17

1.2K 212 30
                                    

Sagara berlari riang dari aula menuju kamar. Bu Fatma bilang, besok pagi Bapak dan Ibu akan menjemputnya pulang. Sagara diminta berkemas agar esok tidak terburu saat bersiap. Nina dengan siap sedia untuk membantu melipat beberapa stel pakaian milik Sagara dan menumpuknya rapi sebelum nanti ditempatkan pada tas tote dan tas gendong kecil milik Sagara.

Kamar anak lelaki itu agak ribut. Wisnu hanya memperhatikan dari kasurnya tanpa mau ikut membantu. Masih sedikit iri perihal Sagara yang di adopsi lebih dulu dibanding dirinya. Banu dan Kemal sibuk dengan PR dari sekolah sambil sesekali menyahuti obrolan. Hanya Hari, pula Panji dan Raffi yang membantu Nina juga Sagara berkemas. Meskipun. Raffi dan Panji lebih banyak merusuh dibanding membantu.

"begini lipatnya, betul nggak Mbak Nina?" tanya Sagara sambil memamerkan karya lipatan bajunya.

Nina tertawa kecil. "betul. Tapi kurang rapi yo, Ga..."

Sagara mengerucutkan bibir. Mengulang melipat kaos belel bergambar karakter Disney itu.

"kamu lipat yang kecil-kecil aja." Titah Hari sambil menyodorkan beberapa helai pakaian dalam saat melihat percobaan lipat baju Sagara tak kunjung sempurna.

Sagara mengangguk menurut.

"Mbok meneng toh, Raffi, Panji! [diem dong, Raffi, Panji!]" Nina mengomel saat menara tumpukan lipatan baju yang sejak tadi disusunnya rubuh karena ulah Panji dan Raffi. Seolah ada tanduk tak kasat mata di kepala Nina yang siap merepet panjang. Sementara Panji dan Raffi hanya cengengesan minta maaf.

"besok dijemput jam berapa, Ga?" Hari bertanya seraya membersihkan tas milik Sagara. Menepuknya pelan untuk menyingkirkan debu dan membuka semua resleting yang ada untuk memastikan tas itu dalam keadaan bersih.

"gak tau, Mas." Jawab Sagara seadanya.

"eh, itu jangan dibuang!" Sagara setengah berseru saat Hari mengeluarkan paper bag bekas roti dan bungkus ciki rasa rumput laut dari saku tasnya,

"kenapa? Sampah loh. Nanti tasnya kotor."

Sagara tak lantas menjawab. Ia menggeser tubuh merapat pada Hari untuk kembali mengambil bungkus sisa snack itu. "udah Aga bersihkan kok Mas. Gak bakal kotor." Jawab Sagara kemudian. Menunjukkan bahwa sampah itu telah Sagara bersihkan —bersih dari sisa remah dan bumbu meski pada paper bag roti itu masih terendus samar aroma kopi.

"ya tapi kan..." Hari ingin menyela, namun Sagara yang nampak bergeming membuatnya sungkan. Bocah itu malah kembali melipat bungkus sisa snack itu dan menyelipkannya ke tempat semula.

"ini dari Papa." Sagara berujar dengan suara riang seolah mengingat cerita menyenangkan.

"dari Om Khoirul?" Hari mencoba memastikan siapa Papa yang dimaksud Sagara. Namun gelengan Sagara membuat Hari mendadak paham. Nina bahkan menghentikan sejenak pekerjaannya untuk menangkap air muka bocah enam tahun itu.

"Papa jarang belikan sesuatu untuk Aga. Tiap bawa oleh-oleh, yang dikasih pasti Kak Ziel. Aga tidak boleh minta. Jadi biasanya jajan Aga, Mami Harini atau Ibu Salamah yang beli. Tapi waktu di kereta, Papa beli banyak jajan untuk Aga." Kenang Sagara dengan senyum. "jadi Aga mau simpan ini."

Mereka yang mendengarkan tidak kenal siapa itu Mami Harini, Ibu Salamah maupun Kak Ziel yang Sagara sebutkan. Namun ada luka tak kasat mata yang menggores dada, sejenak saat Sagara bercerita betapa ia menghargai snack yang seorang Papa kasih untuk kali pertama. Rasanya, penghuni kamar itu turut memahami luka dari ingatan yang tak ingin dilupakan.

"ya sudah kalau Aga mau simpan itu." ujar Nina memutus suasana sendu dari cerita Sagara. "yakin bersih, kan? Nanti takut ada semut."

Sagara mengangguk. Meyakinkan bahwa bungkus sisa snack yang akan ia simpan sudah bersih.

"kamu, kangen Papamu, Ga?" Banu melempar tanya.

Seketika hening menyapa. Mereka menunggu jawab dari si bocah termuda. Namun Sagara hanya menggelengkan kepala seraya menggendikkan bahu.

"nggak tau." jawabnya.

"kamu.... Pernah pengen pulang, nggak?" kini Wisnu tiba-tiba bersuara. "pulang ke rumahmu?"

Sagara terdiam lagi. Kepalanya berpikir dan mengingat banyak hal. Terakhir kali ia pulang dari klinik seorang diri, Jaziel melemparinya. Menyalahkannya karena Bu Salamah pergi. Papanya sendiri —bahkan hingga detik ini- masih menyalahkannya terkait kepergian Mama. Jadi apa esensi ingin pulang bagi Sagara? Bangunan mewah yang selama ini ditinggalinya bukan rumah untuknya.

"enggak." Sagara menjawab yakin. "kan nanti pulangnya ke rumah Bapak Ibu. Lebih seru...!" Jawabnya dengan cengiran khas.

Anak-anak itu tertawa bersama karena ekspresi Sagara yang lucu.

"walah... mesti kowe seneng. Tante Sari kui kan pinter masak." Ujar Kemal.

"iya loh. Mie goreng sing wing kae pancen oyeeee." Ujar Raffi. "Panji nganti dijilati piring rantange."

"ora ye. Kowe pitnah bae!" elak Panji.

"makin gembul mengko Aga!" ledek Banu. "disuguhi mam bae."

Sementara sekumpulan bocah itu sibuk mengomentari betapa lezatnya makanan Tante Sari, Nina mengusak puncak kepala Sagara dalam hening. "semoga Pak Khoirul dan Ibu Sari selalu sayang Aga, ya."

Sagara tersenyum. Mengamini dalam hati.

-----

Sagara di jemput agak siang. Pukul sebelas lewat dua puluh menit. Sagara sudah menunggu dengan resah karena Bapak dan Ibunya itu tak kunjung datang. Sungguh khawatir bahwa adopsi hanya sekedar mimpi indah.

Jadi saat deru suara motor milik Khoirul terdengar dari lobby panti, Sagara langsung bangkit berdiri menyambut kedua orang tuanya yang bahkan belum tuntas mematikan mesin motor.

"jangan lari-lari, Aga! Jalan saja." Sari melemparkan perintah saat melihat langkah Sagara yang terburu untuk menghampiri.

Namun Sagara menolak menurut. Terlalu bersemangat.

Bocah enam tahun itu segera mengamit lengan Sari untuk salim. "Aga kira Ibu dan Bapak nggak jadi jemput."

Sari tersenyum dan mengusak kepala Sagara. "ya ndak mungkin, lah."

"maaf ya nunggu lama. Bapak mesti ke Stasiun dulu sebentar, tadi." Khoirul menjelaskan.

Sagara menggeleng; beralih menyalami Khoirul. "gapapa. Yang penting Bapak sama Ibu datang." Kata Sagara sumringah. "bawa apa itu?" tanya Sagara lagi. Penasaran dengan kresek merah besar yang nangkring diantara stang dan jok itu.

"oleh-oleh buat teman-teman Aga." Jawab Sari. "ayok, ketemu Bu Fatma dulu."

Tentu saja, Sagara menganguk antusias. Menggandeng lengan Sari; membiarkan Khoirul kerepotan sendiri membawa sepelastik besar oleh-oleh di belakang mereka.

Ada basa-basi kecil antara Sari – Khoirul dan beberapa pengurus panti. Usai surat-surat perihal adopsi itu lengkap, bocah muda bernama Banyu Sagara itu resmi di serah-terimakan. Bocah itu menyalami beberapa pengurus dan teman-teman Panti untuk salam perpisahan. Raffi dan Panji menangis kecil di pelukan terakhir mereka. Sementara Sagara harus melewatkan pamit terakhirnya pada Hari dan Wisnu karena kedua kakak tertua itu masih di sekolah. Hanya selembar surat dengan tulisan acak yang ia titipkan pada Nina untuk disampaikan pada kakak-kakaknya itu.

"sudah resmi ya, Mas Khoirul." Ujar Pak Qori seraya menepuk bahu tegap Khorul.

Khoirul mengangguk, "alhamdulillah,Pak."

"mudah-mudahan menjadi keberkahan untuk kehidupan rumah tangga Mas Khoirul dan Mbak Sari."

"aamiin... suwun,Pak Qori. Maaf kalau banyak merepotkan." Ucap Khoirul, "pamit pulang dulu nggih, Pak."

"hati-hati, ya."

Khoirul, Sari, dan Sagara menaiki motor. Membiarkan Sagara duduk di tengah.

Bocah itu melambaikan tangan.

Bersiap pulang.

SAGARA [Na Jaemin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang