Art in America Today

64 14 2
                                    


Museum of Fine Arts, Boston. Desember 1948.

Museum of Fine Arts megah seperti istana. Sepertinya aku pernah bilang ini sebelumnya, tetapi aku belum memberitahu betapa sempurna ruang galeri yang digunakan untuk pameran. Meski aku tidak lagi berstatus sebagai mahasiswa Fenway, Pak Wahlberg mengizinkanku untuk memamerkan karyaku dan Vincent—setelah mengetahui apa yang terjadi pada kami secara singkat. Pak Wahlberg bahkan tidak memandangku dengan jengkel lagi. Ia cenderung waswas, menduga bahwa aku sudah pasti pernah berkomplot dengan Vincent, tetapi aku tak ingin membenarkannya.

Toh, dengan begitu, Pak Wahlberg mempersilakanku untuk memajang patung Ronald tepat di depan pintu utama galeri.

Ruang galeri lokasi pameran itu sendiri sudah strategis. Dengan ruangan luas dan langit-langit tinggi, aku kembali merasa seperti dewa muda. Pilar-pilar marmer serta lantai yang mengilap memantulkan cahaya kandelir lilin bundar yang kuno, membuat patung pahlawan Ronald Hernandez bersinar. Para pengunjung pasti akan berdiri sejenak, mengaguminya dan berpikir bahwa ia adalah salah satu tentara perang "tanpa nama" yang juga memiliki kisah heroiknya sendiri, dan melontarkan satu-dua kata pujian untuk "Rose" dan "Ced"—nama-nama yang tertera di bawah plakat nama karya seni kami, "Ron".

Aku sendiri menolak untuk hadir sebagai pemilik karya seni. Tak boleh ada yang tahu aku adalah Ced, membenarkan ketetapan Ibu untuk selalu menjaga nama baik keluarga Hayward. Mengakui bahwa patung "Ron" adalah milikku akan mencoreng nama keluarga kami. Pertama, kami bukan keluarga seniman. Yang kedua, aku tak mau satu patah pengakuan akan berujung pada banyak hal. Theo sudah memperingatkanku.

Theo hadir sekitar sore, beberapa saat setelah Ayah. Aku menemui dan menemaninya untuk keliling pameran. Ia memang sempat melihat-lihat karya lain, termasuk patung setengah torso Ibu yang berhasil diselesaikan Vincent di penjara (dan baru dikirim minggu lalu), tetapi ia kembali bertahan lama di depan patung Ronald.

"Dilihat berapa kali pun," katanya, "aku selalu merinding."

"Hanya kau, Theo."

"Aku tahu. Dan apa aku sudah cerita kalau sempat memimpikannya selama tiga hari berturut-turut?"

Aku terkekeh pelan. "Aku tak bisa tidur selama seminggu."

"Wajar saja," katanya mafhum.

Aku pun memelankan suara. "Bagaimana kabar si master?"

"Mm, baik-baik saja." Theo menyeringai. "Dia sangat tenang. Ia tidak mencoba berbaur dan teman-temannya juga tidak ingin mengganggunya. Dia hampir tak pernah meninggalkan studio seni di rumah baru."

Aku mengangguk-angguk. "Sudah berapa karya?"

"Oh, banyak lukisan kecil."

"Patung?"

"Aku ... tidak mengharapkannya membuat patung untuk sementara waktu."

Kami tertawa. Kuajak Theo untuk menikmati cokelat panas di kantin terdekat. Kami membicarakan banyak topik setelah itu. Kukatakan kepadanya bahwa aku akan mendaftar Harvard tahun depan dengan uang yang Vincent kirimkan ke rekeningku.

"Ayahmu tidak curiga, kan?"

Aku menggeleng. "Sekali mendengar jawaban, Ayah kadang-kadang sudah puas dengan itu."

"Apa yang kaukatakan padanya?"

"Kubilang, itu kebaikan kawan-kawanku yang patungan untukku, lalu terpaksa aku berbohong kalau aku membagi nomor rekeningku ke Jane ... yah, Ayah marah, tetapi setidaknya dia percaya."

"Baguslah," katanya. "Dan ... apa biaya masuk Harvard itu sangat besar?"

Kami berhenti melangkah, tepat saat baru saja menginjakkan pekarangan luar museum. Kutatap ia dengan bingung, lantas Theo berdeham pelan. Matanya mengedar gugup.

"Sisanya belum dibayar," bisiknya. "Beberapa mengingatkan aku agar mengatakan kepadamu ... untuk segera membayar sisanya. Atau Roth akan—"

"Aku mengerti." Aku menyeringai. "Aku sudah menyiapkan itu."

Kujulurkan tanganku ke arah bangunan kecil kantin. "Kita minum cokelat panas dulu saja," kataku, "dan akan kuberi detailnya nanti."


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The MuseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang