KITA mencintai agar bisa dicintai. Liasha memegang kepercayaan itu sejak lama. Jika kau mencintai orang dengan sungguh-sungguh, mereka juga akan mencintaimu sepenuh hatinya. Karena keyakinan semacam itu, ia telah membodohi dirinya selama bertahun-tahun. Melupakan fakta bahwa hal yang tidak boleh dipercaya di dunia adalah manusia.
Liasha menatap kedua bola mata Gavin yang bersinar di depannya. Namun itu hanya sebentar, Gavin kembali mendekatkan wajahnya dan mencium Liasha. Tidak ada yang bersuara di kamar yang gelap itu. Yang terdengar hanya deru napas, suara ciuman, gesekan antara kulit, dan baju yang terjatuh ke lantai.
Perlahan tangan Liasha melingkar di pinggang Gavin, mereka merapatkan tubuh mereka sampai tidak ada jarak sama sekali. Kedua tangan pria itu sendiri menyentuh kepala Liasha, menekan ciuman mereka yang semakin memanas.
Ini bukan ciuman pertama bagi Gavin, namun perasaan menginginkan yang ia rasakan seolah baru pertama kali merasakan sensasi sehebat ini. Dan semua yang ia rasakan hari ini hanya kepada Arabella seorang.
Gavin membaringkan tubuh Liasha di atas ranjangnya masih dengan laki-laki itu yang melumat bibir Liasha. Tangan pria itu menyentuh tangan Liasha dari lengan sampai pergelangan tangan, dan menaruhnya di atas kepala gadis itu. Membiarkan dirinya mengambil penuh atas pergulatan mereka di atas ranjang.
"I will give you all my life, Bel," bisik Gavin di telinga Liasha dengan kedua mata yang berkabut menginginkan gadis itu malam ini. "Or you already have," lirihnya.
Liasha membiarkan Gavin melakukan apa yang pria itu inginkan, sedangkan gadis itu hanya memandang wajah pria itu dalam penerangan yang remang-remang untuk merekam wajah itu dalam-dalam.
Karena sepertinya malam ini akan jadi malam terakhir Liasha bertemu dengan Gavin.
***
Gavin Varren terbangun karena mendengar suara getaran ponsel yang tak kunjung berhenti bergetar. Siapa pula yang meneleponnya pagi-pagi begini?
Ia turun dari tempat tidur dan mengambil celananya yang ada di lantai. Pria itu mengambil ponselnya yang bergetar dari kantong celana lalu melihat nama penelepon.
"Halo," jawab Gavin sambil menggaruk tengkuk belakangnya yang tidak gatal.
"Vin, gimana nih? Gue buat kesalahan lagi." Terdengar suara rengekan yang sudah dihafalnya.
"Kesalahan apa lagi Elvano?" tanya Gavin dengan nada yang diusahakan sesabar mungkin walaupun sebenarnya ia ingin sekali menampol wajah saudara sepupunya itu jika mereka bertemu.
"Gue salah approve pembayaran, Vin. Finance sih udah ngasih data yang bener, cuma gue yang malah salah kasih data ke direksi yang harusnya dibayarin bulan depan. Tau gitu, gue nggak sok ngajuin diri buat minta tanda tangan langsung," kata orang di ujung sana.
"Udah tanda tangan bapak lo?" tanya Gavin langsung tanpa mau mendengar alasan Elvano.
"Udah," sahutnya takut-takut.
"Belum diproses, kan?"
"Sebagian udah," jawabnya lagi, kali ini suaranya bergetar. Tampaknya ia akan segera menangis lagi.
"Cancel aja dulu terus buat berita acara. Nggak apa-apa kok itu, cuma ya jadi nggak sesuai kesepakatan awal aja, rugi di kita dikit," kata Gavin.
"Ooh gitu. Oke, oke, nanti gue buat," balas orang itu yang nada suaranya berubah semangat karena sudah tahu apa yang harus ia lakukan.
"Udah, kan? Kalau begitu apa lo bisa matiin telepon gue sekarang, Elvano?" Gavin bertanya dengan suara setengah menggeram. Ia tidak akan membiarkan Elvano membuat harinya buruk, maka ia harus tetap sabar dan ikhlas menghadapi pria menyebalkan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Summer We Met
General FictionLiasha Kiran merasa hidupnya tidak berguna. Ia merasa sudah tidak memiliki gairah untuk menjalani hidup sejak satu tahun yang lalu. Namun kakaknya bersikeras agar dirinya mau menjalani perawatan psikologis agar ia mulai membaik seperti sedia kala. K...