Ini adalah kali ketiga Kana masuk ke dalam rumah Adam. Tempat itu masih sama sepinya seperti terakhir kali Kana ke sana. Adam bercerita kalau kedua orang tuanya bekerja di luar kota dan hanya pulang beberapa bulan sekali untuk menengoknya.
Adam terbiasa tinggal sendiri sejak usianya menginjak belasan tahun. Cowok itu tahu cara menjaga rumah agar tampak rapi, bahkan melakukan pekerjaan yang biasanya jarang sekali dilakukan anak laki-laki seusianya seperti mencuci, memasak, dan bersih-bersih.
"Jadi, kita cuma berdua nih?" pertanyaan itu meluncur begitu saja ketika Kana duduk di kursi ruang tamu.
Adam terdiam sejenak, mengamati ke sekeliling ruangan rumahnya, lalu mengangguk.
"Terus kita mau ngapain?" tanya Kana polos.
"Mau ke kamar gue nggak?" Alis Adam terangkat satu dan seulas seringai membentuk di bibirnya.
Kana termangu. "Ha? Mau ngapain ke kamar?"
Adam tidak menjawab dan hanya tersenyum. Senyuman nakal yang membuat jantung Kana tiba-tiba berdetak kencang.
Sejurus kemudian Adam terbahak-bahak, melihat ekspresi ngeri yang diberikan Kana benar-benar menghibur.
"Gue ada ps di atas. Lo bisa kan main ps? Atau mungkin lo mau main yang lain?" tawar Adam lagi dengan memasang senyum menggoda. Kana segera mengeplak kepala Adam. Adam meringis seraya pura-pura kesakitan.
Meski malu-malu, akhirnya Kana pun mau untuk diajak ke kamar Adam. Tak disangka kamar itu jauh dari kata berantakan seperti milik Kana di rumah.
Adam memang cowok paling rapi yang pernah Kana kenal.
"Lo duduk dulu. Gue mau ambil minuman sama makanan di bawah," ujar Adam pada Kana sambil menunjuk kasurnya.
Kana mengangguk. Ia duduk di atas kasur Adam yang tertutup selimut. Kasur itu begitu lembut membuat Kana nyaman.
Sembari menunggu Adam yang sedang di bawah, Kana mengamati sekitar. Adam memiliki cukup banyak koleksi buku di atas meja belajar. Selain itu, ada beberapa piagam dan medali yang membuat Kana tertarik.
Kana bangkit untuk melihat benda berkilauan itu lebih dekat. Sebuah medali emas Olimpiade dan medali perak dari perlombaan taekwondo. Ia jadi teringat kali pertama Gema memperkenalkan Adam padanya. Kana tak menyangka cowok yang dulu ia anggap musuh itu kini menjadi kekasihnya. Perlahan pipi Kana merona.
Belum sempat Kana menyingkirkan perasaan berdebar di dadanya pintu kamar Adam mendadak terbuka. Adam berdiri dengan dua botol minuman soda dan beberapa cemilan di tangannya.
Adam masuk ke dalam, meletakkan barang yang dibawanya ke atas kasur lalu menghampiri Kana yang sedang berdiri di depan meja belajarnya.
"Kenapa?" tanya Adam.
Adam berada tepat di belakang Kana. Posisi itu membuat Adam seolah sedang memeluk Kana dari belakang. Kana merasakan hembusan napas Adam menyentuh tengkuknya. Jantungnya kian berdebar.
"Gu-gue cuma mau lihat medali lo."
Mengetahui kegugupan Kana, Adam tersenyum tipis. Ia segera memeluk Kana dari belakang membuat cowok itu berjingkat kaget.
Adam menarik tubuh Kana ke belakang, hingga kaki mereka menabrak ranjang. Lalu, Adam membuat Kana duduk di atas kasur, sementara dirinya tiduran di pangkuan cowok itu. Adam menyamankan diri. Kedua matanya terpejam.
Kana memandang Adam yang sedang manja di pangkuannya. Dia menyentuh rambut cowok itu dan membelainya dengan lembut. Tiba-tiba terbersit pertanyaan di benak Kana.
"Gue boleh tanya sesuatu gak?" tanya Kana pada Adam.
Adam menoleh ke arah pacarnya. "Boleh, tanya aja."
"Sejak kapan lo suka sama cowok?"
Adam tampak berpikir sejenak. "Gue nggak pernah suka sama cowok."
Mendengar jawaban Adam, Kana lantas menautkan kedua alisnya. "Ha? Terus kok lo suka sama gue?"
Adam tersenyum, ekspresi terkejut dari Kana sangat lucu. Dia mengambil tangan Kana dari kepalanya lalu menciuminya dengan gemas.
"Gue suka sama lo tanpa ngelihat lo cowok atau cewek. Gue suka sama lo karena lo itu manis, imut, dan gue sayang sama lo."
Diam-diam Kana tersenyum senang karena jawaban dari Adam, tapi dia tak ingin cowok itu tahu.
"Uhm, terus lo nggak takut apa kalo suatu saat nanti hubungan kita bakal dilarang? Lo tau kan kita hidup di negara yang ngelarang hubungan semacam ini."
Adam mendesah perlahan. Pertanyaan Kana adalah kenyataan yang tidak bisa mereka hindari.
Adam bangun dari tidurnya. Dia menghadap ke arah Kana, memandang wajah kekasihnya yang sedang penuh tanda tanya itu.
"Gue nggak pernah takut sama tanggapan atau pemikiran orang lain. Kalo ada orang yang nggak suka sama hubungan kita, gue bisa hadapin itu. Tapi, yang nggak bisa gue hadapin adalah ketakutan gue akan perasaan lo, Kana."
Adam menghela napas panjang.
"Gue tahu lo dulu suka sama Salma, bahkan lo benci banget sama gue karena itu. Walau sekarang lo uda suka sama gue, tapi gue masih takut suatu saat nanti lo bakal berubah, Kana. Gue takut lo gak suka lagi sama gue. Satu hal yang nggak akan pernah bisa gue hadapin di dunia ini adalah penolakan dari lo, Kana."Adam menatap mata Kana yang kini mulai berkaca.
"Sebesar itu cinta lo ke gue, Dam?"
Adam menggeleng."Gue nggak tahu sebesar apa cinta gue ke lo karena gue gak tahu di mana batas itu. Lo adalah semesta gue, Kana. Dan semesta nggak punya batas."
Kana memeluk Adam. Air mata jatuh dari pelupuk matanya. Sebelumnya, Kana tidak pernah merasakan ada orang yang mencintai dirinya. Tapi, ketika dia bersama Adam, Kana tidak hanya merasakan cinta. Seolah dunia Adam adalah milik Kana, dan dunia Kana adalah milik Adam.
"Gue nggak akan pernah nolak lo lagi, Dam. Gue akan selalu cinta sama lo."
Adam terkekeh. "Begitu pun gue, Kana. Meski lo uda gak cinta sama gue, gue akan tetap ngejar lo dan bikin lo jatuh cinta lagi dan lagi sama gue."
Kana tertawa mendengar perkataan Adam yang terkesan memaksa itu.
"Kadang gue takut jadi pacar lo."
"Lo gak akan nyesel dicintai sama gue, Kana."
Adam mencium kening Kana, lalu mereka saling berpelukan dalam waktu yang lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
AdamKana
Novela Juvenil"Gue benci sama lo, Adam! Gue sumpahin lo gak akan pernah punya pacar! jadi jomblo karatan! gak bisa nikah! gak bakal ada cewek suka sama lo!" "Sekarang gue gak akan pernah bisa punya pacar karena gue sukanya sama, Lo! Jadi lo harus tanggung jawab!"...