Bab 30 - White Tulips

1.5K 222 26
                                    

MUNGKIN ini bukan keputusan yang buruk.

Liasha Kiran bisa menyaksikan ayahnya begitu gembira setelah menandatangi kontrak kerjasama antara PT Capital Asset dan PT Diamond Publisher. Ia juga bisa melihat betapa tegasnya jabatan tangan antara ayahnya dan Gavin Varren. Oh, mereka bahkan berfoto bersama, di mana ia bisa melihat kakaknya ikut terlibat dengan raut wajah tertekan.

Tentunya bukan hanya ayahnya yang bahagia, para pimpinan dari group yang berada di bawah Diamond juga tidak perlu merasa khawatir lagi. Para karyawan juga otomatis menghela napas lega, karena telah berhasil melewati masa-masa kritis perusahaan.

Semuanya berbahagia. Syukurlah kalau begitu.

Liasha merasa ponselnya berdenting pelan, menandakan ada pesan masuk.

Gavin Varren: "Jangan suntuk mulu dong mukanya, kamu masih harus tanda tangan perjanjian pra nikah kita lho."

Ah betul, perjanjian pra nikah. Hari ini memang bukan cuma ayahnya yang bertanda tangan, tapi kemungkinan Liasha juga.

Gadis itu mendongak, menatap Gavin di ujung depan sana yang tengah menatapnya sambil tersenyum main-main. Ia mendesah keras, entah kenapa pula ia harus ada di ruangan rapat VIP bersama para direksi yang hadir hari ini. Dirinya—seseorang yang dianggap tidak penting kemarin—kini mulai diakui karena pengorbanannya. Sungguh ironi.

Liasha Kiran: "Aku masih harus kerja hari ini." balasnya.

Gavin Varren: "Aku bisa minta Papa kamu ngatur itu."

Liasha harus menahan diri agar tidak memutar bola matanya, sedangkan Gavin tampak tersenyum puas karena tahu dirinya sudah menang.

Tak lama gadis itu pun kembali membalas pesannya, "Oke."

***

Liasha bisa melihat kakaknya sangat tidak rela saat Gavin mengajaknya pergi setelah acara tanda tangan kontrak itu selesai. Berbeda dengan ayahnya, beliau justru sangat setuju anaknya pergi bersama 'penolong perusahaan' dan sangat maklum saat tahu bahwa mereka akan membahas perjanjian pra nikah. Di dunia ini banyak orangtua yang memperlakukan anaknya dengan buruk, Liasha harus mengakui satu dari sekian banyak orangtua yang buruk, salah satunya adalah ayahnya sendiri.

"Aku udah minta tolong pengacaraku untuk membuat perjanjian pra nikah setelah diskusi panjang kami." Gavin menyerahkan sebuah map kulit berwarna hitam polos di hadapannya.

Kami, katanya. Pria itu tidak ikut menyertakan pendapat Liasha ke dalam perjanjian pra nikah mereka. Bukankah harusnya Liasha juga berhak membuat syarat tertentu di dalam pernikahan ini? Sepertinya Gavin benar-benar akan membuat hidupnya seperti tahanan rumah.

"Kamu gak dirugikan dalam pernikahan ini kok, kalau itu yang kamu khawatirin," tambah Gavin berhasil menebak isi pikiran Liasha.

Rugi atau tidak, sebenarnya Liasha sudah tidak peduli. Ia cuma kesal Gavin bertindak semena-mena padanya. Seakan-akan ia tuannya di rumah tangga ini. Well, meskipun benar. Suka atau tidak, dalam sudut pandang orang lain, Liasha seperti. Tentu saja ia tidak punya pilihan selain menuruti pria aneh ini.

Liasha tidak membalas perkataan Gavin, namun ia membuka map yang Gavin sodorkan kepadanya. Ada beberapa lembar kertas di depannya, gadis itu membacanya dengan teliti—jaga-jaga ada persyaratan yang berupa jebakan—oleh karena itu ia harus berhati-hati. Ingat baik-baik, Gavin Varren adalah pendendam.

Di halaman pertama, tertulis data pribadi Liasha dan Gavin serta rentetan kalimat berbahasa hukum lengkap dengan pasal-pasal yang berkaitan pernikahan.

Mengenai harta pribadi, di sini tertulis bahwa setelah menikah harta yang dimiliki Gavin juga milik Liasha. Sedangkan harta Liasha, milik dirinya sendiri.

Summer We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang