Take of Love (2)

8.8K 899 32
                                    

Aku tidak tahu harus memulai dari mana untuk melontarkan pertanyaan pada Aby. Dia tampak tenang dan tidak ada gurat gugup berduaan denganku saat ini. Sangat berbanding terbalik dengan kondisiku. Aku benar-benar gugup dan bingung.

"Saya gak akan maksa kamu buat jawab secepat mungkin. Seperti yang Papa bilang, kamu gak harus merasa terpaksa juga. Saya hanya memberitahukan keinginan saya pada kedua orangtua saya dan mereka menyetujuinya."

Aku langsung ditarik paksa pada obrolan dua wanita tadi. Ibu Aby dan temannya. Jadi, yang tengah keduanya bicarakan adalah aku. Bodoh. Aku bahkan penasaran dengan orang beruntung itu. Ternyata diriku sendiri.

"Bapak gak tahu saya dan latar belakang saya."

Aku tidak mau Aby menyesal memilihku untuk jadi pasangannya kelak. Bagaimana pun, Aby lahir dan besar dari keluarga terpandang. Bagaimana jika orang-orang membicarakan asal-usulku nantinya? Aku tidak mau merusak dan mempermalukan keluarga besar Aby.

"Saya tahu orangtua kamu, saya tahu di mana saja kamu pernah bersekolah. Saya tahu kamu punya seorang kakak dan saya juga tahu sekeras apa kehidupan yang sudah kamu lalui. Saya cuma ingin meringankan sedikit beban di pundak kamu, Ra. Saya ingin menjadi tempat kamu berkeluh kesah, tempat kamu mengadu selain Tuhan tentunya."

Mataku sontak berkaca-kaca. Pandanganku seketika memburam karena genangan bulir bening di sana yang siap tumpah. Bagaimana mungkin Aby tidak mencari tahu asal-usulku. Aku melupakan fakta bahwa pria itu sangatlah pintar dan hati-hati.

"Ibu saya pernah—"

"Kamu bukan dia."

Aby menyela kalimatku tepat waktu. Rasanya aku hampir tercekat jika kembali mengatakan bagaimana kelakuan ibuku semasa hidupnya. Sejarah mungkin tidak bisa diubah, tapi kenangannya pasti akan teringat selamanya.

"Tapi saya anaknya," Aku masih mencoba untuk menggoyahkan Aby. Entah kenapa, melihat dia begitu yakin dan teguh akan pilihannya membuatku takut.

Aku takut pada perasaanku sendiri. Bisa-bisa aku akan benar-benar bergantung padanya dan memberikan seluruh hati dan hidupku untuknya.

"Ya, saya tahu. Fakta itu tidak akan bisa dipungkiri. Kamu anaknya dan kamu gak sama sepertinya."

Aku menelan ludah saat sebelah tangan Aby meraih tanganku. Dia menggengamnya dengan penuh kehangatan sehingga aku merasa nyaman.

"Masa lalu gak bisa kita ubah, Ra. Mau kamu marah, menjerit meminta pada Tuhan, waktu gak akan berputar ke belakang. Jadi, yang perlu kamu lakukan hanyalah menerima. Seperti saya menerima kamu dengan segala masa lalu keluarga kamu, maka saya harap kamu juga menerima saya dengan segala kekurangan saya."

Kali ini aku benar-benar tercekat oleh tangis yang siap meledak. Tubuhku bergetar perlahan saat isakan itu akhirnya pecah juga. Aby menarikku ke dalam pelukannya. Dia memberikan kehangatan lagi dengan kedua lengannya.

Wajahku tenggelem di dadanya. Tinggiku yang sudah mengenakan heels saja masih sebatas pundaknya. Jadi, saat seperti ini rasanya sangatlah nyaman. Aku memberanikan diri membalas pelukan Aby. Kedua lenganku melingkar di pinggangnya. Bisa aku rasakan Aby kian mempererat pelukannya padaku.

***

Mama.

Satu kata yang sudah lama sekali tidak aku ucapkan. Setelah orangtuaku tiada, aku hanya mengucapkan kata 'Mama dan Papa' di dalam do'a. Tapi kini, aku menyebutnya dengan nyata. Bahkan bisa berulang kali sebanyak yang aku mau.

"Yang ini bagus deh, Ra. Mama lebih suka warnanya. Kelihatan manis di kulit putih kamu."

Ya, akhirnya aku menerima 'tawaran' menggiurkan yang Aby berikan. Meski aku akan menikah dengannya, tapi aku akan tetap bekerja menjadi sekretarisnya. Aku dan Aby sudah membahas hal tersebut dan dia setuju saja.

SHORT STORY NEWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang