"kok gak dihabisin, Ga?" Nina mengajukan tanya saat melihat Sagara yang ogah-ogahan menelan makan malamnya. Padahal anak-anak lain sudah banyak yang keluar dari aula makan karena sudah selesai.
Tapi Sagara masih bertahan menekuri piring yang isinya tak nampak berkurang sedikitpun. Tadi pagi juga Sagara sarapan sedikit sekali. Nina sungguh khawatir kalau Sagara kembali jatuh sakit. Terlebih, ketika bocah itu nampak menyendiri dan menolak bergabung dengan teman yang lain. Kian resah-lah Nina.
"ini mau dihabisin kok, Mbak Nina." Jawab Sagara. Namun nasi berhias sayur sop itu hanya di aduk-aduk tanpa disuap ke mulut. Kuah sopnya bahkan nampak nyaris kering saking terlalu lama diabaikan Sagara.
"mau di suapi?" tawar Nina.
Sagara menggeleng. Menolak halus. "nggak perlu, Mbak Nina. Aga bisa kok."
"terus, Aga kenapa dong? Makannya kok sedikit sekali..." tanya Nina. "nanti kalau sakit lagi bagaimana?"
Sagara terdiam sebentar. "maaf ya, Aga selalu buat repot." Lalu menyuap penuh sesendok nasi dengan susah payah. Memastikan agar Nina tak perlu repot memberi perhatian lebih padanya. Sialnya, menahan tangis sambil makan memang butuh keahlian khusus; karena Sagara tersedak setelahnya.
Nina menyodorkan segelas air untuk Sagara, seraya memandang kasihan bocah kecil itu. "pelan-pelan toh, Ga."
"maaf, Mbak..."
Nina menghela napas panjang. "Mbak nggak minta Aga makan buru-buru, loh. Mbak cuma khawatir karena Aga makannya sedikit sekali. Seperti tidak berselera. Apa lagi sakitkah? Atau makanannya kurang Aga sukai?"
"masakan Bu Diyah enak, kok. Aga juga nggak lagi sakit."
"terus kenapa?"
Wajah Sagara kembali menyendu.
"cerita sama Mbak Nina dong. Siapa tau Mbak Nina bisa bantu Aga." Ujar Nina lagi.
Sagara memfokuskan pandang ke arah Nina sebelum menebar tatap ke sekeliling. Sementara Nina sendiri hanya terdiam menunggu Sagara bersedia membuka mulutnya untuk bercerita.
"Mbak Nina... apakah Aga bukan anak baik?" tanya Sagara kemudian.
"hn?" Nina agak bingung dengan tanya itu, "Aga anak baik kok."
"berarti, Aga boleh punya orangtua, kan? Aga boleh disayang kan?"
"tentu boleh." Suara Nina terdengar riang meski ia masih belum tanggap kemana arah percakapan anak enam tahun ini. "kok tanya begitu?"
Sagara lekat memandang Nina, "Aga dengar Mas Hari menangis saat Mas Wisnu tanya, apakah Mas Hari tidak ingin punya orang tua juga."
"O-oh?"
"Mas Wisnu juga bilang bahwa ia iri pada Aga. Karena Aga akan segera jadi anak Ibu dan Bapak."
Nina terdiam. "Aga dengar mereka bilang begitu?"
Sagara mengangguk sedih. "Mbak Nina, kalau Aga tidak mau memberikan Ibu dan Bapak untuk Mas yang lain, tidak apa, kan?"
"Aga sayang Ibu dan Bapak. Aga sudah janji mau jadi anak mereka..." sambung Sagara. "Aga... tidak harus mengalah, kan?"
"kenapa Aga berpikir untuk mengalah?" tanya Nina.
Sagara menggendikkan bahu. Bingung menjawab.
Seumur hidupnya, ia hanya belajar menerima dan merelakan banyak hal. Berharap untuk memiliki sesuatu adalah kemewahan. Pula dengan berharap disayang. Apakah Sagara boleh bermimpi semewah itu?