Petal XVIII

10 1 0
                                    

Prompt: Tokoh cerita kalian baru saja berulang tahun yang ke-17. Tanpa ia sadari, ketika usianya menginjak 17 tahun, maka semua permintaan (hanya di hari ulang tahunnya) akan terkabul. Namun, seperti kata pepatah, with great power comes great responsibility.

🍃🍃🍃

Apakah ulang tahun ke-17 itu spesial?

Rasanya tidak. Lagipula, ia tak pernah berharap apa-apa.

Siapa yang berulang tahun ke-17?

"Ehm ... anu. Aku pas umur 17 sih lagi masa-masa galau enggak jelas, mana sok jaim pula. Jadi, sebaiknya, jangan aku yang bicara."

Aku mengerjap beberapa kali. Rasanya, seperti ada yang menampariku dari kanan-kiri, meski tak terlihat apa pun. Makhluk tak kasatmata? Jin? Ah, masa.

"Hei, kamu dengar 'kan perkataanku?" Sesosok itu muncul di hadapanku. "Kamu terlempar ke dunia orang mati."

"Hah ...?"

Barulah aku sadar. Aku sedang tidak di atas Terra. Lha, aku nyasar? Entahlah. Yang jelas, aku mengenali sosok di hadapanku. Ya, sosok yang mestinya sudah mati itu.

Di alur cerita canon, sih. Kalau Bunga Kenangan mau menunjukkan alternate universe, silakan.

"Dan yang mati dalam sekian alur yang terjadi itu, enggak cuma aku, 'kan?" Sosok berkerudung hitam itu tersenyum lebar, lalu menunjuk ke arah seseorang yang seketika membuatku terpaku. Sosok kurus tinggi dengan separuh wajah tertutup kain itu ... aku mengenalinya. Dia penjelajah waktu; dia ikut menaiki Terra bersamaku. Namun, ini adalah sosoknya di "masa depan", alias di usia yang lebih tua dari ia yang sejak tadi bersamaku.

"Halo." Sosok itu melambai kecil, meski matanya tak menyiratkan ekspresi senang. "Kamu mau berantem lagi?"

"Kenapa gitu sambutannya?!" seruku.

Aku bisa mendengar dengusan tertahan sebagai balasan. Lalu, ia melepas kain yang sejak tadi menutupi mulutnya. Tampak senyum kecil tersungging di sana. "Enggak papa. Aku sudah melihat apa yang terjadi, dan aku merasa baik-baik saja."

"Sebentar ... konteksnya apa ini?" Aku memegangi kepala, mulai pusing.

"Ven yang bersamamu itu umurnya sekitar 12-13 tahun, 'kan?" Sosok itu bertopang dagu. "Kamu tahu umurku berapa. Tujuh belas. Di alur yang sama sekali berbeda, aku enggak bisa bahagia ketika masih seumur dengannya dulu."

"Hmmm?" Aku masih bingung.

"Ketika memasuki umur tujuh belas tahun itu, meski aku sudah melupakan penanggalan ... adalah saat yang berat untukku. Makanya, aku berharap supaya dikuatkan. Kamu tahu apa yang terjadi?"

Aku berjingkat. Ven umur 17 tahun itu tiba-tiba menudingkan belati tulang padaku.

"Tiba-tiba, aku bisa melakukan segala hal yang sebelumnya tidak. Belati yang sebenarnya milik kawanku ini, bisa membelah aneka cangkang keras dan kulit tebal yang tampaknya mustahil diapa-apakan dengan tulang ini. Tiba-tiba, aku bisa melompat begitu jauh, berlari kencang, dan melempar dengan kuat, membidik dengan akurat. Kuakui, itu bukan karena pengalamanku. Itu karena keajaiban yang muncul begitu saja."

"...."

"Tapi, kamu tahu, 'kan? Dengan segala kekuatan yang kupunya, aku ingin mengejar cita-cita yang tertunda. Dengan segenggam harapan tipis yang kupunya, aku mulai mencari, dan ...."

Kalimat itu menggantung di ujung. Aku tahu. Kami semua yang di sini tahu. Kalau tidak, ia tak ada di sini sekarang.

Dunia orang mati.

"Aku mati." Ven berdiri, menatap kejauhan, sambil tetap menggenggam belatinya. "Mati, setelah mendapat aneka kekuatan. Apakah itu berarti hidupku sia-sia? Apakah ... aku hanya diberi kado sebagai hiburan sesaat, yang sebenarnya mempercepat usia?"

Aku masih diam saja.

"Namun, itu bukan hal buruk seutuhnya. Di dunia itu, Alba sudah pergi lebih dulu. Dia juga ada di sini, sekarang ini. Tapi, dia pemalu. Dia enggak muncul menemuimu, seperti aku maupun Bunda Arin ini."

"Hei!" Arin, perempuan berkerudung hitam dengan bandana hitam itu, menyenggol Ven. "Kamu juga malu! Kalau enggak kuseret, mana mau kamu ke depan dia?"

"Malu apaan, orang begitu nongol langsung ngajak berantem?" kilahku. "Ngomong-ngomong, kenapa aku di sini? Aku 'kan belum mati?"

Arin tersenyum. "Belum. Cuma, pikiranmu sepertinya mati. Buntu di tempat, tidak mau melakukan apa-apa. Kamu perlu disetrum!"

Aku menghela napas. "Aku harus keluar dari kebuntuan ini. Kamu punya ide?"

"Enggak. Jangan ngarep apa pun dari aku."

Aku mendengkus, lalu terkapar. "Baiklah. Biarkan aku di sini beberapa lama."

Sedetik.

Dua detik.

Entah berapa lama aku berada di sini, yang jelas, aku denial dengan kenyataan.

(Bersambung)

(daun)

Pray for Tare.

JKT, 18/6/23
zzztare

Bunga Kenangan: Kisah-Kisah yang TertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang