Petal XXIII

13 1 0
                                    

Prompt: Tokoh cerita kalian hendak mengakses link video conference. Namun, karena salah mengklik link, ia malah terhubung dengan dunia paralel.

🍃🍃🍃

Telekonferensi.

Sebelum berpikir yang aneh-aneh, atau memang biasanya sudah aneh, kami di sini, sambil berkendara tanpa tujuan pasti, hendak memanggil semua yang bisa dipanggil lewat konferensi video. Sambungan khusus di Hayalan, pemanggilan dilakukan dengan perantara Bunga Kenangan, satu-satunya objek yang ada di persimpangan aneka lintas waktu dan cerita.

Mungkin, tidak sampai puluhan yang akan diundang. Cukup mereka-mereka yang mewakili saja. Anyelir dan Rifa, misalnya. Selain itu juga Lia, Radit, Ray, dan Eugeo. Mungkin akan lebih menyenangkan jika bisa sekalian menghubungi Aufa dan Mia. Lalu, entah siapa lagi.

Sinyal aman di sini-selama aku menghendaki. Namun, aku tidak membawa laptop. Untuk apa? Aku hanya membawa ponsel. Bisa kudengar suara tertahan dari RI ketika aku mengangkat ponsel-pasti ia melihat gantungan bergambar dirinya di sana. Phone strap yang sengaja kubuat untuk menjadi penyemangatku, karena RI adalah motivasi nomor satu.

Hehe, bercanda.

"Sudah siap?" tanya RI. "Kamu yang pegang pranalanya."

Aku mengangguk. Kedua belas orang lain pun bersiap di belakangku, dengan Deha yang sengaja merapatkan duduknya padaku.

"Ada yang aneh," ucap Deha berkali-kali. "Aku merasakan diriku sendiri."

"Kamu kira, kamu dan aku itu apa?" balasku.

Kuklik link yang sudah disiapkan itu, hendak bergabung dengan rapat video yang sudah digaungkan ke seantero "semesta" oleh sang bunga.

Sedetik, dua detik.

"Jadi, ini beneran?"

Aku dan Deha yang paling depan dan langsung menatap layar ponsel, sama-sama mengernyit heran.

Siapa itu?

"Aku mendengar ada yang akan memanggilku, yaitu diriku sendiri di masa lalu. Apakah itu kamu?"

DEG.

Pernahkah jantungku berdegup sekencang ini?

Bahkan, saat pengumuman-pengumuman terpenting yang sudah lalu, aku tidak pernah setegang ini. "Kamu ...."

"Kamu menyebut dirimu siapa? Namamu, ADH, 'kan? Itu Deha? Ehm ... kok, aku enggak diajak?"

Hening.

"Wah," gumam Deha. "Tare, itu kamu."

"Itu kamu," sahut Afra yang muncul di belakangku tiba-tiba.

"Itu kamu," sambung Ivy.

"Itu kamu." Tora dan Rehan kompak berucap.

"Itu kamu." Sally dan Ashley tak mau kalah.

"Itu kamu ...." Edi terdengar ragu.

"Itu kamu." Ven dan Alba berujar pasti.

"Itu kamu!" seru Kakak antusias.

"Itu kamu," gumam Shie takjub.

"...."

Aku menengadah, menatap RI, BZ, dan X di hadapanku, beberapa meter di belakang layar ponselku.

"Itu ... kamu?" RI bertanya, memastikan.

"Mana kutahu!" sahutku. "Kamu siapa?"

"Aku? Ah, aku hanya satu dari sekian banyak jalinan takdir yang mungkin terjadi, dan sepertinya, yang paling tidak mungkin terjadi." Sosok itu tertawa.

Aku tambah gemetar. Dari tampilan video itu, bisa kulihat pakaiannya. Kerudung segiempat yang biasa, plus pin Totoro yang sudah melekat sejak 2017. "Kamu ... umurnya berapa tahun?"

"Hahaha, berapa ya?" Ia malah tertawa meledek. "Di atas 20."

"Sekarang juga aku udah di atas 20!"

"Yahaha, kalau gitu di atas 25?"

"Tua amat!"

"Kok protes?"

Tidak. Aku tidak mau bertemu diriku sendiri di masa depan. Ini ... mengerikan.

"Aku mendengar panggilan. Semua yang merasakan, berhak untuk ikut, bukan? Ikut dalam menghakimimu ...."

Aku memilih bungkam.

"Siapa panggilanmu di sana? Tare?" Ia tertawa renyah. "Percayalah, meski aku adalah kamu, kamu enggak akan menjadi aku nantinya. Masa depan bukan untuk dilihat saat ini juga. Yang harus kamu lakukan adalah berusaha yang terbaik, untuk mengejar target-target yang tercanang saat ini."

"Apa kamu senang menceramahiku?" tanyaku pelan. "Karena, kalau aku bisa bicara denganku di masa lalu, uh ... selain Deha ini, aku benar-benar ingin menyuruhnya berbuat sesuatu."

Ia lagi-lagi tertawa. "Tidak ada gunanya bicara pada masa laluku, karena butterfly effect tidak akan terjadi, kecuali kamu lompat dimensi, yang mana itu melawan takdir. Yah, bisa saja terjadi kalau di dalam fiksi, bukan? Karena, yang terjadi sekarang, sudah pasti digariskan oleh-Nya."

Perkataan itu lagi. "Apa kamu menyesali sesuatu?"

"Tentu. Ada banyak penyesalan, tetapi penyesalan membawa kepada panjang angan-angan, dan berandai-andai itu dibenci Allah. Jadi, apa yang bisa kamu perbaiki dari kesalahan lalu?"

"Aku sangat paham akan hal itu. Tapi, kalau bisa lepas dari perasaan takut dan bersalah, apa kamu punya tipsnya?"

Sosok itu menghela napas. "Masalahku masih sama, rupanya. Terbiasa hidup dengan memenuhi ekspektasi orang lain, jadi ketika yang diperbuat itu tidak sesuai, rasa bersalahnya terlalu besar sampai kebawa mimpi."

Aku tersentil.

"That's okay, though. Itu semua bagian dari pembelajaran hidup, daripada tiap merasa rendah diri, kamu berdiam dengan dalih 'menunggu character development dari Tuhan?' "

"Hoi!" seruku.

"Kamu penulis spiritual, 'kan?" Sosok itu kembali terkekeh. "Aku pun. Aku akan tetap menulis cerita dengan prinsip yang sama denganmu, dengan tetap memberikan hikmah meski hanya sekecil zarrah. Apa pun yang sedang kulakukan sekarang, aku tetap menulis!"

"Boleh aku tahu apa pekerjaanmu ... atau aku?" tanyaku.

Sosok itu diam sesaat, lalu tersenyum. "Ah, enggak perlu. Cukup kamu tahu kalau aku tetap memegang prinsip dan berusaha melakukan kebaikan yang sama sepertimu. Sisanya, itu rahasia~"

Aku menghela napas. "Yah, baik, terima kasih atas wejangannya, diriku sendiri."

"Senang bisa bicara denganmu. Enggak bisakah lain kali kamu mengajakku ke sana?"

"Tunggu!" Aku teringat sesuatu. "Kenapa kamu enggak bisa ke sini? Apakah ... apakah di kamu, Hayalan masih ada?"

Sosok itu hanya tersenyum.

Aku hanya bisa memandang kosong, terperangah, lalu menunduk, sebelum panggilan itu berakhir.

Barulah, para peserta yang memang dipanggil bermunculan. Mereka tampak kikuk di layar. Sementara yang lain sibuk mengobrol dan saling menyapa, aku masih berusaha memproses kejadian barusan.

Aku tidak tahu. Umurku di atas 25 tahun ... apa yang terjadi saat itu?

Apakah Hayalan masih ada?

Apakah aku masih hidup?

Entahlah, dan aku tidak minat mencari tahu.

(Bersambung)

🍃🍃🍃

Diketik 22/6/23

Jkt, 23/6/23
zzztare

Bunga Kenangan: Kisah-Kisah yang TertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang