Bocah kecil berusia enam tahun itu sudah nampak bersemangat sejak mula membuka mata. Senyum di bibir mungilnya tak henti mengembang meski denyut sakit di kepala masih terasa. Sudah sejak pukul lima tadi, bocah muda itu bergerak ribut untuk menyiapkan air mandi pula baju seragam. Ini hari pertamanya masuk SD, dan ia tidak ingin terlambat.
"Ibu... Aga ganteng tidak?" suara khasnya terdengar mengalun. Bertanya pada salah seorang asisten rumah tangga yang kini tengah sibuk mempersiapkan sarapan.
Salamah, perempuan berusia tiga puluhan tahun yang dipanggil Ibu itu mengecilkan sejenak api pada kompornya untuk memberikan atensi pada si kecil.
"tampan.""ih... ganteng!" tolak bocah itu. Ia tidak suka dipuji tampan; namun menikmati tiap kali dibilang ganteng. Padahal sama saja, kan?
Suara penolakannya terdengar lucu dan memantik senyum Salamah menjadi kian merekah.
"aku sudah siap sekolah loh, Ibu..." tuturnya. Semangatnya terpatri cantik melalui binar hangat mata cokelat karamelnya.
"bukunya sudah di masukin tas?"
"sudah."
"pintar..." puji Salamah, "kepalanya masih sakit, gak?"
Bocah kecil itu meraba kain kassa yang menutup luka robek di kepala belakang dekat telinga kirinya. "sakit sih. Tapi tetap bisa berangkat ke sekolah kok. Aga kan anak kuat." Jawabnya dengan senyum mungil yang tak henti merekah. "kalau sudah mam, boleh tidak Aga berangkat sama Kakak?"
Salamah mengulum bibir. "sama Ibu saja, mau tidak?" tawarnya dengan hati-hati. Si dewasa ini tau, bahwa pinta sederhana si bocah muda ini sulit di realisasi.
"kenapa?" bocah muda itu bertanya tak mengerti. "sekolah Aga kan sekarang sama kayak Kakak. Bareng Kakak saja ya? Sama Pak Faiz kan?"
"Aga kan baru masuk. Jadi harus berangkat lebih pagi. Kalau Kakak kan sudah kelas lima. Berangkatnya siang... gak bisa bareng." Terang perempuan paruh baya itu. "jadi, Aga sama Ibu saja, ya?"
Aga, bocah enam tahun itu nampak terdiam dan berpikir, "terus nanti kita ke sekolahnya naik apa?"
"pakai motor?" tawar Salamah.
Bocah itu mengangguk setuju, "tapi nanti di sekolah, tetap bisa ketemu Kakak kan, Bu?"
"tentu..."
"Kakak mau main sama aku nggak ya di sekolah nanti?" lirih bocah muda itu. "kalau di sekolah kan Papa nggak lihat, jadi Kakak pasti mau main sama aku. Ya kan, Bu?"
Ada sesak yang bercokol ketika tanya itu singgah di telinga Salamah. Digigitnya sejenak bibirnya sebelum berujar, "nanti kita tanya Kakak ya." Ujarnya menenangkan, "tapi kalau Kakak nggak mau, Aga tidak boleh memaksa. Oke?"
"Okiii Ibu..." si bocah kecil itu sepertinya masih terlalu belia memaknai nada bicara Salamah yang terdengar berat.
"ini untuk Aga." Ujar Salamah memindahtangankan sepiring mie goreng seafood ke tangan kecil itu. "mam dulu, Ibu mau siapin sarapan di meja makan. Kalau sudah selesai, nanti kita berangkat."
"siap Ibu..." lagi-lagi, bocah kecil itu tersenyum. "terimakasih, ya."
Wajah teduh dan senyum hangat itu, melukai perasaan Salamah secara imajiner.
----
Banyu Sagara kecil tumbuh tanpa cinta kasih ayahnya dan hanya mengenal ibu kandungnya via tangkapan gambar atau cerita dari beberapa orang yang mengenal sang ibu. Yudhis, ayah kandung Aga selalu menyebut bahwa kehadirannya ke dunia lah musabab ibunya berpulang. Oleh sebab itu, ia menanggung kebencian dari sang ayah, pula kakak kandungnya.