Sagara termenung diam di kamar kecilnya. Tak ada yang mampu ia lakukan sejak tau bahwa Salamah tak lagi tinggal di rumah mewah milik sang Papa. Pemikiran bocahnya sibuk bertanya-tanya, pada siapa ia akan meminta pertolongan jika Papa kalap seperti hari-hari lalu? Akankah ia bisa selamat seperti sebelum-sebelumnya? Ataukah Tuhan memang tak menghadiahi Sagara umur panjang?
Sagara takut. Perasaan itu membuat perutnya bergolak mual dan tangannya agak gemetar.
Jika bisa, Sagara ingin melarikan diri ke rumah Mami. Nuka mungkin nampak galak dengan mulut pedasnya, namun Nuka tak pernah se-serius Jaziel ketika marah. Sagara belum pernah merasa sakit hati atas perilaku Nuka. Jadi harusnya, Nuka bisa menjadi pilihan paling aman, kan? Bahkan jika Nuka sama jahatnya dengan Jaziel, Sagara masih memiliki Sagita, Mami Harini dan Papi Dias. Ada banyak orang yang akan menolong dibanding di rumah ini.
Iya kan?
Sampai ketukan pintu yang terdengar dan memecah lamunan Sagara. Bocah enam tahun itu kian merungkut di sudut kamar seraya menarik selimut. Bersembunyi.
"Aga... ini Pak Faiz." Ujar suara di balik pintu sambil sesekali mengetuk.
Sagara keluar dari persembunyiannya. Membuka pintu dan melihat pria paruh baya yang sejak lama menjadi sopir sang kakak balik mematainya dengan pandangan sayu.
"kenapa, Pak?" tanya Sagara dengan senyum tipis.
"udah makan, belum?" tanya Pak Faiz sambil mengusak puncak kepala Sagara.
Sagara jelas menggeleng. Pantas dari tadi tangannya gemetar dan perutnya mual. Bukan panic attack atau anxiety, tapi mungkin memang asam lambungnya yang kembali naik, kan?
Pak Faiz memindah tangankan sekotak martabak mini dan ayam goreng tepung "Makan dulu..." ujarnya.
"Makasih, Pak Faiz." pandangannya fokus pada makanan di genggaman. Sungguh, bola mata caramel itu berkaca.
"sama-sama." Ujar Pak Faiz. "Bapak ke pos lagi, ya."
"gak mam bersama Aga?"
Pak Faiz menggeleng. "Bapak sudah makan."
"ooooh..."
Sagara mengangguk. Sebelum membiarkan Pak Faiz pergi, Sagara sempat bertanya, "Pak Faiz tau, Ibu Salamah kemana?"
Dan gelengan Pak Faiz menjadi jawaban.
----
Pagi di hari berikutnya.
Seperti biasa, Sagara terbangun lebih awal. Bersiap sendiri dengan seragam sekolah dan perlengkapannya sambil menghitung sudah berapa hari ia bolos? Huft... dan pikirannya kian hampa saat menyadari bahwa tidak ada lagi orang yang akan menyediakan mie goreng seafood untuknya sarapan.
Beruntung bahwa semalam Sagara tidak terlalu rakus untuk memakan habis semua makanan yang diberikan Pak Faiz. Jadi Sagara bisa bertahan dengan sepotong ayam goreng tepung yang sudah dingin dan minum air putih banyak-banyak.
Tapi masalah lain muncul saat Sagara hendak berangkat ke sekolah. Siapa yang mengantar?
Maka dengan takut-takut, Sagara mengintip ke arah ruang makan tempat dimana Papa dan Jaziel menikmati sarapan dengan khidmat. Berharap, bahwa kali ini, ia akan diizinkan untuk berangkat ke sekolah bersama sang kakak.
"ganti seragam kamu! Hari ini, kamu nggak akan berangkat sekolah." Ujar Yudhis. Beliau menaruh pisau dan garpunya kembali, meski setangkup sandwich itu belum separuh di habiskan.
"Aga bisa berangkat bareng aku." Ujar Jaziel yang ternyata turut menunda sarapannya.
"jangan ikut campur, Ziel."
"kenapa?" Jaziel menuntut penjelasan. "kenapa hari ini Aga nggak boleh ke sekolah? Dia udah dua hari nggak masuk! Nanti dia makin bodoh kalau nggak sekolah!"
"kamu masih kecil. Ngerti apa sih?"
"Papa selalu bilang ke aku kalau nggak belajar tuh bisa bikin otak tumpul dan bodoh. Dan aku nggak suka punya adik bodoh! Yang aku tau, bahwa sekolah adalah tempat belajar; jadi biarin dia ke sekolah!" tegas Jaziel.
"Jaziel!"
"seenggaknya walaupun dimata Papa, Sagara ini anak nakal, kekurangannya nggak bertambah dengan menjadi anak bodoh!"
"Jaziel!"
"kenapa tante Harini bisa repot-repot ngurus ini itunya Aga, sedangkan Papa nggak peduli?"
"PAPA BILANG JANGAN IKUT CAMPUR!" teriak Yudhis —yang jelas mengejutkan Jaziel, pula Sagara. Sagara bahkan sudah gemetar di tempatnya berdiri.
"Papa bentak aku?" tanya Jaziel tidak terima.
"KENAPA PAPA MALAH BENTAK AKU, SEDANGKAN PAPA NGGAK MEMBERIKAN PENJELASAN APAPUN TENTANG PERTANYAAN AKU?" Jaziel balas berteriak. Betapa si sulung ini adalah cerminan sempurna dari sikap sang ayah.
Yudhis menarik napas panjang untuk tidak kian terpicu emosi. "lebih baik kamu berangkat sekolah, Ziel!"
Jaziel memicingkan pandangan pada ayahnya. Menarik tasnya dengan kasar sebelum memutuskan pergi kesekolah. Ia menatap Sagara melalui ekor matanya dengan perasaan kesal yang mendominasi.
Jaziel boleh jadi sangat jahat pada adiknya. Jaziel boleh jadi kakak yang amat sangat kasar untuk Sagara. Namun Jaziel tau, bahwa sang ayah lebih berbahaya dari dirinya. Meninggalkan Sagara hanya berdua dengan Yudhis sama saja mempersilakan malapetaka lain untuk muncul kehadapan. Jika sebelum-sebelumnya ada Salamah yang selalu bisa menyelamatkan bocah itu, kali ini Sagara sendirian.
Maka dengan separuh berbisik, ia berujar di telinga Sagara; "kalau Papa jahatin kamu, lari. Lari yang jauh. Kamu boleh lari ke Tante Harini dan Om Dias untuk minta bantuan. Karena sekarang, gak ada Bu Salamah yang nolong kamu."
Sagara terdiam. Mencoba mencerna ucapan Jaziel dengan pemahaman minimnya. Tapi kenyataan bahwa Sagara hanya bocah enam tahun tak dapat di pungkiri. Kategori jahat yang ia tau hanya tentang memaki dan memukul. Ia bahkan tak menganggap bullying sebagai kategori jahat karena Sagara memang tidak paham.
Jadi selama Yudhis —sang Papa tidak memaki ataupun memukul, Sagara akan menjadi anak penurut.
-----
Jaziel menghabiskan seharian waktunya di sekolah. Kemudian menyibukkan dirinya dengan berbagai les hingga pulang sekolah saat petang melanda. Tubuhnya terlalu lelah sampai tidak menyadari keadaan rumahnya yang terlampau sunyi. Ia bahkan tak banyak ambil pusing saat masih melihat mobil sang Papa di garasi. Hal yang aneh, mengingat Yudhis selalu menggunakan mobil pribadinya untuk mobilitas.
Jaziel hanya berpikir bahwa hari itu mobil sang ayah tengah rusak hingga tak bisa digunakan.
Semua kesunyian di rumah ini terjawab saat Dias dan Harini datang ke rumahnya lewat pukul sembilan malam. Menunjuk-nunjuk Yudhis pula memaki dengan histeris. Jaziel hanya diam. Berdiri di ujung ruangan sambil memperhatikan.
"kemana kamu bawa Sagara?" marah Harini.
"bilang aku, Yudhis... kemana kamu bawa pergi Sagara?" kali ini, suaranya terdengar memohon dan penuh putus asa.
"kenapa kamu selalu ingin tau?" Yudhis membalas dengan nada remeh.
Yudhis menoleh ke arah Dias yang sejak tadi mendampingi istrinya dalam diam. "kamu kayaknya harus ajari istrimu deh, Yas. Biar nggak sering-sering ikut campur sama urusan rumah orang lain."
Harini sudah jatuh terduduk dengan tangis. Sementara Dias masih terdiam tak habis pikir.
"Sagara itu putramu, Yudhis. Anakmu. Darah dagingmu." Peringat Dias.
"lantas?" kembali, nada mencemooh khas Yudhis mengudara, "sejak awal, kalian yang berusaha keras mengusahakan ini itu untuk anak itu. Aku nggak pernah mau!"
"hadiah terakhir dari Anna? Bullshit. Setiap ngeliat muka dia, yang ada aku sakit hati. Kenapa dia hidup sedangkan istriku meninggal. Dengar dia nangis, aku muak! Orang-orang mengasihani hidup dia yang lahir lalu kehilangan ibu. Lalu aku? Jaziel? Nggak ada yang tau susah payahnya aku bertahan tanpa istriku. Nggak banyak yang peduli sama Jaziel yang juga kesusahan karena kehilangan ibunya. Semuanya terfokus sama betapa malangnya nasib anak itu."
"Yudhis?" Harini menggeleng tak percaya, "bisa kamu berpikir sepicik itu sama anakmu sendiri?"
"bisa! Sangat bisa." Yudhis menunjukkan kemarahannya. "sejak awal, aku sudah merasa cukup hidup hanya dengan Anna dan Jaziel. Mengizinkan Anna mengandung kembalipun ku iya-kan dengan setengah hati. Padahal seharusnya, aku percaya pada intuisiku bahwa anak itu pembawa sial!"
Harini menangkup wajahnya. Tak sanggup mendengar Yudhis yang dengan mudah mengutarakan kebencian untuk Sagara.
"kalau kamu nggak mau ngurus, kamu bisa biarin Sagara tinggal sama kami." Ujar Dias. "sejak awal aku dan istriku sudah menawarkan diri."
"membiarkan anak itu tinggal bersama kalian membuatku merasa di olok-olok."
"Yudhis..." Dias tidak tau lagi harus menanggapi Yudhis bagaimana. "sekarang katakan pada kami, kemana kamu bawa Sagara pergi?"
"ku mohon, Yudhis." Dias meminta sekali lagi.
Namun Yudhis sepertinya kukuh untuk membungkam mulutnya.
"jangan sampai ku bawa kasus ini ke jalur hukum!"
Yudhis terkekeh bak manusia tak waras. "silakan! Toh, kau tidak memiliki bukti apapun." ujarnya balik menantang. "anak itu tidak pernah secara resmi tercatat pada dokumen sipil. Akta, kartu keluarga, nomor kependudukan, bahkan dokumen kelahiran pun dia tidak memilikinya."
"kalian yang memanipulasi data agar Sagara memiliki dokumen resmi. Berapa banyak pihak yang terlibat? Dan bayangkan jika hal ini tersebar. Bagaimana pendapat netizen jika pengusaha muda yang sedang naik daun sepertimu terlibat hal kotor seperti ini? Berapa banyak instansi yang juga akan kehilangan kepercayaan publik karena uangmu bisa memanipulasi segala hal."
Tawa menyebalkan Yudhis kembali menggema. "sekarang pulanglah. Kalian tidak perlu merecoki kehidupanku lagi."
Butuh waktu lama sampai Harini dan Dias pergi dari kediaman Yudhis.
Namun Jaziel masih disana. Menunggu seraya memasang tatapan tak mengerti.
"Papa bawa Sagara pergi?" tanyanya linglung.
Yudhis mengangguk.
"kemana?"
Dan sama seperti sebelumnya, Yudhis bungkam tanpa jawab.
"ke tempat Mama?" Jaziel menebak.
Sepersekian detik Yudhis menggeleng, Jaziel merasa lega.
"Pa?"
"Jaziel... mulai sekarang, lupakan bahwa kamu pernah punya adik." Ujar Yudhis. "ingat saja, bahwa adikmu tidak pernah lahir. Bisa?"
Jaziel diam.
Seperti yang ia duga, bahwa Papa lebih mengerikan dari dirinya.---