Bagian ini adalah jembatan dari karya The Muse menuju buku selanjutnya, dan terpisah plot dari cerita sebelumnya.
-------------------------------------
Vince benar. Sepuluh tahun lewat sekejap mata saja.
Selama itu, aku menyibukkan diri dengan mengambil dua gelar baru, nyaris menikahi seorang wanita, menjelajah Italia, dan mencoba semua cokelat panas hingga ke sudut-sudut rahasia penduduk lokal. Hingga akhirnya tiba waktuku untuk kembali ke Boston dan menjemputnya dari penjara.
Setidaknya bertemu Vince lagi membuat musim dingin kali ini lebih baik. Ada sesuatu yang sangat kunantikan dan itu membuatku uring-uringan.
Saat Vince menginjakkan kaki di tempat parkir, aku menghela diri dari mobil. Lelaki Italia itu menyeringai. Kami saling berangkulan dan ia menepuk-nepuk bahuku.
"Cadillac." Ia menyapukan jarinya ke bodi dengan wajah puas. "Dan liburan ke Eropa. Kau akhirnya hamburkan duitmu?"
Aku mengangkat bahu. Tak bisa menahan diri untuk berpongah ria. "Tak tahu mesti apakan duit warisan."
Vince tertawa. Caranya tertawa masih sama, seperti seorang seniman berdarah dingin yang tak memiliki emosi di kedua mata hitamnya. Penampilannya juga sama sekali tak berubah. Tak ada guratan penanda usia di wajahnya, bulu matanya masih lentik, kecuali rambut ikal yang disisir licin. Pasti itu pengaruh pemuda perlente yang baru bergabung dengan selnya setahun lalu. Vince pernah cerita, beberapa kali di telepon, kalau ia menyukai gaya fesyen belakangan ini. Tak ada lagi rompi dan jas berekor panjang. Ini adalah masanya kemeja berkancing longgar dan memakai celana selutut tak lagi dianggap tabu.
Saat Cadillac-ku akhirnya meninggalkan lokasi (ya, aku bakal terus pamer), ia mengedarkan pandangan agak gelisah. Ia membuka tutup laci dasbor, mengacak-acak tumpukan surat dan kacamata cadanganku.
Aku lantas teringat. "Jok belakang."
Vince beranjak, tepat saat aku mengklakson mobil lelet di depan dan menyalip. Aku bermanuver kelewat keras dan pinggangnya terbentur ujung jokku. Namun ia tak pernah marah, seperti dulu. Mendengus saja tidak. Ia hanya tertawa. "Pelan, Ced. Kenapa kau tetap menyetir ngawur seperti dulu, sih?"
Aku terkekeh sebal. "Ini bukan jalan miliknya."
Vince menjatuhkan dirinya lagi di jok. Ia mencium bungkus Lucky Strikes yang kubeli laiknya mencumbu foto mantannya.
"Ke mana kita?" tanyaku. Kami sudah tiba di persimpangan New Rutherford, tepat di luar arena Penjara Charlestown.
"Apakah kartu pendudukmu masih sama?"
"Ya."
"Kalau begitu saatnya kita mengganti kartu."
Itu dia. Pundakku tahu-tahu terasa enteng. "Bagus," desisku jengkel. "Aku mulai kesulitan karena sempat bertemu beberapa wajah familiar saat ke Italia kemarin. Mereka bertanya mengapa aku terlihat lebih muda daripada usiaku."
Vince menyelipkan rokok di bibir dan menyulut api. Ia mendesah lega seiring asap yang tersembur. "Dan apa jawabanmu?"
"Kubilang, karena aku tak menikah dan anakku adalah seekor kucing pemalas yang tak pernah mencoba kabur."
Vince tertawa.
"Tapi kau yakin? Sekarang?" tanyaku. "Kau baru keluar. Mari kita merayakannya."
"Tidak." Vince mendesah. "Harus segera."
Cadillac-ku berhenti paling depan di dekat lampu merah. Aku mengerem terlalu mendadak. Mengabaikan klakson di belakang kami, aku merasakan jantungku melesak ke perut. "Apa? Kau tidak ... mencoba kreatif di penjara, kan?"
Ia hanya mengulum senyum sebagai jawaban.
"Sialan kau!"
"Aku seorang seniman, oke?" Vince mengangkat tangan. "Aku pelukis dan pemahat. Aku butuh ... yah." Tangannya berputar-putar, mengisyaratkan entah apa. Ia menyerah. Otaknya pasti penuh tapi tak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan. Begitulah seniman, tak bisa mengungkapkan dengan kata-kata. Ia sering mengatakan itu dulu. Dan aku sering mencemoohnya.
Pundakku kembali terasa berat. "Apa yang mesti kita lakukan sekarang?"
"Meninggalkan Boston. Amerika sekalian," ulangnya dengan sabar. "Tapi sebelum itu harus buat makam atas namaku dulu. Kau bisa bantu, kan? Aku butuh seorang John Doe*. Hanya itu saja. Aku sudah memikirkan penyebab kematianku, tapi kita bisa diskusikan lagi nanti."
"Dan mengganti identitas."
Ia mengangguk. "Aku tak melarangmu untuk mempertahankan nama lamamu, tapi simpan itu selayaknya kenang-kenangan. Kusarankan pakai marga Hayes agar kau terbiasa."
"Hayes?"
Aku mengibas asap yang mengepul di depan wajahku. Vince menggumamkan permintaan maaf dan mengarahkan puntung rokoknya keluar. "Cedric Hayes terdengar aneh. Coba nama baru. Frederic kalau kau masih ingin merasa familiar. Atau Jonathan, atau apalah jika ingin benar-benar yang berbeda."
Aku tak bisa berpikir. "Kau sudah memikirkan namamu?"
"Sudah," jawabnya. "Terrence."
"Roth lagi?"
"Aku tak bisa lepas dari itu." Vince merenung.
"Jadi, Terrence Roth?"
Vincent—atau Terrence, sebagaimana aku mesti memanggilnya sekarang—mengangguk. Ia menatapku dengan mata berbinar laiknya gadis yang tak sabar untuk kabur dari rumah pertama kali.
"Terrence Roth," katanya lambat-lambat. "Itu adalah nama lahirku dulu."
Ia tersenyum, aku balas tersenyum, dan jantungku berdebar. Usiaku baru 28 tahun. Namun wajahku kesulitan menua semenjak menjadi sarjana pertama kali. Itu aneh, mengerikan, dan rasanya seperti mencurangi malaikat kematian.
Namun melihat sahabatku keluar masuk penjara dan hidup santai selama bertahun-tahun, kurasa kehidupan baru tak ada salahnya dicoba.
*John Doe : Mayat pria dengan identitas tak diketahui.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Muse
Historical Fiction"𝐀𝐤𝐮 𝐭𝐚𝐡𝐮 𝐩𝐚𝐭𝐮𝐧𝐠 𝐚𝐝𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐞𝐧𝐢 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐚𝐛𝐚𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧, 𝐭𝐞𝐭𝐚𝐩𝐢 𝐡𝐚𝐫𝐮𝐬𝐤𝐚𝐡 𝐚𝐤𝐮 𝐦𝐞𝐦𝐚𝐡𝐚𝐭 𝐈𝐛𝐮 𝐝𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐚𝐛𝐚𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐣𝐚𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐤𝐚𝐦𝐢?" ⁕⁕⁕ WATTYS 2023 SH...