"AKU bilang, kenapa kamu ngelakuin itu? Aku kurang apa?"
"Kamu pacar yang baik, cuma kamu gak cukup aja. Badan kamu gak begitu bagus, kalau boleh jujur, aku gak bergairah setiap liat kamu. Kamu gak menarik sebagai cewek."
"Kalau menurut kamu aku gak cukup, kenapa kamu gak mutusin aku alih-alih selingkuh?"
"Entahlah, aku juga bingung kenapa gak mutusin kamu dari awal. Mungkin karena hubungan kita udah lama, dan ada rencana mau nikah juga. Aku mikir kita bisa ngejalanin ini, tapi kayaknya gak bisa. Kita putus aja."
"Kamu ngomong gini karena ketauan aja, kalau gak ketauan, kamu bakal terus pura-pura jadi cowok yang tulus di depan semua orang. Dipikir-pikir aku beruntung juga. Karena bisa lepas dari cowok se-anjing kamu!"
"Jaga ya omongan kamu!"
"Kamu yang harus jaga omongan kamu! Yang salah di hubungan kita itu kamu. Gimana bisa kamu bersikap seolah-olah kamu gak buat salah? Kenapa kamu selalu bersikap manipulatif!"
"Oke, fine! Aku salah karena aku selingkuh, tapi bukan berarti kamu juga gak salah, Sha. Alasan aku selingkuh karena kamu terlalu sibuk kerja, kamu juga kurang perhatian, mana kalau ketemu kamu jarang dandan. Setiap ketemu, gak ada satu pun di diri kamu yang bisa buat aku bahagia. Asal kamu tau ya, Sha, semua cowok juga bisa kesepian. Wajar dong aku selingkuh? Kamunya banyak kurang kayak gitu. Harusnya nih ya, harusnya... kamu mohon-mohon sama aku buat jangan ninggalin kamu. Cowok mana yang mau sama cewek kayak kamu? Kamu itu cewek yang ketinggalan zaman, gak ada istimewanya. Gak pantes dicintai."
Liasha Kiran terbangun dari tidurnya dalam sekali hentakan. Napasnya terengah-engah, pelipis dan lehernya berkeringat. Gadis itu mengusap wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menetralkan detak jantungnya yang berdebar sangat kencang.
Ia memejamkan matanya sebentar berusaha menenangkan dirinya sendiri. Tenang, semuanya bakal baik-baik aja. Semuanya bakal baik-baik aja.
Setelah merasa dirinya jauh lebih tenang, ia mulai membuka matanya secara perlahan. Ia membasahi bibirnya yang kering, dan mengusap peluh di lehernya. Pandangannya teralih pada seseorang yang tidur di sampingnya dengan nyenyak.
Liasha mengerjap-ngerjapkan matanya berulang kali, berusaha menghalau air matanya yang hendak jatuh menuruni pipi. Gadis itu meremas kedua tangannya kuat-kuat, bibirnya mulai bergetar menandakan dirinya sudah tidak sanggup menahan air matanya yang kini terjatuh begitu saja tanpa sempat ia cegah.
Rasa sakit itu kembali datang menerjang harapan-harapan indahnya mengenai dunia. Atau memang ia sudah kehilangan harapan itu sejak lama.
***
Keesokan paginya, Gavin mengatakan kepada Liasha bahwa dirinya memiliki banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan hari itu juga. Gavin juga mengatakan kalau dirinya akan bertemu dengan gadis itu saat jam makan malam nanti. Ia akan membuat makan malam mereka hari ini menjadi malam paling terindah.
Sejujurnya, Gavin cenderung enggan serius dalam sebuah hubungan asmaranya. Namun ada sesuatu yang mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa ingin mengenal gadis itu jauh lebih baik daripada saat ini, amat sangat, khususnya untuk kurun waktu yang lama.
"Udah booking tempat yang saya mau, Fer?" Gavin bertanya kepada seorang pria yang baru saja memasuki kamar hotelnya dengan senyum ramah.
"Sudah Pak, sesuai permintaan Bapak," kata Ferry lugas.
"Terima kasih, Fer."
Ferry terlihat ragu sejenak tapi kemudian ia memutuskan menanyakan sesuatu yang membuatnya penasaran. "Mohon maaf sebelumnya Pak, tapi saya ingin bertanya. Apa Bapak bener-bener serius? Bapak gak ada niat pertimbangin lagi?" tanya Ferry dengan kerutan di dahi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer We Met
Fiksi UmumLiasha Kiran merasa hidupnya tidak berguna. Ia merasa sudah tidak memiliki gairah untuk menjalani hidup sejak satu tahun yang lalu. Namun kakaknya bersikeras agar dirinya mau menjalani perawatan psikologis agar ia mulai membaik seperti sedia kala. K...