Diyah mengayuh perlahan sepedanya. Menyusuri gang-gang sempit diantara petakan rumah. Jarak rumahnya dengan panti asuhan kurang lebih satu kilometer jika melewati jalan nasional. Rutenya agak memutar, ditambah ia harus bersaing dengan kendaraan bermotor berbadan besar kerap kali membuat Diyah wegah. Makanya Diyah lebih memilih melewati gang untuk memangkas jarak. Di boncengannya, ada Sagara yang duduk sambil menghapal jalan.
Sagara yang merindukan Sari itu memberanikan diri untuk izin pada Ibu Fatma —kepala panti asuhan- untuk ikut Diyah saat pulang. Awalnya, Fatma tidak mengizinkan. Namun karena Diyah menjanjikan akan memastikan keselamatan Sagara, maka Sagara diizinkan untuk main keluar demi bertemu Sari.
Sayangnya, Sagara harus menelan kekecewaan saat menyambangi kedai mie ayam Sari yang ternyata rapat tertutup.
"Mbak Sari nggak buka warung kayaknya." Ujar Diyah seraya memperhatikan air wajah Sagara yang lesu.
Sagara hanya diam sambil menahan sedih.
"mau gimana, Nang? Mau pulang lagi?" tawar Diyah.
Ditanya begitu, Sagara bingung. Jujur, kalau boleh, ia ingin ke rumah Sari untuk mengecek keadaan wanita itu. Dan memastikan alasannya tidak buka warung hari ini. Sagara khawatir, Sari atau Khoirul sakit sehingga mereka tidak buka warung. Tapi meminta diantarkan ke rumah Sari pun terdengar tidak tau diri —ketika jelas-jelas ia telah dibuang ke panti.
"Aga...? Piye?"
"Bu Diyah mesti gowes bolak-balik... pasti capek..." ujar Sagara.
"ya gak papa. Kan sudah janji sama Bu Fatma." Jawab Diyah sambil tertawa, "lagipula kalau nggak diantar tuh, kamu mau ke panti gimana? Jalan kaki?"
Sagara menggeleng kecil. Ikut tertawa dengan hati pedih. "yaudah... pulang lagi saja."
Diyah menurut. Memutar kembali arah laju sepedanya. Di balik boncengan, Sagara memeluk Diyah erat.
"Bu Diyah... maaf ya, Aga ngerepotin." Ujar Sagara dengan suara bergetar.
Bocah itu menangis tanpa suara. Namun basah yang menembus baju belakang Diyah membuat perempuan itu ikut mengiba.
----
Jika tidak salah hitung, ini sudah hari ke lima belas Sagara di panti asuhan. Tak seharipun Sagara lewatkan untuk menatapi gerbang utama Panti. Berharap Sari ataupun Khoirul muncul disana. Menunggu...
Namun lepas waktu berlalu, belum ada satupun kunjungan dari Khoirul maupun Sari yang diterimanya. Ya, memang tidak ada kewajiban untuk Khoirul dan Sari untuk mengunjunginya. Tapi Sagara merindu. Perasaannya sakit, meski tubuhnya baik-baik saja. Terlalu sering dibuang toh tak membuatnya terbiasa.
Puncak kerinduannya adalah kemarin, ketika ia menyelinap keluar dan berjalan kaki menyusuri gang-gang yang waktu itu disusurinya dibalik boncengan Diyah demi menemui Sari di warungnya. Tapi sekali lagi Sagara perlu menelan pil kekecewaan. Kedai milik Sari nampak sudah lama tak beroperasi. Saat kembali ke panti, Sagara di marahi Mbak Nina juga Pak Qori karena pergi tanpa izin.
"bocah bandel!" Ujar Pak Qori dengan penuh jengkel pada Sagara kala itu.
Beliau adalah suami Bu Fatma, penanggungjawab di Panti. Jelas ia bertanggungjawab atas aktivitas yang ada di panti asuhan ini. Jika sesuatu terjadi pada Sagara saat menyelinap, Pak Qori akan menjadi salah satu orang yang disalahkan oleh publik. Marahnya adalah bentuk khawatir. Meski nada suaranya memang tidak menyenangkan hati.
Derita Sagara semakin bertambah karena akhir-akhir ini Sagara sering kedapatan bermimpi hingga menangis. Dalam mimpinya, segala serapah Jaziel seperti diputar ulang dengan menggunakan speaker stereo tepat di telinganya. Pukulan-pukulan Yudhis pun terasa nyata. Seluruh penghakiman, tatapan tajam; mereka menusuknya depan belakang. Tak ada yang menariknya keluar.
'Mama meninggal gara-gara kamu. Bu Salamah pergi juga gara gara kamu! Siapa lagi besok yang pergi gara-gara kamu?'
'Siapa lagi besok yang pergi gara-gara kamu?'
'Siapa lagi?'
Sagara terkesiap bangun. Napasnya terengah dan terasa panas. Lelah sekali, rasanya.
"Aga?" suara Hari menyapa. "kenapa?"
Sagara mengerjap. Bola matanya terasa mau jatuh.
"gapapa, Mas." Suaranya terdengar serak.
Hari dengan cekatan mengganti kompresnya. Sagara sendiri tidak sadar sejak kapan ia di kompres. Aih, Sagara bahkan tidak sadar bahwa ia tidak tidur seranjang dengan Raffi dan Panji kali ini.
"kamu demam tinggi." Terang Hari kemudian. "pusing? Mas bilang Bu Fatma, ya. Biar diantar ke klinik."
Sagara menggeleng ribut. "nggak usah, Mas... Aga gapapa." Sumpah mati, tenggorokannya sakit sekali sekarang. Badannya juga terasa tak karuan —tapi opsi ke klinik jelas akan ditolaknya mentah-mentah.
"bocahnya masih belum tidur, Mas?" suara ketus dari ranjang sebelah terdengar. Banu, duduk di tepi ranjangnya. Memperhatikan ruangan yang temaram dan sepi.
"kebangun. Makin panas badannya."
Banu terdiam, "gantian sama aku deh jaganya." Tawarnya kemudian.
"ndak. Kamu tidur aja, sana. Besok sekolah." Tolak Hari.
Banu mendengus. "Mas juga besok sekolah. Ntar kesiangan."
"jangan ngeyel, Nu..."
"lagian tidur juga gabisa. Yang sakitnya berisik."
Disindir begitu, Sagara merapatkan mulut seraya mengeratkan genggaman pada selimut. Air mata yang jatuh di ujung mata bahkan terasa hangat saat melewati cuping telinga.
Sagara memang tak nyenyak tidur sedari sore. Bahkan menelan obat dari Mbak Nina pun dalam keadaan setengah sadar. Fokusnya mengawang. Saat suhu tubuhnya kian meningkat, beberapa kali Sagara mengeratkan giginya —membuat Hari khawatir gigi susu Sagara patah. Jika tidak mengeratkan gigi, Sagara akan mengigau dengan napas terengah, lalu menangis. Hari jadi bertanya-tanya mimpi apa yang singgah disana hingga membuat Sagara nampak sesedih itu.
"maaf, Mas..."lirih Sagara.
Hari memandang sedih pada adik paling muda itu. Mengusap dahi Sagara yang masih dihiasi kompres diantara panas tubuh yang menyengat.
"Mas Hari sama Mas Banu bobo lagi aja. Aga janji kali ini bobonya gak bakal berisik." Sedih Sagara.
"Aga..."
"Maaf ya Mas Hari, Aga udah bikin Mas begadang..."
Tiba tiba makian Jaziel menggema lagi di belakang telinganya.
'Mama meninggal gara-gara kamu. Bu Salamah pergi juga gara gara kamu! Siapa lagi besok yang pergi gara-gara kamu?'
Air mata Sagara jatuh.
"maaf Mas... Aga nyusahin..." isak Sagara seraya mengubah posisi tidurnya. Separuh wajahnya kini sudah tertutup bantal untuk meredam tangis. "Maaf..."
Aga bukan anak baik... mereka pergi karena Aga merepotkan.
Kak Jiel bener. Papa juga bener.
Emang salah Aga...
Salah Aga...
Aga harus apa biar nggak bikin salah terus?