"Mi,"
Namanya Yumi. Wanita 27 tahun yang sudah menjadi istriku sejak 7 tahun lalu. Aku memang sering kali digoda oleh teman-temanku karena memiliki istri muda yang cantik kala itu. Ada sedikit rasa bangga yang menghinggapi dadaku saat mendengarnya.
Tapi kini, semuanya berubah. Aku tidak lagi merasa senang saat orang-orang memujinya dengan begitu bangga. Wanita itu memang masih cantik, badannya juga masih bagus seperti dia saat gadis dulu. Tapi sikap angkuh dan juga tidak patuhnya padaku membuat semuanya mulai berubah.
Aku tidak mempermasalahkan dia ingin menunda untuk memiliki anak. Aku juga mendukung apa pun keputusan yang dia ambil setelah kami menikah. Dia ingin bekerja, aku mengizinkannya. Dia ingin memiliki kendaraan sendiri agar tidak merepotkanku untuk antar-jemput, aku juga menyetujui.
Meski pernikahan kami hasil dari perjodohan keluarga, tapi aku berusaha untuk mencintainya. Mudah saja menyukai wanita seperti Yumi. Dia berpakaian sopan juga berhijab dan rajin ibadah. Pria mana yang merasa tidak beruntung mendapatkannya?
"Kenapa?"
Suara itu tidak lagi mengandung kelembutan. Seolah mendengar suaraku dia menjadi kesal. Aku menghela napas, lalu duduk di depannya. Kebetulan dia baru saja menyelesaikan makan malam dan aku baru saja pulang kerja.
Mengabaikan rasa lelah dan juga rasa lengket di tubuhku, aku tersenyum seperti biasa padanya. Aku tidak mau dicap pria kasar oleh pasangan dan juga kenalanku. Sebisa mungkin aku selalu memperlakukan Yumi dengan baik seperti aku menghargai ibu dan adikku. Karena mereka sama-sama wanita.
"Kamu berhenti bekerja aja gimana? Mas masih sanggup mencukupi semua kebutuhan kita. Bahkan dari gaji Mas aja kita masih bisa rutin liburan, kan? Mas mau kamu fokus sama hubungan kita aja, pernikahan kita."
"Gak. Aku capek-capek kerja sampai di titik ini dan kamu malah suruh berhenti gitu aja? Gak waras memang."
Aku menghela napas. Kerasa kepala Yumi seperti ini baru aku ketahui 2 tahun belakangan. Padahal sebelumnya wanita itu sangat menghargaiku sebagai suaminya. Dia begitu hormat dan juga memenuhi semua kebutuhanku tanpa diminta. Tapi 2 tahun belakangan semuanya berbanding terbalik. Aku seolah menemukan orang baru dalam diri Yumi.
"Kenapa?" tanyaku pelan. Aku berharap Yumi menyadari nada lelah dari suaraku.
"Apanya? Kalau digabung, gaji aku dan gaji kamu, sangat banyak. Kenapa aku harus berhenti? Bukannya bagus kalau istri bekerja? Aku gak harus nunggu dikasih uang sama kamu."
"Tapi gajiku juga semuanya sama kamu. Aku gak pernah perhitungan soal uang, Yumi. Udah 7 tahun kita—"
"Mas, stop."
Entah kapan terakhir dia memanggilku dengan sebutan sopan seperti itu. Aku merindukan istriku yang dulu bukan Yumi yang ada di hadapanku saat ini.
"Kalau kamu banyak nuntut kayak gini, mending kita hidup masing-masing aja. Aku capek harus memenuhi tuntutan gak masuk akal dari kamu."
Keningku sontak mengerut dalam. Kapan aku pernah menuntut hal yang tidak masuk akal padanya sebelum ini? Aku sangat mengingat dengan jelas kalau ini adalah permintaan pertamaku selama kami menikah.
"Aku nuntut kamu? Sejak kapan?"
"Tadi itu apa? Kamu suruh aku berhenti kerja sedangkan kamu tahu karir aku sedang di puncak. Kamu gak mikir gimana posisi aku?"
"Tapi waktu kamu banyak terbagi, Yumi. Kamu gak pernah ada lagi di rumah. Kamu—"
"Itu resiko istri bekerja. Kalau kamu mau istri kamu selalu ada di rumah, cari istri yang pengangguran aja. Dari awal kamu udah setuju sama aku. Kenapa sekarang jadi mempermasalahkan ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT STORY NEW
Romance[MATURE 21+] Semua cerita hanyalah karangan penulis saja. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat atau kejadian, itu hanyalah ketidaksengajaan. Harap bijak dalam memilih bacaan sesuai usia. Follow dulu jika ingin mendapatkan notifikasi update. Start, 0...