MOBIL yang ditumpangi Liasha berhenti di sebuah rumah bernuansa modern dengan menggunakan material kaca dan material kayu di bagian sudut rumah. Rumah tiga lantai ini didominasi warna putih gading yang terlihat alami di pandangannya.
Gavin mengajak Liasha mengunjungi kedua orangtua pria itu di hari Sabtu. Sebenarnya gadis itu sangat gugup, entah sudah berapa kali ia berlatih menjawab pertanyaan yang kemungkinan ditanyakan kepadanya.
"Kita udah sampe, ayo turun."
Liasha tersentak dari lamunannya saat mendengar suara Gavin. Gadis itu menatap Gavin dengan mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Kenapa?" Gavin bertanya dengan nada heran.
Liasha memaksakan seulas senyum kecil. "Nggak apa-apa," katanya sambil lalu.
"Kamu gak nunggu aku keluar dari mobil dan bukain pintu buat kamu, kan?"
"Nggak!" seru Liasha cepat. "Aku juga punya tangan sama kaki kok!" lanjutnya dengan wajah memerah.
"Ooh, biasa aja dong nggak usah ngegas," kata Gavin sementara ia membuka pintu mobilnya.
Ngegas? Liasha harus menahan diri agar tidak memukul belakang kepala pria itu saking kesalnya. Bisa tidak sih sehari saja Gavin Varren tidak bersikap menyebalkan?
Liasha membuka pintu bagian samping kemudi dan menutup pintu mobil Gavin dengan keras. Sontak pria itu menoleh cepat ke belakang.
"Ck ck susah emang kalau terbiasa nutup pintu mobil angkot," gumam Gavin yang masih didengar Liasha.
"Mobil angkot?" pekik Liasha.
Gavin membalikkan badannya acuh tak acuh lalu melenggang pergi menuju pintu rumahnya dengan santai. Liasha berdecak dan mau tak mau mengikuti pria itu dari belakang.
Begitu mereka berdua berdiri di depan pintu dengan tangan Gavin yang sudah terangkat hendak mengetuk, tiba-tiba saja pintu terbuka dalam sekali hentakan sampai membuat Liasha dan Gavin melompat saking kagetnya.
"Selamat datang di rumah kami!"
Betapa nyaris copot jantung mereka berdua ketika melihat seorang wanita mengenakan kebaya cokelat dipadu rok batik, di sebelahnya terdapat seorang pria mengenakan batik berwarna cokelat, dan entah siapa laki-laki muda yang juga mengenakan batik yang modelnya sama persis seperti pria di sampingnya.
Siapa mereka ini? Liasha sampai menyentuh dadanya sendiri saking terkejutnya.
"Ya Tuhan! Ma, Pa, ini ngapain sih pake baju ginian?" seru Gavin dengan wajah memerah saking malunya.
Ooh ternyata pria dan wanita ini kedua orangtua Gavin.
"Lo juga nih, ngapain lo ikut-ikutan pake batik kek mau kondangan?" Gavin menunjuk lelaki muda yang masih nyengir di depannya.
"Dih emang ada peraturan tertulis kalau pake batik cuma buat kondangan?" balas lelaki muda itu berani. "Lagian pake batik dan kebaya itu sebagai menunjukkan daya tarik bagi orang asing," katanya mengebu-ngebu.
"Orang asing siapa?" tanya Gavin tidak paham.
Mendadak semua mata memandang ke arah Liasha. "Bukannya seseorang yang belum kita kenal itu disebutnya orang asing? Selamat datang Mbak Liasha Kiran, saya Elvano si ganteng kalem," ucap Elvano Varren sambil melayangkan senyum percaya dirinya di hadapan Liasha. Tak lupa kedua orangtua Gavin menganggukan kepala menyetujui perkataan Elvano.
Gadis itu tercengang bukan main, ia berusaha keras menahan tawa yang sudah diujung kerongkongan. Sedangkan Gavin hanya bisa memejamkan matanya sambil memijit pelipisnya. Sungguh memalukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer We Met
Fiksi UmumLiasha Kiran merasa hidupnya tidak berguna. Ia merasa sudah tidak memiliki gairah untuk menjalani hidup sejak satu tahun yang lalu. Namun kakaknya bersikeras agar dirinya mau menjalani perawatan psikologis agar ia mulai membaik seperti sedia kala. K...