Prompt: Buat cerita dengan trope "she fell first, but he fell harder."
🍃🍃🍃
"Apa ini masa depan?"
Kami semua terdiam melihat Tora tampak bengong dengan bunga yang masih ia genggam. Ini siang bolong yang terik, di atas batu hitam raksasa yang sebenarnya tidak bisa disebut batu juga—ini Terra.
"Aku enggak nyangka bisa ketemu Paman pas masih remaja!" Afra sejak tadi heboh. "Aku cuma kenal Paman yang bapak-bapak! Di masa depan, Paman punya anak—"
"Ssssh!" Tora menoyor Afra. "Jangan spoiler!"
"Tapi, itu cuma satu kemungkinan dari semua hal, 'kan? Kalaupun aku muncul di sini sekarang dan jadi penyebab butterfly effect, berarti yang terjadi nanti—"
"Afra, aku tahu, kamu maniak scifi. Tapi, tolong diam dulu!" Tora mendengkus. "Aku—aku cuma mau memastikan. Apa benar, hidupku di masa depan ... akan ada banyak drama?"
Giliranku yang menghela napas. "Ra, masa depanmu enggak akan terjadi sebelum kamu sampai ke sana. Jadi, tenang saja dan jalani hidup dengan semestinya, oke?"
"Bilang saja kamu belum nulis."
Ouch. Menohok.
"Tapi, ya, apa pun yang kamu lihat dari bunga itu, belum tentu itu yang akan terjadi nantinya." Aku bersedekap. "Ini namanya disclaimer. Buat dirimu sendiri ataupun orang lain."
"Aku tahu, sampai umur segini, aku enggak pernah suka sama cewek." Tora mengamati bunga di tangannya. "Dan aku tahu, ada yang suka aku—"
"Phuf!" Rehan tersedak menahan tawa. Ia langsung dijitak Tora.
"Sebentar. Aku sekarang umur berapa, sih?" Tora mengamati dirinya sendiri. "Enam belas? Tujuh belas? Hmm ...." Ia menengadah sambil menghalangi cahaya matahari dengan tangannya. "Jadi, begini ceritanya ...."
🍃🍃🍃
Andra, aku suka sama kamu!
Perempuan itu berkata terang-terangan di depan ruang kelas. Saat itu, Tora masih kelas 7, sebelum badai kehidupan menerpa. Cengangas cengenges di mana pun ia berada, termasuk menyadari umurnya yang terlalu muda untuk ukuran anak SMP saat itu–10 tahun. Makanya, pernyataan dari Rani membuat Tora nyaris menyembur.
Uapa pula maksudnya?
Namun, Tora tak ambil pusing. Meski satu kelas sudah tahu soal perasaan Rani ke Tora, tetapi Tora menganggap Rani—yang memang lebih tua—sebagai sosok "kakak". Sebelas dua belas dengan kakaknya. Itu pula yang membuat Tora bisa lebih dekat dengan Rani. Kalau mereka seumuran, nyaris bisa dipastikan, Tora tidak akan bisa mengobrol normal. Entah mengapa, sepertinya memang bawaan lahir Tora begitu.
Itu SMP. Suatu masalah membuat Tora menunda satu tahun masa sekolahnya dan berakhir ia jadi adik kelas teman-teman yang dulunya seangkatan. Lalu bencana alam terjadi, memaksa mereka untuk mengungsi, dan tanpa disangka, Tora satu kampung dengan Rani, bahkan satu SMA.
Itulah bagaimana cerita aneh antara keduanya kembali terjalin. Dimulai dari Tora yang ditarik dua orang untuk jadi pemain gitar sementara ia sudah berazam untuk tidak main musik lagi, yang ternyata itu karena Rani. Rani, yang teramat antusias karena rindu melihat Tora main musik seperti ketika dulu mereka masih SMP. Tora turun panggung sambil berlari menahan tangis karena merasa bersalah pada mendiang ibunya. Rani yang mengejar, meski kena semprot Tora, tetapi perempuan itu menyerahkan buket sambil berkata terang-terangan.
Karena aku dari dulu suka kamu.
Kalimat yang mendadak membayangi Tora. Ia sama sekali tak pernah memedulikan hal itu sebelumnya; Tora tak memikirkan hubungan dengan orang lain di luar keluarganya. Ia punya kakak kandung yang ia hormati sekaligus sayangi, ia tak butuh orang lain untuk melengkapi dirinya. Namun, saat itu, kakaknya sudah hendak menikah.
Tora pasti butuh orang lain.
Itulah ketika suatu siang, di kantin, Tora mengatakannya lebih dulu. Ayo kita pacaran. Keruan saja, ketika ketahuan, Tora dimarahi habis-habisan. Namun, hubungan "pacaran" mereka bertahan hingga bertahun-tahun kemudian, sampai akhirnya suatu masalah yang cukup besar terjadi dan mereka ... terpaksa putus.
Saat itulah Tora sadar.
Saat mengajak pacaran dulu, ia hanya iseng saja. Ia takut kehilangan sosok kakak perempuan yang selama ini bersamanya. Ia merasa harus mencari orang lain yang bisa menggantikan kakaknya. Pilihannya jatuh pada Rani, perempuan yang lebih tua darinya, pun paling akrab dengannya. Jujur, Tora tidak sepenuh hati mengatakannya, meski tidak bisa dikatakan iseng juga. Ia hanya ingin tetap punya hubungan.
Setelah putus, Tora menyadari bahwa ia sangat kehilangan. Bukan hanya kehilangan.
Ia benar-benar sudah jatuh cinta.
Jangan jatuh cinta sebelum menikah. Susah akibatnya. Itu nasihat ayahnya, setelah memarahi dirinya.
Kamu berharap apa dari hubungan kayak begitu? Yang ada, kamu malah bisa bikin dia sakit hati! Itu kata kakaknya.
Ya, memang salah. Tora tahu. Ia menyesal, lalu bisa apa?
Kalau kata Bunga Kenangan, ia bahkan tak bisa lagi tertarik dengan perempuan lain, sekian lama, bertahun-tahun. Pamannya yang baru menikah menjelang umur 40 juga sudah memberikan wejangan, sebagai seorang yang hampir senasib soal ketertarikan pada lawan jenis. Lantas, mengapa Tora melihat sesuatu itu? Afra pun mengakui, jika—-
🍃🍃🍃
"Cukup."
Bahu Tora bergerak naik-turun. "Aku enggak mau menyukai siapa pun lagi, dalam konteks seperti itu. Biarkan aku hidup apa adanya, sampai nanti takdir entah menuntunku ke mana."
Aku melirik Afra. Afra tersenyum balik. Ia berbisik padaku. "Buat beberapa hal, ada yang bakal menetap dan enggak berubah, 'kan?"
Aku tak menjawab, hanya bisa menepuk bahu perempuan kecil itu.
(Bersambung)
****
Cara Tare mengartikan trope ini: dia (wanita) nyungsep duluan, lalu si lelaki nyungsep kemudian dengan lebih keras. Ternyata mau nyelamatin si wanita, terlalu heboh nyungsepnya sampai split. Hiyaaa.
Jk.
7/6/23
zzztare
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Kenangan: Kisah-Kisah yang Tertahan
Short Story[Dalam rangka Daily Writing NPC] ✨Mengandung spoiler, canon, dan headcanon dari semua OC Tare✨ Jika ada ruang, waktu, linimasa, dan dimensi yang berbeda, apakah ada yang merekam jejak itu semua? Ataukah mereka berjalan masing-masing, beriringan, ses...