Take My Body (2)

8.6K 913 20
                                    

Keningku mengkerut saat mencium aroma manis yang menenangkan. Perlahan mataku terbuka dan aku masih berada di tempat yang sama. Seingatku, aku masih menggunakan pakaian kerja sebelum jatuh tertidur karena menunggu kedatangan dokter. Tapi kini pakaianku sudah berganti dengan dres longgar.

Sial. Dia pasti mengganti semuanya bahkan sampai pakaian dalamku juga. Tapi... aku tidak menggunakan bra sama sekali. Hanya celana dalam yang terasa di bawah sana. Apa dia sengaja agar memudahkannya untuk menyerangku secara tiba-tiba?

"Masih pusing?"

Aku menoleh dan mengerjap saat orang yang tengah aku tuduh macam-macam itu mendekat dengan handuk kecil di tangannya. Rambutnya juga basah dan artinya dia baru saja selesai mandi. Kenapa dia mandi di sini? Apa dia tidak berniat untuk pulang?

"Mm, sedikit," jawabku pelan.

Aku tidak tahu apakah dokter sudah datang dan memeriksa kondisiku atau belum. Karena aku benar-benar tertidur dengan pulas. Sentuhan tangannya yang memijit pelipisku tadi sungguh terasa enak dan nyaman.

"Saya udah enakan, Pak, boleh pulang, kan?" tanyaku dengan berani.

"Dokter belum ke sini, Maura. Ada insiden di jalan dan dia sedikit telat."

Apa? Jadi, aku akan tetap menunggu dokter itu di sini? Dengan pakaian begini? Tapi dokternya seorang pria. Bagaimana kalau dokter itu tahu aku tengah mengandung dan melaporkan hal ini pada orangtua pria di depanku ini? Bisa-bisa aku dipecat.

Suara ketukan di pintu membuatku membelalak. Apalagi saat pria itu melangkah ke sana dan membukanya. Aku menarik selimut hingga batas dada. Orang bodoh juga pasti tahu kalau aku tidak menggunakan bra saat ini. Apalagi dres longgar ini berbahan sutra.

"Sorry, Dai, aku gak tahu bakal setelat ini."

Eh? Suara seorang wanita. Aku menahan napas saat sosok itu mulai terlihat secara nyata. Sial. Pria ini benar-benar mengambil resiko besar.

"Hai, Maura," sapa wanita itu dengan ramah. Bahkan senyuman lebarnya membuat seluruh tubuhku merinding.

"H—hai, Mbak," sapaku balik. Aku berusaha untuk duduk, tapi wanita itu melarangku.

"Kita cek dulu ya. Kamu sering banget telat makan kayak hari ini?" tanyanya dengan tangan yang sibuk mengecek beberapa bagian di tubuhku.

"Mm, lumayan," jawabku dengan waspada.

Aku mengenal baik wanita ini. Dia pernah menjadi atasanku juga di sini beberapa tahun sebelum kembali melanjutkan studinya ke luar negeri untuk menjadi dokter. Dan dia kakaknya pria itu.

Keheningan terjadi beberapa saat setelah aku diperiksa dengan teliti. Aku menatap mata wanita itu yang juga menatapku dengan serius. Aku memberikan gelengan pelan dengan pandangan memohon dan dia mencebikkan bibir.

"Aku bakal kasih obat untuk mualnya. Kamu harus makan teratur dan gak boleh kelelahan. Kalau bisa rehat dulu beberapa hari ini biar badan kamu enakan."

"Beneran karena telat makan doang, Mbak?" Pria itu bertanya dengan kerutan di kening yang cukup dalam.

"Hm... aku gak bisa pastiin sih. Tapi aku saranin ke rumah sakit aja. Kita cek lagi di sana."

Aku menelan ludah. Setidaknya kali ini aku bersyukur kalau kondisiku tidak langsung diberi tahu ke pria itu. Aku belum siap jika pria itu tahu dan menyuruhku untuk menggugurkan janin ini. Setidaknya begitulah pemikiranku saat ini.

"Dai, ambilin minum dong."

Daies, pria 38 tahun yang diperintahkan oleh wanita itu segera berlalu meninggalkan kami. Aku tanpa sadar menghela napas saat Daies benar-benar hilang dari pandangan. Aku kembali menatap wanita di depanku, lalu memberikan pandangan memohon.

SHORT STORY NEWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang