Take Your Hand (2)

6.4K 663 5
                                    

Aku menoleh saat pintu ruang kerjaku diketuk dan seseorang masuk dari sana. Aku tersenyum sambil beranjak dari kursi kebesaranku. Aku menyambutnya dengan hangat dan sebuah pelukan juga aku dapatkan.

"Kenapa Opa gak bilang mau ke sini? Biasanya ngabarin dulu," tanyaku pada pria tua yang tahun ini sudah memasuki usia di angka 80. Meski usianya sudah termasuk senja, tapi tenaga dan fisiknya masih terlihat sangat kuat. Tidak jauh berbeda dengan ayahku yang kini berusia 60 tahun.

"Opa dari rumah Om mu. Jadi, mampir sekalian ke sini."

Aku mengangguk saja. "Opa mau minum apa?"

Opa duduk dan menggeleng. Dia menyuruhku untuk ikut duduk juga, lalu mulai menatap serius padaku.

"Sudah setahun, Azam. Umur kamu jugak gak muda lagi. Tahun depan sudah 38. Opa juga mau nimang cicit dari kamu."

Ini untuk kali pertama Opa membahas tentang keturunan padaku. Sudah 8 berlalu dan 7 tahun aku berumah tangga kala itu, Opa sama sekali tidak pernah menyinggung soal cicit untuknya. Tapi kini, saat aku sudah berubah status menjadi duda, Opa malah mengungkapkan keinginannya.

"Opa tahu aku baru bercerai tahun kemarin. Nyari istri gak semudah itu, Opa."

Aku berusaha untuk menjelaskan padanya apa yang selama ini menggangguku. Aku lihat dia tidak tampak senang mendengarnya. Dia menghela napas panjang, lalu menatap ke jendela besar di belakang sofa yang aku duduki.

"Kamu tahu, sejak awal orangtuamu menjodohkan kamu dan wanita itu, Opa tidak setuju sama sekali. Tapi ibumu yang bersikeras ingin punya menantu wanita itu. Opa belum pernah salah menilai orang sampai saat ini, Azam."

Aku mengernyit. "Opa gak setuju? Tapi kenapa aku gak tahu? Aku pikir semua orang menyukai Yumi."

"Yumi lama sekali mengobrol dengan Omamu. Dia bertanya banyak hal tentang kamu. Dan Oma menilai, sejak dia tahu semuanya, sikapnya berubah. Bahkan tidak pernah lagi datang berkunjung ke rumah."

"Maksud Opa statusku?"

Kepala Opa mengangguk pelan. "Kalau sejak awal yang dia incar hanyalah harta benda dari kamu dan keluarga kita, maka cinta kamu untuknya hanyalah sia-sia."

Aku terdiam dengan pandangan kosong menatap meja di antara kami. Yumi tidak mungkin sedangkal itu dalam berpikir. Dia tidak mungkin hanya mengincar uang saja dariku. Bukankah keluarganya juga kelas menengah ke atas?

"Memangnya salah kalau aku anak angkat di keluarga Opa?" tanyaku dengan nada pelan.

Opa berdecak. "Tidak ada yang salah dengan statusmu. Mau kamu anak angkat, anak kandung, semuanya tetap sama."

"Tapi gak mungkin Yumi berubah cuma karena tahu aku bukan keluarga kandung Opa."

"Tidak semua yang terbungkus rapi memiliki isi yang bersih, Zam. Pembungkus tetaplah pembungkus. Hanya kulit luar. Kita gak pernah tahu apa yang ada di dalamnya dengan baik. Tapi Opa bersyukur dia yang meminta pisah dari kamu. Setidaknya dia telah membuang hal berharga yang tidak akan dia temukan di tempat lain."

***

Percakapanku dengan Opa siang tadi masih saja terngiang dengan jelas. Aku masih menerka-nerka kenapa dan kenapa. Banyak tanya yang mengganggu dan aku tidak menyukainya. Bahkan setelah satu tahun berlalu aku berpisah dengan Yumi, kami sama sekali tidak pernah terlibat komunikasi lagi.

Aku menghela napas panjang, lalu mengusap wajahku dengan gusar. Sepertinya aku harus pulang dan mengguyur tubuhku agar pikiranku kembali segar.

Sambil bersenandung kecil aku keluar dari ruang kerja. Aku melihat meja sekretaris sudah kosong. Kantor juga sudah sepi karena ini memang sudah lewat jam pulang karyawan.

Saat memasuki lift, aku mengernyit ketika menangkap siluet seseorang berlari ke arah lift. Aku menahan pintu benda kotak itu dan kini bisa melihat siapa yang datang mendekat.

"Thank you," ujarnya.

"Kamu belum pulang?" tanyaku heran.

"Hm. Masih ada kerjaan."

Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku. "Hampir jam 6. Harus dikerjain sekarang juga?"

Dia tampak sibuk dengan ponselnya, lalu sesekali berdecak entah untuk apa. Aku menarik pelan lengannya agar dia menoleh padaku dan menjawab pertanyaan yang aku lontarkan.

"Kenapa?" tanyanya bingung.

"Aku tanya, kerjaannya harus banget diselesain sekarang?"

"Oh, iya. Orangnya udah nunggu di lobi. Katanya harus dibicarain sekarang juga. Ada perubahan agenda untuk acara minggu depan. Semuanya serba mendadak. Aku jadi pusing atur ulang dari awal lagi."

Aku menghela napas. "Kamu sama Gaby?"

Dia menggeleng. "Gaby lagi izin hari ini. Anaknya masuk rumah sakit."

"Sendiri?"

Dia mengangguk bersamaan dengan pintu lift yang terbuka. "Aku duluan."

Aku spontan melangkah mengikuti langkah lebarnya menuju lobi depan. Bisa kulihat salah satu kolega bisnis kami telah menunggu di sana. Aku mempercepat langkahku dan menahan lengannya.

"Aku temenin," kataku.

Dia mengernyit, lalu menggeleng. "Gak usah. Lagian ini—"

"Namira," tegurku mulai kesal.

"Oke. Aku gak minta ya. Jangan sampai ada gosip yang engga-engga soal kita setelah ini kayak yang pernah terjadi."

Namira berlalu begitu saja setelah mengatakan hal tersebut. Aku mencebikkan bibir. Selain kinerjanya yang kompeten sehingga bisa duduk di kursi direktur utama di usia muda, Namira juga salah satu sepupuku yang cukup dekat denganku. Meskipun sikapnya kadang berubah-ubah seperti remaja labil meski usia sudah kepala 3.

Aku mengikuti Namira dan kelega bisnis kami ke kafe di sebelah gedung kantor. Aku hanya diam memperhatikan dan mendengar apa saja yang dua orang itu bahas dengan serius. Memang hanya seputar perubahan agenda untuk acara minggu depan.

"Kalau ada apa-apa Bapak bisa hubungi sekretaris saya. Untuk perubahan ini kemungkin besar saya kirim besok berkasnya."

Pria di depanku dan Namira mengangguk. Dia mengulurkan tangan untuk berjabatan dengan Namira, lalu beralih padaku. Aku tersenyum sopan dan dia berlalu begitu saja.

"Langsung pulang?" tanyaku.

Namira menggeleng, "Aku mau ke rumah Opa dulu. Kamu bisa pulang duluan."

"Aku anter ke sana."

Namira menggeleng lagi. "Gak usah, Azam. Aku bisa sendiri. Aku bawa mobil."

"Tapi ini udah malam, Namira. Kalau kamu—"

"Aku risih. Kamu gak lihat orang-orang di kantor natap aku gimana? Mereka bahkan bikin grup untuk menggosipkan aku. Si perawan tua yang kepincut duda tampan."

Aku mengernyit mendengar kalimat terakhirnya. "Kamu punya waktu untuk hal-hal kayak gitu?"

"Azam, plis. Jaga jarak aman sama aku. Selain urusan pekerjaan, jangan pernah terlibat percakapan apa pun denganku di kantor. Kamu gak tahu rasanya ditatap dengan pandangan aneh sama orang-orang itu."

"Kamu direktur dan aku wakil, wajar kan kita sering banget—"

"Oke, terserah. Capek ngomong sama kamu. Gak berubah."

Namira pergi begitu saja meninggalkan aku yang masih terpaku di tempat semula. Wanita itu benar-benar tidak bisa ditebak jalan pikirannya seperti apa. Bahkan 8 tahun sudah berlalu dan dia tetap saja tidak memberiku kebebasan berbicara padanya di tempat kerja.

"Mas Azam?"

Aku menoleh saat suara seseorang menyapa. Yumi.

***

Senin malam atau Selasa Mami kirim pdf vol.6 ini ya sayang. Maaf banget kalau gak terkejar malam ini. Karena bonus part nya belum kelar😭

SHORT STORY NEWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang