DARI dulu Liasha Kiran belum pernah melakukan perjalanan ke suatu negara sendirian, alasannya karena ia bukan tipikal seseorang yang suka berpetualang. Ia lebih suka berdiam diri di kamarnya: tidak melakukan apa-apa dan berharap tidak perlu melakukan apa-apa. Simpel, dan cenderung minim melakukan kesalahan.
Hal pertama yang ia ingat setelah turun dari pesawat adalah harus mengabari kakaknya di Indonesia, sebelum dirinya berencana mematikan ponselnya untuk satu minggu ke depan selama berada di Los Angeles, Amerika Serikat.
"Aku udah sampe nih, lagi jalan sambil nyeret koper di bandara," katanya langsung tanpa basa-basi.
"Pasti di sana udah malem karena sekarang di Jakarta lagi panas-panasnya kek di gurun."
Liasha melirik kacamata hitam yang tergantung sempurna di bagian depan kaus putih pendek yang dikenakannya, sedangkan jaket yang ia pakai dari Jakarta terikat di pinggangnya.
"Hm-em," sahutnya. "Kayaknya jam tidur aku bakal berubah kacau, jangan-jangan besok aku malah ngantuk berat," lanjut Liasha yang langsung menimbulkan kerusuhan di seberang sana.
"Jangan dong! Masa kamu mau nyia-nyiain matahari Los Angeles sih, Dek!"
Liasha tertawa pelan. Kakaknya memang paling mudah digoda. "Malam ini aku paksain tidur, Kak, tenang aja," ucapnya agar meredakan pekikan nyaring khas kakaknya.
"Oke kalau gitu, having fun ya, Dek. Nikmatin liburan kamu sebaik-baiknya, jangan ngabisin satu minggu buat di kamar hotel doang udah gitu leha-leha kayak gak menikmati hidup. Kakak ngeluarin uang bukan cuma mau denger kamu ngorok."
"Gak ikhlas nih?" tanya Liasha pura-pura terluka dengan ucapan kakaknya.
"Gak ikhlas kalau kamu enggak explore Los Angeles. Di sana banyak tempat-tempat bagus yang bisa kamu datengin. Daftar perjalanan yang Kakak tulis gak dibuang, kan? Pokoknya entah gimana caranya kamu harus dateng ke semua tempat yang Kakak udah tulis, laporin buktinya kalau kamu udah sampai Jakarta," serunya mengebu-ngebu. "Berbentuk foto, by the way." Ia melanjutkan ucapannya untuk memastikan bahwa ia menginginkan bukti yang jelas.
Tidak biasanya Liasha menikmati celotehan kakaknya yang seperti kucuran air sungai di tengah-tengah hujan deras, alias tidak ada habisnya. Mungkin karena untuk sementara waktu ia tidak bisa mengganggu kakaknya di perusahaan. Atau mungkin nanti ia tidak memiliki kesempatan untuk mendengar suara kakaknya lagi.
Langkah gadis itu berhenti saat dirinya sampai di depan bandara dengan taksi yang hilir-mudik mengangkut penumpang. Liasha tersenyum samar melihat pemandangan yang jauh berbeda dari Jakarta, ternyata ia benar-benar sudah jauh dari ibu kota Indonesia. Apakah artinya juga ia sudah jauh dari kenyataan?
"Kakak bener, di sini beda sama Jakarta. Aku ngerasa udah ngelewatin batasan yang luar biasa. Seperti bener-bener udah pergi dari neraka," gumam Liasha pelan.
"Sha, Kakak sayang sama kamu."
Liasha tersenyum. "Aku juga, Kak."
Panggilan pun berakhir, Liasha mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam kantong celana. Baiklah, mari kita lihat sebaik apa LA dibanding Jakarta.
"Jangan sok dramatis deh jadi orang. Sekali lagi lo nelepon, gue cekek lo sampe mampus! Kalau perlu gue kirim pembunuh berencana buat memastikan elo koit apa enggak!" teriakan menggelegar menggunakan bahasa Indonesia itu membuat bahu Liasha terlonjak kaget.
Gadis itu menoleh cepat ke samping kanan yang menampakkan pria bertubuh cukup tinggi dengan rambut hitam berpotongan rapi. Pria itu mendesah lelah, ia mematikan panggilan di ponselnya dengan kekuatan ekstra lalu memasukkannya ke saku celana bahan berwarna hitam yang ia kenakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer We Met
Narrativa generaleLiasha Kiran merasa hidupnya tidak berguna. Ia merasa sudah tidak memiliki gairah untuk menjalani hidup sejak satu tahun yang lalu. Namun kakaknya bersikeras agar dirinya mau menjalani perawatan psikologis agar ia mulai membaik seperti sedia kala. K...