Part 21

1.2K 219 68
                                    

"Setiap hari aku selalu menunggu kedatanganmu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Setiap hari aku selalu menunggu kedatanganmu."

Suara lembut itu menyentak kesadaran Diego. Perlahan, ia menjauhkan belati di tangannya dan menyembunyikannya di balik punggung. Memastikan bahwa benda tajam itu tidak akan melukai gadis yang dicintainya. Peduli apa dengan darah yang menetes dari pergelangan tangannya? Biarlah cukup Diego yang terluka, jangan gadis lemah di hadapannya.

"Maaf telah membuatmu menunggu," lirih Diego dengan suara serak.

Diego melepaskan pelukannya dan mundur dua langkah. Ia benar-benar takut berada terlalu dekat dengan Vanilla. Ia takut kehilangan kontrol dan menancapkan pisau runcing itu ke dada Vanilla. Ayolah, dia tidak bisa membayangkan gadis dalam balutan dress putih itu terkapar di antara hamparan bunga sakura. Dress itu terlalu bersih untuk noda merah yang mungkin saja menggenanginya.

"Tidak apa." Vanilla menggeleng dengan senyuman manis tersungging di bibirnya. "Tuan Ramon sedang menentukan tanggal yang tepat untuk jadwal operasi, menyesuaikan dengan kunjungan Mama ke tempat ini. Mama tidak boleh tahu, ini rahasia."

"Semoga semua berjalan lancar."

"Sebelum operasi, aku ingin menagih janjimu. Kapan kita ke pantai? Ke club? Ke puncak bukit?"

"Akan lebih baik jika kita pergi setelah operasi. Kau bisa melihat keindahan pantai dengan kedua matamu. Kau bisa menatap kerlap-kerlip lampu di club. Kau bisa menikmati deretan pepohonan yang menghijau di sepanjang bukit."

"Tapi semua akan terasa berbeda jika kau yang menjadi mata kedua untukku. Entah kenapa itu membuatku merasa ... nyaman?" Vanilla menarik napas panjang dan buru-buru menambahkan. "Maksudku, mungkin karena baru kali ini aku merasakan bagaimana rasanya dipedulikan. Kau satu-satunya orang yang bisa memahamiku. Satu-satunya lelaki yang aku percayai melebihi rasa percayaku pada Tuan Ramon."

Diego cepat-cepat menggeleng. Ia menyelipkan pisau belati kembali ke pinggangnya, kemudian mengusap darah di pergelangan tangannya dengan sapu tangan.

"Tetaplah menjadi Vanilla yang dulu. Seorang gadis sedingin es yang tidak mempercayai siapa pun, termasuk orang yang paling dekat denganmu. Karena kau tidak akan pernah tahu, mungkin saja yang saat ini kau bilang kawan, suatu saat akan menjadi lawan."

Vanilla tertawa. "Astaga, Diego. Apa pagi ini kau salah minum obat? Kenapa mendadak bicaramu terdengar kaku seperti sedang bicara dengan ... orang asing?"

"Ehm ... hari ini aku sedang tidak enak badan."

"Oh ya? Kenapa tidak bilang sejak tadi? Ayo masuk, aku akan menyuruh Andesta membuatkan teh hangat untukmu."

Vanilla menjulurkan tangan, berusaha mencari keberadaan Diego. Begitu menemukannya, ia menggamit lengan kiri Diego dan mengajak lelaki itu masuk ke dalam villa.

Dengan langkah kakinya yang terasa berat, Diego mengikuti ke mana Vanilla pergi. Hatinya terasa kacau. Ia menoleh pada Vanilla yang tidak berhenti tersenyum. Diego tidak pernah menduga jika ada ternyata ada benang merah yang menghubungkan masa lalu mereka. Jika dulu Diego berharap mereka bisa saling menyembuhkan, mungkinkah pada akhirnya kini mereka berbalik untuk saling menyakiti?

Love and Revenge Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang