SEMUANYA berjalan dengan baik.
Meskipun aneh, tapi semuanya benar-benar berjalan dengan baik. Projek novel online yang digadang-gadang akan menjadi pondasi PT Diamond Publisher kini kembali dijalankan. Para karyawan juga tidak perlu khawatir mencari pekerjaan lain karena takut menjadi target kandidat PHK perusahaan. Masalah terselesaikan hanya dengan satu surat kesepakatan.
Liasha memandang bunga lily putih yang ia taruh di sebuah vas bunga. Bunga pemberian Gavin. Bunga yang disebut pria itu sebagai simbol lamaran.
"Kalau dipikir-pikir aku udah ngelamar dua orang yang sama. Satu di LA, satu lagi di Indonesia. Walaupun yang aslinya ada di Indonesia, tapi tetep aja itu artinya masih orang yang sama, kan?"
Jantung Liasha mulai berdebar kencang mengingat ucapan Gavin di taman siang itu. Kenapa ia selalu teringat kata-kata pria gila itu setiap kali melihat bunga tulip yang diberikannya?
Gadis itu berdeham kemudian naik ke atas ranjang kamarnya. Ia menutup setengah tubuhnya dengan selimut kemudian memejamkan matanya.
Namun setelah beberapa detik memejamkan matanya, kelopak matanya terbuka secara perlahan. Ia mengubah posisinya menjadi duduk di atas ranjang, lalu mencodongkan tubuhnya untuk membuka laci nakas mejanya.
Liasha mengambil sebuah kotak beludru kecil berwarna hitam dan membukanya. Ia menunduk menatap isi di dalam kotak tersebut dengan ekspresi yang sulit diartikan.
***
"Nikah?"
Mata kedua orangtuanya melebar kaget dengan pengakuan tidak terduga yang dilontarkan anak laki-lakinya.
Gavin Varren menganggukan kepalanya santai sambil menyesap secangkir teh yang ia buat untuk dirinya sendiri. Responsnya sangat jauh berbeda dengan orangtuanya yang berubah gelisah, dan panik tidak jelas.
"Jelas-jelas kamu gak punya pacar selama ini, mau nikah sama siapa?" tanya ayahnya setengah mendesak. Kedua alisnya saling tertaut saking sulitnya memahami tingkah anak semata wayangnya ini.
"Emang kalau gak punya pacar, aku nggak boleh nikah gitu?" Gavin malah balas bertanya dengan nada bingung.
"Ya sama siapa?" seru ibunya nyaris seperti jeritan. "Kamu tiba-tiba bilang pengen nikah kayak gini, siapa coba orangtua yang nggak syok," tambah ibunya mengebu-ngebu.
Gavin hendak membuka mulutnya namun ayahnya cepat-cepat menyela. "Kamu bukan mau nikah sama cowok terus milih tinggal di Jerman, kan?" tanya ayahnya dengan nada sangat hati-hati, Gavin bahkan bisa mendengar getaran dalam suara ayahnya.
"Pa, aku enggak homo!" pekik Gavin, kali ini ikut histeris seperti ibunya. Harus bagaimana lagi ia menjelaskan kepada orangtuanya bahwa anggapan mereka sudah diluar akal sehat?
"Terus siapa?" desak ayahnya tak sabaran.
"Ini aku mau jawab, Pa. Buset dah!" teriak Gavin mengacak-ngacak rambutnya frustrasi.
Ayahnya berdeham. "Kalau calonnya emang bukan cowok, yaudah boleh jawab," katanya mempersilakan.
Gavin menarik napasnya kuat-kuat, ia memandang kedua orangtuanya bergantian dengan pandangan curiga. Awas saja kalau mereka kembali memotong ucapannya, dan membuat spekulasi-spekulasi aneh.
Setelah dirasa suasana berubah kondusif, Gavin mulai bercerita. "Sebenernya aku udah suka cewek ini dari lama. Kebetulan dia anak dari rekan bisnis aku, dan lumayan cantik. Awalnya susah banget ngedeketin dia, tapi lama-lama dia mau juga. Makanya aku ngomong sama orangtuanya, boleh gak kalau aku pengen hubungan yang serius sama dia," kata Gavin sengaja dibuat sesederhana mungkin. Ia malas cerita panjang-panjang, kedua orangtuanya pasti mencari celah untuk melayangkan pertanyaan satu, kedua, dan ketiga. Masalahnya Gavin malas menceritakan cerita sebenarnya, dan sebaiknya memang jangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer We Met
Ficción GeneralLiasha Kiran merasa hidupnya tidak berguna. Ia merasa sudah tidak memiliki gairah untuk menjalani hidup sejak satu tahun yang lalu. Namun kakaknya bersikeras agar dirinya mau menjalani perawatan psikologis agar ia mulai membaik seperti sedia kala. K...