06

1.3K 191 27
                                    

Sagara tidak tau berapa lama ia terpejam. Bahkan dirinya masih setengah sadar saat mendapati langit dibalik jendela kereta berubah jingga karena memasuki waktu petang. Kepalanya sedikit terasa pening, entah kenapa. Namun tak ada yang lebih menakutkan dibanding tidak mendapati sosok sang papa di sisi kursinya. Bahkan deret kursi dihadapannya sudah diisi orang asing. Padahal sebelumnya, kursi itu kosong.

"Papa?" Sagara memanggil. Melongokkan kepala ke sepanjang lorong gerbong. Barangkali sang papa berpindah kursi. Namun nihil.

"Om sama kakaknya lihat Papa saya nggak?" Tanya Sagara pada pria dan wanita muda yang duduk di depan kursinya. Namun mereka menggeleng sebagai jawaban.

"dari tadi Adeknya sendirian kok." Si perempuan muda itu berujar.

Sagara menggeleng. "enggak. Aga sama Papa tadi." Terangnya. Bocah itu bangkit dari kursinya. Mengarah pada toilet diantara gerbong yang tadi sang ayah tuju. Namun lama menunggu, ternyata toilet itu diisi orang yang tidak Sagara kenali. Memaksa Sagara kembali ke kursinya dengan perasaan bingung. Otak bocah enam tahun itu dipaksa berpikir keras tentang apa yang perlu ia lakukan, jika scenario paling buruk di kepalanya benar-benar terjadi.

Pramugara kereta kembali berseliweran dengan trolley berisi makanan. Dengan takut-takut, Sagara meminta bantuan. Mengecek kamar mandi kereta yang lain untuk menemukan sosok Yudhis. Namun nihil. Para petugas kereta yang lain bahkan turut membantu mencari, karena Sagara yang terlihat panik dan siap menangis. Sayangnya, dari tujuh rangkaian gerbong yang ada, tak satupun sudutnya menyembunyikan Yudhis. Kondektur bahkan turun tangan membantu. Mencegah keributan kian menjadi bola liar karena orang-orang dalam gerbong itu mulai kasak kusuk ingin tahu.

"Dek, namanya siapa?"

"Banyu Sagara, Pak." Jawab Sagara dengan isak kecil.

"Dek Banyu, Bapak boleh lihat tiketnya?" ujar sang kondektur lembut, "tadi naik sama siapa?"

Sagara terdiam bingung. Ia tak sempat dititipi tiket oleh sang ayah, kan? Jadi bagaimana ia akan menjawab pertanyaan itu?

"Aga naik kereta sama Papa, Pak. Tadi tiketnya Papa yang pegang." Jawab Sagara pelan. Titik-titik air mata mulai merembes jatuh ke pipi. Bocah itu sedikit ketakutan.

"Adek ini sama Papanya tujuannya mau kemana?"

Sagara terdiam dan menggeleng. "Papa bilang mau ajak Aga jalan-jalan. Gatau kemana."

"Nama Papanya siapa? Terus naiknya dari stasiun mana? Adek ingat tidak?"

Sagara mengangguk. "Nama Papa, Yudhis Triawan." Tapi menggeleng kemudian. "apa ya tadi? Aga lupa naiknya dari stasiun apa." Ujarnya ragu.

"naik dari stasiun Bekasi, kah? Atau Cikampek?"

Sagara menggeleng lagi, "bukan. Tempatnya ada hari-harinya."

"Stasiun Pasar Senen, ya?" sang kondektur mengkonfirmasi; diangguki Sagara dengan jawab tak yakin.

"terus Papanya ikut naik juga?"

Kali ini Sagara mengangguk yakin. "Papa duduk disamping Aga tadi. Papa juga ajak Aga jajan ke gerbong kantin. Kita mam sama-sama." Cerita Sagara dengan antusias.

"terus abis mam, Aga ngantuk. Papa bilang Aga boleh bobo, soalnya turunnya masih lama." Ceritanya terjeda. "terus Papa bilang mau ke toilet... Aga-nya keboboan..."

Dewasa yang mendengar cerita Sagara itu terdiam. Mendengar cerita Sagara membuat mereka berfikir tentang seburuk-buruknya kemungkinan yang terjadi; mengapa anak enam tahun ini ada di kereta sendirian.

Sang kondektur menelepon kantor pusat. Menjelaskan situasinya dan mengajukan permohonan untuk mengecek ulang data manifest penumpang hari ini. Nomor kursi yang diduduki Sagara tercatat membeli tiket untuk perjalanan Pasar Senen - Purwokerto; check in di waktu yang mepet dengan waktu keberangkatan kereta. Namun sayangnya, tidak ada nama Banyu Sagara dalam daftar manifest penumpang. Tidak pula tercatat nama Yudhis Triawan. Justru nama asing yang tak pernah sekalipun dikenali Sagara yang tercatat sebagai nama pemilik kursi yang sedari tadi Sagara duduki.

SAGARA [Na Jaemin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang