"kenapa nggak bilang?" tanya Khoirul dengan emosi yang kuat-kuat ia telan.
Hari sudah malam. Gelap di langit merambat dan sunyi menghias koridor di depan kamar rawat Ibunda Sari. Khoirul baru pulang dari pekerjaannya dan langsung ke Rumah Sakit untuk menemui Sari. Entah sesuatu yang baik, atau justru buruk; di parkiran tadi, ia sempat bertemu Andini yang dijemput Lukman pulang —dan dari dialah ia dengar kabar bagaimana orangtuanya bertandang tadi siang.
Tapi kenapa Sari tak bercerita apapun diantara gelembung chat mereka tadi? Kenapa Khoirul harus mendengar kabar perihal kunjungan orang tuanya ke Rumah Sakit, justru dari Andini?
"bilang apa?"
"kenapa nggak bilang kalau Mama dan Papa kesini tadi siang?" tekan Khoirul.
"kamu tau dari mana?" Menatap Sari yang balas melihatnya dengan takut, justru membuat Khoirul terluka.
"Andin." Suara Khoirul terdengar lugas.
Sari membuang muka. Air matanya jatuh. "saya aja ndak tau kalau Mama dan Papa tiba-tiba kemari." Balas Sari, "Mama sama Papa bilang mau bicara sama Ibu dan Bapak. Bukan mau ketemu saya."
"Aga juga nggak sengaja bertemu Mama dan Papa..." sambung Sari.
Khoirul menghela napas panjang. "mereka bicara sesuatu yang buruk soal Aga?"
Sari menggeleng. Namun deras air matanya keluar. Benar, orang tua Khoirul memang tidak mengatakan hal buruk tentang Sagara. Namun gerak-gerik mereka membuat Sari terluka. Tapi Sari tidak ingin membuka suara. Ia bukan pengadu. Ia tidak ingin menjadi duri dalam hubungan orang tua dan suaminya.
Tapi Khoirul jelas sudah paham betul bagaimana tabiat kedua orang tuanya kan?
Khoirul menarik Sari dalam pelukan. Menggumamkan maaf sebanyak yang ia bisa.
"Dek... maaf..."
"bukan salahmu, Mas." Kata Sari dengan isak yang tak mampu di bendung, "seandainya aku ndak mandul..."
"Sari... nggak begitu."
"tapi Mama benar..." tangis Sari kian terdengar menyakitkan, "kita nggak butuh anak pancingan kalau kita punya anak sendiri."
Khoirul melepas pelukannya. Menatap Sari tepat di mata. "kamu ingin Sagara sebagai anak pancingan?" tanya Khoirul pelan.
Sari terdiam, balas menatap suaminya sebelum memberikan gelengan kecil. Tidak. Niat awal mereka menginginkan Sagara karena mereka mencintai Sagara. Sari bahkan tidak pernah berfikir bahwa Sagara akan jadi anak pancingan untuknya. Ia ingin membawa Sagara pulang untuk memberikan rumah yang seutuhnya rumah.
Perkara anak, Sari sungguh sudah mempasrahkan segalanya pada Tuhan.
Khoirul mengangguk kemudian. "kita sekeras kepala ini, karena kita ingin menjadi orang tua untuk Aga." tegas Khoirul. "bukan sekedar nyari anak pancingan."
"I – iya."
"Dek... sekarang, saya butuh dukunganmu." Ujar Khoirul. Memaksa Sari untuk balas menatapnya meski dengan air mata yang masih menggenang. "saya nggak tau, masa depan akan seperti apa. Saya nggak tau, keputusan ini mungkin buruk, tapi boleh jadi ini yang terbaik. Tapi saya ingin mengambil keputusan untuk rumah kita. Saya akan jadi sesungguhnya pria yang menyandang status kepala keluarga."
"maksud Mas, apa?"
"saya akan tetap bawa Aga pulang. Jadi anak kita. Saya akan proses semua dokumen agar Aga syah menjadi anak kita dimata hukum."
"tapi Mama sama Papa gimana, Mas? Omongan keluarga besar?" bibir Sari gemetar. "aku nggak mau, Sagara malah jadi olok-olok nantinya."
"saya yang pasang badan. Saya ini kepala keluarga. Kewajiban saya untuk lindungi kalian. Maka dari itu, saya butuh dukunganmu."