Part 20

1.3K 190 48
                                    

Di KaryaKarsa udah sampai Part 32 ya. Yang mau baca duluan bisa ke sana 🥰🥰🥰

🎻🎻🎻

JAKARTA, 13 Januari 2005

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

JAKARTA, 13 Januari 2005

Kematian tragis kedua orang tuanya membuat Diego shock, terlebih dia melihat dengan jelas kejadian itu. Semua terjadi begitu cepat. Mama membunuh Papa, lalu Mama memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan pistol yang digunakan untuk menembak Papa. Diego bahkan tidak bisa melupakan tatapan sayu Mama saat menatapnya dengan air mata yang membasahi wajahnya. Lalu, air mata itu bercampur dengan darah.

Wangi aromateraphy di kamar seketika berganti dengan anyir darah. Diego masih membeku di tempatnya ketika para maid datang dan Pedro lekas membawa Mama dan Papa ke rumah sakit, berharap mereka masih bisa diselamatkan. Tapi, ternyata takdir berkata lain. Mama dan Papa pergi meninggalkan Diego untuk selamanya.

Berhari-hari Diego hanya bisa menangis, tidak mau makan dan minum hingga akhirnya jatuh sakit. Dan di sinilah anak lelaki itu berada. Dalam kondisi shock berat, terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Jarum infus menancap di punggung tangan kirinya.

"Tidurlah, Diego. Kakek akan keluar sebentar untuk menemui klien. Pedro yang akan menjagamu di sini. Jika kau membutuhkan sesuatu, panggil saja dia," ujar Tuan Gavin yang selama ini setia menjaga cucu tunggalnya.

Diego tidak menjawab, menoleh pun tidak. Tatapannya mengarah pada langit yang nampak di balik jendela kaca. Tuan Gavin tidak memaksa Diego berbicara. Lelaki tua itu hanya mengusap dahi Diego sebentar, lalu pergi meninggalkan kamar setelah memberikan pesan pada Pedro untuk menjaga Diego baik-baik.

"Aku sedang ingin sendiri," ucap Diego pada Pedro yang sedang duduk di sofa.

"Dalam kondisi seperti ini, kau membutuhkan teman, Tuan Muda. Jika ada sesuatu yang ingin kau ceritakan, aku siap mendengarkannya."

Diego menggeleng lesu. "Pergilah, aku sedang tidak ingin melihat siapa pun, dan tidak ingin berbicara dengan siapa pun."

Pedro mengangguk. "Baiklah, Tuan Muda. Aku akan memberikan kesempatan padamu untuk sendiri. Aku akan berjaga di luar. Jika membutuhkan sesuatu, panggil saja aku. Perlu kau ketahui, kamar ini dilengkapi dengan CCTV yang terhubung dengan ponselku, jadi jangan lakukan hal yang tidak-tidak."

Lagi-lagi Diego terdiam dan memalingkan wajah. Matanya yang sembab karena terlalu banyak menangis terasa pedih. Ia memejamkan mata, berpura-pura tidur. Langkah sepatu pantofel yang dikenakan Pedro terdengar menjauh, disusul pintu kamar yang terbuka lalu tertutup kembali.

Hening. Diego membuka matanya. Rahangnya gemetar. Setiap kali mata Diego terpejam, bayangan tubuh kedua orang tuanya yang tergolek bersimbah darah, selalu melintas di dalam benaknya. Dan itu terasa sangat menyakitkan. Peristiwa itu selalu menjadi mimpi buruk di dalam hidupnya.

Love and Revenge Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang