Petal XI

36 4 9
                                    

Prompt: Pilih salah satu pasangan favorit kalian dari cerita orang lain (buku yang sudah terbit). Buat pasangan tersebut karam di cerita hari ini. Cantumkan cerita asal dari pasangan yang kalian ambil di akhir cerita.

(Mau ga mau ini genre fanfic ya)

❗❗ Suicidal thoughts ❗❗

🍃🍃🍃

Seperti yang sudah kubilang, semuanya terekam dalam Bunga Kenangan.

Lelaki itu tahu, motivasi perempuan itu untuk hidup hanya tinggal setipis benang dibelah tujuh. Karena itulah ia berusaha keras membuat perempuan itu tertawa. Sungguh, ekspresi Cinia jika ceria itu sangat manis. Namun, ekspresi itu pula yang sudah lama tidak tampak, bahkan akhir-akhir ini, Cinia makin layu.

Namun, tanding memasak tadi dimenangkan oleh Bana. Bahkan, Aran diusir dari rumah Cinia. Lantas, apa gunanya yang ia lakukan sekarang ini? Aran sakit hati, meski ia sadar, sakit hatinya hanya sepersekian persen dari Cinia. Namun, ia tak bisa berpikir jernih. Batinnya berkata, ada Bana yang akan menjaga Cinia. Kali ini, ia akan berusaha meringankan pikiran dengan pulang ke rumah dan—

Drasshhh.

"Ma-mami?!"

Merah merembes di kemeja yang dikenakan Aran. Ia langsung terduduk, syok. Tidak, ini bukan kali pertama. Aran tahu, maminya sedang kumat. Bukan hanya itu, Ulfa langsung ambruk tak sadarkan diri di lantai rumahnya. Aran belingsatan; perutnya terluka, darah sampai membentuk genangan. Namun, Ulfa tidak bisa dibiarkan, atau hal yang lebih buruk akan terjadi. Aran mencari-cari ponselnya, tetapi pandangannya kian berkunang-kunang. Rasa sakit menguasai dirinya; perih menusuk perutnya sampai ia mengepalkan tangan kuat-kuat. Ujung jemarinya memutih; kuku-kukunya menggores telapak tangannya sendiri.

"Ma–mi ...."

****

Apakah Cinia baik-baik saja?

Tidak.

Bana sudah menjelaskan panjang-lebar sekaligus meminta maaf tentang kelakuan mereka. Ia kini hanya ingin mencari Aran, meminta maaf karena sudah mengusirnya dari rumah tadi. Namun, Aran menghilang. Tak hanya itu, pesannya tak kunjung dibaca. Ditambah lagi, bapaknya muncul tiba-tiba di depan rumahnya, dan meraung seketika. Memarahi dirinya habis-habisan yang dianggap membolos sekolah. Padahal, Cinia sakit. Sakit akibat lebam akibat pukulan yang senantiasa bersarang di tubuhnya, akibat ulah Benny, bapaknya. Lagipula, bukan maksud Cinia ada di rumah, sekarang ini. Ia hanya hilang arah sesaat—atau bisa jadi, untuk selamanya.

Keberadaan Benny berarti Cinia yang terpenjara. Apalagi, Benny baru saja dipecat, yang berarti pria itu akan terus ada di rumah tanpa alasan keluar; hanya punya alasan untuk memukuli Cinia tanpa belas kasih, menganggap Cinia sebagai beban dan anak tak berguna. Melarang Cinia untuk sekolah dan mengharuskannya bekerja saja. Malam-malam yang hening, Cinia menangis dalam rintihan doa. Di mana Aran? Mereka sahabat sejak lama, tetapi mengapa lelaki itu tak kunjung membalas pesannya? Apakah Cinia diblokir? Demikian besarkah efek usiran refleksnya hari itu? Ketika ia menyadari bahwa Aran dan Bana bertaruh menggunakan masakan mereka untuk mendapatkan perhatian Cinia. Ketika Bana merasa menang dan Aran tak terima, yang berujung keduanya nyaris berkelahi di rumah Cinia, sebelum akhirnya Cinia mengusir Aran yang meninju Bana lebih dulu.

Cinia salah?

Ya, ia salah.

Mungkin, ia memang tak pantas dicintai ataupun dipedulikan siapa pun. Bana sudah mengalah, menyadari bahwa Aran dan Cinia tak terpisahkan. Bana mungkin tak akan memedulikannya lagi.

Lantas, Cinia punya siapa?

Kelebat ingatan tentang pembicaraannya dengan Aran tempo hari terngiang. Tentang satu tempat, di mana rel kereta berada.

Bunga Kenangan: Kisah-Kisah yang TertahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang