Pada akhirnya, Sari mengalah. Ia masuk ke kamarnya dan membiarkan sang suami melakukan keinginannya. Lagipula, sekalipun kesal, mana tega Sari membiarkan bocah enam tahun itu luntang-lantung di stasiun? Terlebih sebentar lagi akan masuk waktu tengah malam.
Sari hanya memperhatikan dalam diam saat melihat bagaimana Khoirul membereskan kasur lipat di depan TV untuk ditempati Sagara. Menempatkan satu selimut hangat untuk bocah enam tahun itu dan berbaring bersisian untuk memastikannya tidur. Membiarkan Sari tidur sendirian di kamarnya.
---
Sejak pukul tiga pagi, rumah mungil itu sudah terlihat sibuk. Khoirul sudah pergi ke pasar dengan motor tuanya untuk membeli bahan jualan untuk warung mie ayam milik Sari. Pulang saat subuh nanti, yang dilanjut shalat berjamaah di mushala. Biasanya Sari ikut ke pasar, namun karena ada Sagara dirumah, jadi untuk kali ini Khoirul pergi sendiri ke pasar. Sementara Sari beberes sambil menunggu.
Sagara bangun menjelang waktu subuh. Seolah tubuhnya secara otomatis di desain untuk bangun pagi —tanpa peduli semelelahkan apa waktu yang kemarin ia lewati. Wajahnya celingukan melihat suasana sepi. Jujur, ada perasaan trauma di hati Sagara tiap kali terbangun dan menemukan suasana berubah beda. Tangan kecilnya melipat sebisanya selimut yang digunakan. Membereskan bekas tidurnya sambil lirik kanan kiri untuk memastikan bahwa dirinya tidak dibuang atau ditinggalkan untuk yang ke sekian kali.
"Tante...?" Sagara memanggil untuk memastikan bahwa perempuan yang tengah berjongkok sambil berkutat dengan tumpukan cucian piring memang benar Sari.
Sari melirik sekilas dan fokusnya kembali pada piring kotor. "kenapa?"
"Tante lagi apa? Aga boleh bantu?" tawar bocah itu takut-takut.
Sari menggeleng untuk menolak tawaran Sagara. "nggak perlu." Ujarnya. Sari tidak berniat berkata ketus, tapi setelan pabriknya memang tidak ramah membuat apapun yang dilakukannya seperti tengah marah.
Sagara berdiam diantara batas ruang TV dan dapur dengan tangan gemetar ringan. Bingung mau apa. Biasanya Bu Salamah tidak pernah menolak Sagara dengan begitu terang-terangan. Selalu ada hal kecil yang bisa Sagara bantu —karena Yudhis seringkali menoyor kepalanya dan memarahinya jika Sagara terlihat berdiam diri bermalasan.
Sari yang menyadari bahwa Sagara tak beranjak jadi mengabaikan tumpukan piring kotor dan memperhatikan Sagara. "kamu mau mandi?" tawar Sari kemudian, "belom mandi kan dari kemarin?"
"boleh?" tanya Sagara pelan.
Sari mengangguk. Ia mencuci tangannya dan membiarkan cucian piringnya terbengkalai. Menjerang sepanci air untuk mandi serta mengambil handuk bersih untuk Sagara.
"tunggu sebentar ya. Masak air dulu, biar mandinya anget."
Sagara mengangguk dan menunggu. Takut untuk berkomentar banyak.
Bilik mandinya sungguh berbeda dengan di rumahnya. Tidak ada shower ataupun water heater. Air mandinya di jerang manual diatas kompor. Untung Sagara masih tau cara menggunakan gayung dan WC jongkok.
"Tante... bajunya Aga cuci, boleh?" tanya Sagara usai mandi. Ia menunjukkan baju kotor miliknya usai bertukar pakaian dengan satu stel baju ganti yang ia bawa di tas kecilnya.
"emang bisa cuci baju?" tanya Sari. Tidak berniat meremehkan, tapi anak sekecil Sagara jarang ada yang paham pekerjaan rumah.
Sagara mengangguk. "Aga bisa. Tinggal masukin deterjen, nyalain air sama tekan tombolnya, kan?"
Sari memiringkan kepala sebelum tertawa kecil beberapa detik kemudian. Memahami maksud Sagara. "disini cucinya pakai tangan. Ngga tekan tombol."
Sagara bingung lagi.
"taruh aja baju kotornya disana. Nanti Tante aja yang cuci sekalian." Ujar Sari seraya menunjuk pada keranjang baju kotor.
Mendengar itu, secara otomatis Sagara memeluk erat baju kotornya. Tangannya gemetar lagi. "Aga bisa... cuci sendiri..." lirih Sagara. "boleh ajarin Aga nggak Tante?"
Sari mengernyit. Diam diam perempuan itu menyadari bahwa Sagara sering sekali terlihat gemetar ketakutan. Membuatnya bertanya-tanya, apakah dirinya sejahat itu dimata anak kecil?
"kapan-kapan Tante kasih contoh gimana cuci baju pakai tangan, ya? Tapi sekarang, punya kamu ditumpuk aja. Nanti biar dicuci bareng sama baju Tante dan Om."
"dimarahin, nggak?" lirih Sagara.
"siapa yang marahin?"
Sagara terdiam lagi. Tiba-tiba bayangan bagaimana Yudhis memukulnya tiap kali Sagara menunda-nunda mengerjakan sesuatu, atau terlihat berpangku tangan pada Salamah dulu berkelebat dikepalanya.
"Tante nggak akan marahin kamu. Udah ngga papa, taruh aja disana." Ujar Sari lagi.
"terus, Aga bisa bantu apa?"
"Aga bisanya apa?" kali ini suara Sari terdengar mencoba memberikan bocah enam tahun itu kesempatan.
"Aga bisa pakai mesin vacuum." Ujar bocah itu dengan polos. Berpikir bahwa mungkin ia bisa membantu membersihkan rumah. Tapi tidak banyak peralatan canggih di rumah kecil ini.
Sari terlihat masih menunggu, apa saja keahlian bocah enam tahun itu. Namun dari gelagatnya, Sari sadar sepertinya bocah itu bukan berasal dari keluarga menengah kebawah. Baju yang dikenakannya juga nampak bukan produk pasar swalayan. Tapi brand fashion kenamaan dengan harga yang jelas bukan untuk kaum mendang-mending.
"Aga suka bantu Bu Salamah masak. Kupas bawang. Blender bumbu..." Katanya bangga. "oh.. oh... Aga juga bisa buat teh. Cuci beras... apalagi ya?" tambah bocah itu terdengar bingung sendiri.
"cuci sayur, bisa?"
Sagara mengangguk antusias.
"sebentar lagi Om pulang dari pasar, Aga bantu cuci caisim, boleh?"
"boleh Tante..."
Begitu diputuskan apa yang bisa Sagara lakukan untuk membantu, Sari kembali berkutat dengan pekerjaannya yang sebelumnya ditinggalkan. Sementara Sagara duduk manis memperhatikan sambil menunggu Khoirul pulang.
"Omong-omong, Bu Salamah itu siapa?"
Sagara tersenyum, "Ibu baik yang suka masakin mie goreng seafood buat Aga." Katanya sambil mengenang.