavin dengan nada setengah menyindir. Gadis itu mendengus kecil namun memutuskan untuk tidak berkomentar.

Begitu melihat punggung Liasha, senyum Gavin seketika menghilang tergantikan dengan kerutan di dahi. Ada begitu banyak goresan luka samar di punggung gadis itu. Dari mana gadis itu mendapatkan banyak goresan semacam ini? Apakah karena menggunakan spon terlalu sering?

"Kok diem aja, Vin?" tanya Liasha.

Gavin berdeham kecil. "Enggak, aku cuma lagi mikir, kenapa setiap liat punggung kamu rasanya selalu pengen nyandar," katanya berbohong. Meskipun ia sangat penasaran, Gavin tidak akan bertanya alasannya kenapa. Ia hanya tak ingin sampai menyinggung Liasha.

Gadis itu tertawa kecil. "Apaan sih."

"Dih gak percaya? Nih." Gavin menundukkan kepalanya untuk bersandar di punggung Liasha.

"Gavin," tegur Liasha.

"Nyandar sama pacar sendiri itu nyaman banget," katanya manja.

Liasha memutar matanya jengkel. Sampai kapan sih Gavin berhenti berkata kalau Liasha ini pacarnya. "Kita gak pacaran," tandasnya.

"Apa? Gak denger," ujar Gavin pura-pura tidak mendengar.

"Kita gak pacaran," ulang Liasha.

"Apa? Kita pacaran? Ya kan emang," cetusnya. Liasha mendesis sebal, ia menggerakkan tubuhnya hingga Gavin mengangkat kepalanya yang menyandar di punggung gadis itu.

"Nyebelin!" pekik Liasha di hadapan Gavin dengan nada kesal.

"Gak nyebelin," balas Gavin.

"Nyebelin."

"Apa sih Sayang, marah-marah terus?" kata Gavin tidak memedulikan kekesalan yang dilayangkan Liasha untuknya.

Liasha mencipratkan air di bathup ke wajah Gavin hingga sontak membuat laki-laki itu memejamkan matanya.

"Arabella," geramnya.

"Makan tuh sayang!" pekik Liasha mengangkat dagunya menantang.

Gavin mengusap wajahnya yang terkena cipratan air. "Kamu pikir aku gak bisa?" desisnya pelan. Gavin pun melakukan tindakan yang sama seperti yang Liasha lakukan sebelumnya.

Liasha sontak memejamkan matanya ketika wajahnya terkena cipratan air dari Gavin. Ia kembali membalas perlakuan Gavin kepadanya, begitu juga dengan Gavin. Alhasil alih-alih mandi, mereka berdua malah berperang air sambil tertawa kencang.

Melihat gadis di hadapannya tertawa gembira entah mengapa membuat perasaan Gavin menjadi tenang, seolah-olah memang itulah keinginannya, membuat gadis itu bahagia di sampingnya.

***

Liasha tersenyum kecil melihat seorang laki-laki yang tengah tertidur dengan tubuh yang ditutupi selimut, ia terlihat nyenyak sekali setelah percintaan mereka berdua.

Gadis itu kemudian bangkit berdiri, ia mengenakan kembali pakaiannya yang berserakan di lantai hotel. Liasha mengambil kamera digitalnya yang berada di sofa hotel, untuk kesekian kalinya ia melihat-lihat foto yang mereka berdua ambil hari ini. Senyumnya mengembang, walaupun hari ini ada sedikit perasaan aneh yang menghampirinya, tapi Liasha tidak bisa berbohong betapa menyenangkannya hari ini.

Ia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Liasha melangkahkan kakinya menuju jendela kamar hotelnya, ia menyikap sebelah jendela dan menatap pemandangan malam tanpa berkomentar. Satu hal yang harus selalu diingatnya ketika merasa bahagia, bahwa kebahagiaannya saat ini hanya sekadar mimpi di musim mata semata. Dan musim panas paling cepat berakhir.

To Be Continued...

Summer We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang