Prompt: Buat cerita tentang Jumat Kliwon. Dilarang bergenre horor.
🍃🍃🍃
Siapa yang percaya weton di sini?
"My, my. What a fateful night, isn't it?"
Sosok berambut pirang itu berkacak pinggang. Ia menatap kami semua. "Enggak usah cerita, aku sudah tahu soal bunga. Benar kata Shie, kami ini bukan manusia biasa."
"Soal bunga macam apa yang kamu tahu?" tanyaku memastikan.
Perempuan itu menghela napas. "Tentang lintasan takdir," ucapnya. "Hal yang enggak terlalu kupedulikan, karena aku sudah membuang kehidupanku sendiri. Tapi, dia enggak."
Sosok lainnya yang ia tunjuk langsung mendengkus.
"Kalian ingat aku, 'kan?" Sosok berambut cokelat panjang itu menatap kami. "Aku Ashley."
"Dan aku Sally," ucap si rambut pirang.
"Kami sudah banyak mengedarkan rumor aneh di mana pun, jadi enggak heran 'kan kalau kami juga bikin rumor tentang Jumat Kliwon?" Sally mengangkat bahu. "Waktu itu, soal tanggal 13, sekarang tentang Jumat Kliwon. Wah, kalau digabung, kayaknya seru."
"Apa kalian bikin rumor tentang meteorit lagi?" tanya Tora. Ia tampak tertarik.
"Lagi? Uuhh ... kamu masih ingat, rupanya?" Ashley menggaruk kepalanya, salah tingkah.
"Bukan!" Sally bertepuk tangan. "Dan ini juga bukan hal yang identik dengan horor. Meski kami bukan orang yang memedulikan weton, tetapi ada kalanya memikirkan hal itu seru."
"Weton Jumat Kliwon?" Ivy memastikan.
"Yup. Orang yang memiliki weton Jumat Kliwon itu punya aura positif. Katanyaaa." Sally menekankan kata terakhir. "Lagipula, sepertinya, ada yang menolak memercayai hal itu di sini."
"Benar," sahut Kakak tegas. "Jangan omongin weton. Kalau sekadar penanggalan, okelah, enggak papa. Tapi kalau sudah menyangkut kepribadian dan takdir, no! Biarkan semua mengalir sesuai qada dan kadar-Nya."
"Uluh-uluh," sambung Ivy. "Aku rindu, deh, lihat sisi religius Kakak."
Kakak menatap Ivy sinis.
"Weton, ya." Ven malah menyambung. "Kepercayaan akan hari lahir tertentu bisa membawa nasib tertentu ke seseorang ... itu sudah dihapuskan di masa depan. Semuanya serba teknologi. Apa-apa genetik, keturunan, atau implan. Ya, enggak, Al?" Ia menyenggol Alba.
"Mungkin nasibku adalah sial," sahut Alba tak peduli.
"Hoi!"
"Masa depan, ya?" Sally duduk memeluk lutut. "Agak membingungkan kalau ngomongin masa depan di tempat ini, di mana waktu seolah berhenti."
Benar.
Lingkungan asrama tempat kami berpijak sekarang terasa begitu asing. Bukan hanya karena suasana sepi yang mencekam, melainkan juga karena tak terasa ada peredaran matahari di langit.
"Mungkin, enggak ada yang ngomongin takdir di masa depan?" gumam Afra tiba-tiba. "Ah, masa sih enggak ada orang beriman di sana?"
Woi, Fra, kamu kejauhan.
"Ada. Aku." Ven menepuk dadanya bangga.
"Hai!"
Obrolan terputus dengan kemunculan Shie. Ia tampak ... berbeda. Pakaiannya, maksudnya.
"Aku baru menyesuaikan diri di tempat ini. Sekarang, Sword, Archer ... apa kalian sudah siap pergi?"
Dua orang itu, Sally dan Ashley, tampak terpana melihat Shie, ditambah lagi dengan panggilan yang diberikan.
"Sword," gumam Sally. "Rasanya, sudah lama sekali ... bukan. Aku yakin aku pernah mendengar diriku dipanggil seperti itu, tapi entah kapan."
"Archer," gumam Ashley. "Aku familier ...."
"Benar!" Shie tiba-tiba melakukan gerakan menggunting. Kami semua bisa melihat sekilas benang merah yang tampak terpotong, sekejap saja sebelum langsung menghilang. "Archer, Sword, takdir kalian bukan untuk mengendap di tempat ini. Kalian harus keluar. Dan gerbangnya sudah membuka untuk kalian."
Sally dan Ashley terpana melihat sesuatu yang tak bisa kami lihat. Shie menatap kami, lalu tersenyum lebar.
"Tadi kalian ngomongin takdir, ya?" tanyanya. "Percayalah, takdir itu memang sudah digariskan, tetapi tidak untuk dipukul rata hanya berdasarkan sesuatu; tanggal lahir lah, golongan darah kah, atau bahkan genetik. Cukup kalian berpegang pada yang kalian percaya, takdir yang akan menuntun kalian."
"Kamu ceramah?" tanyaku.
"Hehe, enggak. Cuma lagi kepikiran. Kalau pakai alasan mengikuti 'yang seharusnya', aku mestinya tidak akan di sini dan tetap di Kerajaan Bawah Laut. Tapi, karena aku punya takdirku sendiri, maka ... di sinilah aku sekarang!" Shie tampak bersemangat. "Ayo kita pergi lagi!"
"Kenapa jadi kamu yang memimpin?" tanyaku lagi.
"Ah, aku enggak maksud. Lagipula, yang kaucari enggak ada di sini, 'kan?"
Aku memindai selintas. Ya, RI tidak ada di sini.
"Ka-kami ikut?" Ashley terdengar ragu.
"Ikut!" Kakak yang menarik Ashley. "Jangan ragu, jangan gentar! Petualangan menanti kalian!"
"Tunggu, kami belum sempat bikin rumor Jumat Kliwon tanggal 13!" seru Sally, meski terdengar guyon.
"Sambil jalan 'kan bisa." Giliran Ivy menarik Sally. "Tare, ayo. Katanya mau pergi."
Sekali lagi, aku memindai sekitar. Warna-warni ganjil tampak bermunculan entah dari mana. Anomali. Lingkungan asrama yang serupa fatamorgana ini tak akan bertahan lebih lama lagi. Kami harus keluar sebelum semuanya menghilang.
"Terra!" seruku.
Tanpa buang tempo, sambil mengangkut seluruh orang, Terra melakukan lompatan. Kerlap-kerlip kembali bermunculan.
Ketika kami sedang merenung begitu, Sally malah bergumam-gumam.
Pada tanggal 13, bertepatan dengan Jumat Kliwon menurut kalender Jawa, seorang anak lahir yang tanpa seorang pun tahu, garis takdirnya sudah tergambar—
Ia langsung kena jitak Shie.
🍃🍃🍃
Beginilah akibatnya kalau nulis dalam keadaan mata tinggal 5 watt dan otak lagi membadai.
Sebentar, saya mau absen penumpang Terra sekarang.
Ada Tare, Deha, Kakak, Rehan, Tora, Edi, Ivy, Ven, Alba, Afra, Shie, sekarang ketambahan lagi Sally dan Ashley. Biarkan BZ dan X ga dihitung karena mereka hobi mencolot.
Hm, 13 orang.
.... Cerita macam apa ini?!
Jkt, 14/6/23
zzztare
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga Kenangan: Kisah-Kisah yang Tertahan
Short Story[Dalam rangka Daily Writing NPC] ✨Mengandung spoiler, canon, dan headcanon dari semua OC Tare✨ Jika ada ruang, waktu, linimasa, dan dimensi yang berbeda, apakah ada yang merekam jejak itu semua? Ataukah mereka berjalan masing-masing, beriringan, ses...