GAVIN VARREN melirik sekilas ponselnya yang menyala karena ada yang menelepon. Ia mengabaikan panggilan telepon itu dan memfokuskan pandangannya ke arah televisi berukuran tiga puluh lima inci. Melihat bagaimana Ferry melakukan tugasnya menjelaskan high risk-high return mengenai produk investasi yang akan mereka pilih terasa jauh lebih menarik ketimbang meladeni orang-orang yang putus asa. Well, itu makanan Gavin sehari-hari, jadi sudah bukan hal aneh.
Pada dasarnya uang dan kekuasaan akan tetap berdampingan sampai dunia berakhir. Dari zaman majapahit hingga zaman modern, orang-orang dinilai berdasarkan kekuasaan yang mereka miliki. Gavin senang karena sejak kecil ia sudah punya hak istimewa itu, maka dengan begitu tak ada orang yang berani melukainya.
Pria itu memejamkan matanya erat-erat karena getaran ponselnya mengganggu konsentrasi. Ia mengangkat sebelah tangannya untuk memberi tanda kepada Ferry untuk berhenti sejenak. Gavin kembali melihat layar ponselnya, kedua alisnya tertaut saat melihat nama yang tertera di panggilan telepon.
"Halo," kata Gavin setelah menempelkan ponselnya ke telinga. Ia menunggu sedetik, dua detik, tiga detik, tapi tidak ada suara apa pun yang terdengar.
"Kalau gak ada yang mau diomongin, mending teleponnya saya matiin—"
"Maaf." Baru saja Gavin hendak mematikan panggilan telepon tersebut, tiba-tiba muncul suara perempuan yang menyebutkan kata 'maaf' dengan nada tergesa-gesa.
Bibir Gavin tertarik membentuk sebuah senyuman. "Maaf?" katanya balik mempertanyakan maksud dari ucapan seseorang di ujung sana.
"Sebelumnya aku minta maaf karena tiba-tiba telepon dan ganggu waktu kamu, Vin. Tapi ada yang pengen aku omongin sama kamu, bisa gak kita ketemu hari ini?" kata perempuan tersebut mendesak.
"Aku rasa pertemuan terakhir kita di kafe kemarin udah menyelesaikan segalanya. Apa yang perlu kita bahas lagi?" tanya Gavin nampak tidak tertarik.
"Ini tentang Capital Asset yang tiba-tiba narik investasi dari Diamond," jawab gadis itu. Gavin sudah menduganya, ternyata tak butuh waktu lama untuk membuat Liasha Kiran menderita.
"Terus?" sahut Gavin pura-pura tidak mengerti.
"Aku..." kata-kata gadis itu sempat terhenti. "Apa yang kamu lakuin itu gara-gara aku?" lanjutnya agak tertekan.
Gavin tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak. "Kamu nelepon aku karena itu?" tanyanya tidak percaya. "Astaga, orang bilang kita bakal ngelakuin apa aja kalau udah melarat, ternyata bener," gumamnya lebih kepada diri sendiri.
"Kenapa kamu pikir alasan dibalik aku tarik investasi dari Diamond karena kamu? Aku gak tau kamu orang senarsis itu," ujar Gavin lagi bernada sindiran.
"Terus kenapa kamu mendadak tarik investasi?"
"Karena aku mau," sahut Gavin santai. "Aku gak melihat tanda-tanda Diamond bakal nguntungin Capital Asset, lalu di mana salahnya? Denger ya Mbak Liasha Kiran Yang Terhormat, terlepas dari apa yang terjadi di antara kita berdua, aku ini pebisnis. Aku gak pernah bawa masalah pribadi ke dalam urusan bisnis," tambahnya.
Gavin mengangkat kepalanya ketika melihat Ferry menganggukan kepalanya saat menerima panggilan telepon dari seseorang.
"Pak Gavin, di bawah ada Mbak Arabella dari PT Diamond," jelas Ferry pada atasannya.
Momen yang tepat! Semesta sedang memihak Gavin rupanya.
"Kalau gak ada yang penting, aku tutup teleponnya ya. Soalnya aku harus ketemu sama Mbak Arabella Kiran dari PT Diamond Publisher. Menurut kamu aku perlu nemuin dia gak? Apa perlu aku langsung usir aja?" Gavin bertanya meminta pendapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer We Met
Ficción GeneralLiasha Kiran merasa hidupnya tidak berguna. Ia merasa sudah tidak memiliki gairah untuk menjalani hidup sejak satu tahun yang lalu. Namun kakaknya bersikeras agar dirinya mau menjalani perawatan psikologis agar ia mulai membaik seperti sedia kala. K...