PART 1

4K 418 89
                                    

Hai, masih nungguin aku update? Jangan lupa vote & komen ya biar aku semangat ...

Nanti di part terakhir cerita ini, aku mau kasih gift untuk 3 orang pembaca yang sering komen di setiap part, masing-masing akan mendapat 1 novel karyaku (judulnya bebas pilih, selama masih ada stok di aku).

Dan buat kalian yang gak mau kelamaan nunggu update di Wattpad, kalian bisa meluncur ke KaryaKarsa ya. Di sana update-nya lebih cepet dibanding Wattpad. Tenang aja, harganya murah kok.

 Tenang aja, harganya murah kok

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading ❤️❤️❤️

🎻🎻🎻

Diego menaburkan kelopak bunga mawar ke atas pusara di kanan dan kirinya. Makam kedua orang tuanya yang meninggal karena kejadian tragis 17 tahun yang lalu. Belasan tahun berlalu, tetapi bayangan ayah dan ibunya yang tergolek bersimbah darah masih melekat jelas dalam ingatannya. Bahkan ia merasa seolah insiden itu baru terjadi hari kemarin.

Tidak, tidak. Diego tidak ingin membayangkan peristiwa paling mengeringakan dalam hidupnya. Tapi sialnya, semakin Diego ingin melupakannya, maka bayangan itu semakin terlihat jelas di dalam ingatannya. Bahkan ketika menitipkan Diego pada kerabatnya yang tinggal di Chicago, itu sama sekali tidak mengurangi rasa trauma Diego yang menjadi saksi atas kematian tragis ayah dan ibunya.

Diego mengusap batu nisan di hadapannya. "Ma, Pa. Akhirnya aku memberanikan diri pulang ke kota ini. Kakek merawatku dengan baik di Chicago hingga aku sebesar ini. Lihat, aku bukan lagi anak kecil berusia 8 tahun yang menangis kencang karena menyaksikan ayah dan ibunya mengembuskan napas terakhir."

Diego menarik napas panjang, merasakan dadanya begitu sesak. Wajah datarnya terpaku pada tulisan yang terpahat di permukaan batu nisan.

"Kalian tahu? Rasanya sekarang aku sudah tidak bisa menangis lagi. Air mataku sudah habis ketika dulu berhari-hari bahkan berbulan-bulan aku tidak berhenti menangisi kepergian kalian." Diego mengepalkan kedua tangan, hingga otot-otot itu terlihat jelas di punggung tangannya. "Ma, selain wanita jalang yang sudah mati itu, adakah seseorang yang sudah sepantasnya bertanggung jawab atas kematian kalian? Jika ada, bolehkan aku menghabisinya dengan tanganku sendiri? Dendam ini sudah terlalu lama kusimpan di dalam hati, hanya saja aku tidak tahu kepada siapa harus melampiaskannya."

Lelaki bertubuh tinggi tegap itu mendongak ke arah langit. Berharap bisa menemukan wajah kedua orang tuanya di sana. Namun, ia hanya menemukan awan putih yang berarak, menutupi sebagian matahari pagi.

Diego tersenyum miris, merasa seperti orang gila karena berbicara seorang diri. Ralat, berbicara pada batu nisan. Entahlah, ia hanya berharap kedua orang tuanya mengawasinya dari atas sana. Diego sudah menahan kerinduan itu selama 17 tahun. Sungguh, merindukan orang-orang yang sudah berbeda dimensi itu sangatlah menyakitkan.

Kalau bukan karena kakeknya yang telaten merawatnya, mungkin Diego sudah lama memilih untuk menyusul kedua orang tuanya. Menenggak sebotol racun, atau melompat dari atas jembatan. Tapi, kenyataannya ia justru masih hidup hingga detik ini.

Love and Revenge Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang