"GUE udah gila. Orang gila."
Tiba-tiba saja seorang pria yang duduk di sebuah ruangan itu tertawa. Pria itu tertawa kencang sambil memukul mejanya berkali-kali.
"Hahahahahaha udah gila gue, udah gila..." katanya sambil menggelengkan kepalanya. Ia tertawa begitu keras sampai air mata keluar dari sudut matanya.
"Kenapa omongan itu bisa keluar dari mulut gue?" tanyanya menunjuk dirinya sendiri tidak percaya. "Maksudnya, kenapa gue bisa kepikiran ngomong kayak gitu? Sebenernya kenapa?" gumamnya bingung kepada dirinya sendiri.
"Saya nggak mau."
Teringat kembali kalimat perempuan itu yang seketika membuat kuping Gavin Varren memerah. Pria itu memejamkan matanya sambil membasahi bibirnya yang kering kemudian ia kembali tertawa. Memalukan. Sungguh memalukan.
"Dia bukan orang normal," komentar Gavin mencoba meyakini diri. "Kalau orang normal pada umumnya bakal bersikap kayak Arabella. Bingung, mikir-mikir dulu, bukan langsung nolak kayak gitu. Bisa-bisanya dia nolak cowok ganteng kayak gue? Bisa-bisanya!" katanya setengah emosi. Ia menghela napas berat dan menyandarkan punggungnya ke kursi.
Gavin melihat jam di pergelangan tangannya dan melirik ponsel di atas meja yang tidak memunculkan tanda-tanda menyala. Sudah mulai sore, tapi gadis itu sama sekali tidak berniat mengirim pesan kepadanya.
Apakah Liasha marah?
Tentu saja, itu sangat jelas. Liasha pasti marah besar padanya.
Gavin tidak mungkin menarik kata-katanya tadi di ruang rapat. Misal Arabella yang setuju menikah dengannya, apa yang harus ia lakukan? Gavin yakin dirinya bukan orang yang se-ceroboh itu, tapi kenapa ia harus melakukan sejauh ini hanya karena ingin menang?
"Tiap hari kalau gak ngelamun ya mencak-mencak kayak ayam lagi nyari jodoh."
Gavin mendesah berlebihan saat melihat kedatangan sepupunya tercinta ke dalam ruangan.
"Gue lagi males bercanda," kata Gavin dengan nada lelah.
"Siapa juga yang mau bercanda? Gue ke sini mau ngajak lo makan di luar. Lo udah makan?" tanya Elvano sementara ia menempelkan bokongnya di kursi yang berhadapan dengan Gavin.
"Belum sih, tapi gue gak laper," jawab Gavin menggelengkan kepala.
Dahi Elvano mengernyit. "Kata Ferry lo belum makan dari siang," ujarnya.
"Gue gak nafsu," balas Gavin tidak bersemangat.
Elvano mengangguk-ngangguk, ia menatap saudaranya dengan memiringkan kepala. "By the way, kemaren gue gak sengaja ngeliat dua cewek keluar dari ruangan lo. Mereka siapa? Lo gak abis ngehamilin anak orang kan ya?" tanyanya penasaran.
"Setelah lo nganggap gue gay, sekarang lo bilang gue abis ngehamilin anak orang?" cetus Gavin tidak habis pikir.
"Bagus kalau bukan, skandal bisa membuat citra perusahaan buruk soalnya," ucap Elvano lega.
Gavin tertawa kering tapi memutuskan untuk tidak merespons. Tenaganya sudah terkuras habis bahkan untuk sekadar melayangkan pukulan di kepala Elvano.
"Omong-omong, dulu gimana cara lo bisa ngeyakinin Kaluna buat nikah sama lo? Hubungan kalian kan complicated banget." Tak ada angin, tak ada hujan, Gavin tiba-tiba menanyakan hal pribadi kepada Elvano.
"Kalau tentang itu gue juga gak tau. Waktu itu gue cuma ngelakuin apa yang bisa gue lakuin supaya dia mau stay. Kita gak bisa maksa orang buat ngikutin apa yang kita mau, satu-satunya yang bisa kita lakuin adalah percaya sama Tuhan. Cuma Tuhan yang mampu membolak-balikan hati manusia," jelas Elvano panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer We Met
Genel KurguLiasha Kiran merasa hidupnya tidak berguna. Ia merasa sudah tidak memiliki gairah untuk menjalani hidup sejak satu tahun yang lalu. Namun kakaknya bersikeras agar dirinya mau menjalani perawatan psikologis agar ia mulai membaik seperti sedia kala. K...