Bab 10 - Because You Are Good Person

1.5K 174 4
                                    

TRAUMA itu dampaknya sangat luar biasa.

Saat kau dilukai seseorang hingga menyebabkan perasaan trauma yang besar, pandanganmu kepada dunia dan orang lain juga akan berubah.

Trauma membuatmu banyak melakukan penilaian terhadap apa pun. Ketika ada orang yang bersikap baik kepadamu, kau akan menganggap ia menginginkan sesuatu darimu. Ketika ada orang yang menyatakan cintanya padamu, kau akan menganggap ia memanfaatkanmu demi kebutuhan pribadinya sendiri. Apa pun yang dilakukan orang lain kepadamu tidak membuatmu tersentuh, senang, maupun bersyukur.

Penilaian-penilaian itu juga perlahan menimbulkan ribuan pemikiran tidak jelas di dalam kepala. Perlahan kau mulai merasa orang-orang tidak menyukaimu, kau kau merasa dibenci dan diasingkan, kau juga takut tidak bisa diterima oleh siapa pun. Dan pada akhirnya pikiran-pikiran itu membentuk kecemasan tentang masa depan.

"Tadi ke mana aja?" Gavin menaruh piring berisi steik yang sudah ia potong-potong di hadapan Liasha.

Liasa menerimanya dengan senyum kecil. "Makasih," gumamnya. "Aku jalan-jalan aja di sekitar sini, cuma aku lupa jalan pulang," ujarnya menjawab pertanyaan Gavin sebelumnya.

"Kayaknya sekarang kamu gak bisa deh ke mana-mana sendirian lagi, aku takut kamu diculik," kata Gavin dengan nada serius tapi Liasha malah tertawa mendengarnya.

"Emang siapa yang bakal nyulik aku? Gak ada untungnya juga bagi orang yang mau culik aku," sahut Liasha sembari memasukkan potongan daging ke dalam mulutnya.

"Ada," kata Gavin langsung.

Liasha memiringkan kepalanya ke sebelah kiri. "Apa itu?" tanyanya penasaran.

"Kamu cantik," jawab Gavin sungguh-sungguh.

Gadis itu memutar bola matanya. "Please deh, ada milyaran cewek cantik yang lebih dari aku. Lebih sempurna, lebih ramah, dan lebih baik. Penculik cuma milih orang-orang yang menguntungkan buat mereka. Sedangkan aku? Itu gak bakalan mungkin."

Dahi Gavin berkerut mendengar bagaimana Arabella merendahkan dirinya sendiri. Ia sudah sering menghadapi perempuan 'pick me' yang suka sekali merendahkan dirinya hanya untuk meroket. Mengatakan diri sendiri jelek padahal mereka sendiri sadar bahwa mereka cantik. Mereka ingin diakui, mereka ingin memastikan bahwa orang lain melihat mereka dengan cara yang baik. Tapi kenapa ia tidak bisa melihat itu dari Arabella? Gadis itu seperti benar-benar merasa dirinya tidak cukup bagi siapa pun.

"Menurutku enggak," sahut Gavin tidak menyetujui gagasan itu.

"Kenapa enggak?"

Gavin mengangkat bahunya ringan. "Karena menurut aku, kamu itu orang yang mudah buat seseorang jatuh cinta. Seseorang yang bisa buat hari orang lain berubah indah." Ini bukan gombalan yang biasa Gavin layangkan kepada gadis mana pun, perkataan ini sungguh-sungguh dari dalam hatinya. Setiap kali melihat Arabella, Gavin merasa harinya berjalan menyenangkan.

"Aku suka ngabisin waktu sama kamu. Kamu buat aku bahagia," lanjut Gavin lagi.

Urat leher Liasha mengencang mendengar ucapan itu dari mulut Gavin. Kedua tangannya saling tertaut di bawah meja, namun ia berhasil menjaga ekspresi wajahnya seolah-olah tidak terpengaruh dengan apa yang laki-laki itu katakan di depannya.

"Apa yang buat kamu bahagia sama aku?" tanya Liasha ingin tahu.

"Karena aku suka sama kamu," jawab Gavin tanpa jeda.

Liasha terbahak kecil. "Gavin you just—"

"...Mungkin lebih dari itu," lanjut Gavin yang berhasil membungkam mulut Liasha. Jantung gadis itu mendadak berdebar sangat kencang sampai dirinya takut Gavin juga mendengarnya.

"Mungkin... lebih-lebih dari itu," tambah Gavin yang semakin membuat Liasha gelisah.

Liasha berdeham pelan. "Tapi kita baru seminggu saling kenal, Gavin. Gimana bisa kamu nyimpulin perasaan kamu lebih dari rasa suka?" Liasha sendiri bingung mengapa dirinya perlu mengajukan pertanyaan tersebut kepada Gavin. Sesuatu yang diawali tanpa perasaan bisa kendalikan tanpa perasaan juga. Tapi kenapa...? Kenapa ia ingin mendengar lontaran-lontaran kata yang membuatnya yakin bahwa itu sebuah kebenaran?

"Kamu gak suka sama aku?" Bukannya menjawab pertanyaan Liasha, Gavin justru malah membalikkan pertanyaan kepada gadis itu.

"Apa?"

"Kamu suka kan ngabisin waktu sama aku? Kalau enggak, kamu nggak mungkin buang-buang waktu liburan kamu cuma demi cowok yang kamu temui di depan bandara. Aku juga begitu."

Perlahan Gavin bangkit dari kursinya lalu berjalan menuju kursi Liasha, dan berjongkok di bawah gadis itu. Detak jantung Liasha makin tidak terkendali, tatapan Gavin membuatnya tubuhnya tidak bisa bergerak sama sekali.

"Bel, aku gak mau nyia-nyiain waktu buat memastikan sesuatu yang udah pasti. Apa pun yang aku bilang malam ini, semuanya jujur dari hati aku."

Kali ini ucapan Gavin membuat jantung Liasha seketika berhenti berdetak. Terlebih lagi saat ia melihat Gavin merogoh saku celana yang dikenakannya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam berbahan beludru di depannya.

"Gavin..." lirih Liasha yang takut bahwa tebakannya benar apa adanya.

Laki-laki itu membuka kotak berwarna hitam itu lalu menunjukkan apa yang ada di dalamnya. "Bel, aku pengen hubungan ini berlanjut sampai kita berdua balik ke Jakarta. Tapi bukan hubungan tanpa ikatan kayak gini, aku pengen lebih dari itu," ucapnya.

Liasha terdiam. Ia terlalu tercengang untuk bergerak maupun mengatakan sesuatu. Pandangannya terarah kepada sebuah cincin yang terbuat dari mas putih dengan berlian mungil di atasnya. Entah bagaimana bisa hal yang berkilau itu telah berhasil membuatnya meneteskan air mata tanpa dirinya sendiri sadari.

"Aku pengen ketemu kamu tiap hari. Di mana pun kamu berada, aku pengen selalu ada di sisi kamu. Setiap hari, setiap saat, kalau bisa setiap detik. Aku pengen ngejalanin hari-hariku sama kamu terus." Gavin menarik napasnya dalam-dalam kemudian mengembuskannya dengan hati-hati.

"Kamu mau gak ngejalanin hari-hari kamu sama aku terus? Dimulai hari ini, dan semoga sampai selamanya."

Apa aku berhak dicintai seseorang seperti ini?

Apa cinta yang dilontarkan pria di hadapannya ini hanya awalan manis yang berakhir pahit seperti sebelumnya?

"Arabela, kamu mau gak nikah sama aku?"

Mata Liasha mengerjap sebanyak dua kali. Mendengar nama kakaknya yang disebut Gavin, gadis itu baru tersadar bahwa apa yang terjadi padanya saat ini adalah ilusi yang ia buat sendiri. Sebuah ilusi di musim panas yang bisa berakhir kapan saja.

Apa pun yang ia lakukan hari ini semuanya juga akan menghilang seperti buih.

Karena itu ia...

"Vin, aku juga ngerasain hal yang sama kamu. Apa aku harus bilang 'Yes, I do'? Menurut kamu, apa itu jawaban yang pantes buat kita ke depannya?"

Gavis mengembuskan napas yang ternyata telah ia tahan selama menunggu jawaban dari mulut Arabella. Oh astaga, gadis itu juga merasakan hal yang sama dengannya.

"Kamu percaya sama aku?" tanya Gavin, ingin memastikan

Liasha menganggukan kepalanya. "Hm-mm, karena kamu orang yang baik."


To Be Continued...

Summer We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang