Pagi-pagi buta sebelum matahari terbit, Diego benar-benar meninggalkan villa bersama Pedro. Sedih? Tentu saja. Ini pertama kalinya kehadiran Diego ditolak mentah-mentah oleh seorang gadis. Tapi bukan itu yang membuat Diego bersedih. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, yang membuat Diego merasa berat meninggalkan villa megah itu.
Diego dan Pedro melanjutkan perjalanannya menuju puncak bukit. Setelah berjalan menyusuri jalan setapak serta sesekali menyibak semak-semak, mereka sampai di tujuan. Jalanan yang mendaki membuat Diego kelelahan. Kondisi kesehatannya belum begitu fit, bahkan darah segar mulai merembes di kain kassa yang membalut luka di kaki dan perutnya.
Pedro dengan sigap mengobati luka tuannya dan menggantinya dengan kain kassa yang baru. Diego duduk bersandar di batang pohon sembari meringis menahan sakit.
"Anda terlalu memaksakan diri, Tuan Muda. Sudah aku peringatkan bahwa jalanan yang mendaki akan membuat luka Anda kembali terbuka," ujar Pedro.
"Sejak usiaku 8 tahun, aku sudah terbiasa menikmati rasa sakit. Saking dalamnya luka yang membekas di hatiku, aku hampir mati rasa dengan hal-hal menyakitkan."
"17 tahun sudah berlalu. Sudah saatnya Anda melupakan masa lalu dan menatap masa depan."
"Setiap aku terbangun dari tidur, 17 tahun itu seolah baru terjadi kemarin. Ingatan itu masih membekas dengan jelas di benakku. Seperti film di bioskop yang terus diputar berulang-ulang tanpa henti."
Pedro menepuk pundak Diego perlahan. "Aku memahami yang Anda rasakan. Sampai detik ini, kepergian Tuan dan Nyonya masih seperti mimpi. Mereka orang-orang baik, tetapi hidupnya harus berakhir dengan cara seperti itu."
"Kalau saja aku tahu kepada siapa aku harus membalas kematian mereka."
"Tidak, Tuan Muda." Pedro menggeleng tegas. "Semua sudah berakhir. Anda tidak boleh menoleh ke belakang."
"Tidak semudah itu, Pedro. Rasa sakit dibalas rasa sakit, dan nyawa dibalas dengan nyawa." Diego beranjak dari tempat duduknya.
Diego berdiri tegak, matanya bersorot tajam pada sebuah batu besar yang tergeletak di dekatnya. Sewaktu kecil, dia sering berdiri di atas batu itu ditemani ayahnya, mengawasi pemandangan hijau di sepanjang bukit. Di kejauhan, nampak persawahan dengan padinya yang menguning, serupa permadani yang membentang luas.
Pemandangan yang tidak jauh berbeda dengan 17 tahun yang lalu. Diego bahkan masih ingat ketika terakhir kali ia menginjakkan kakinya di tempat ini bersama ayahnya. Seketika, memory itu kembali berputar di kepalanya.
"Berdirilah di atas batu itu, Diego. Papa akan mengambil foto untuk kenang-kenangan." Begitu kata ayahnya saat itu.
"Oke, Pa." Diego kecil dengan patuh berpose dengan berbagai gaya di atas lempengan batu besar, sementara ayahnya mengambil gambar dengan kamera ponsel.
"Lihat hasilnya, Pa. Bagus, kan?" Diego mengambil ponsel dari tangan ayahnya dan melihat foto dengan background pemandangan alam. Ia menggeser slide layar, melihat foto satu per satu. Lalu, dia terdiam ketika melihat sebuah foto yang menurutnya aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love and Revenge
RomanceVanilla. Gadis yang sejak kecil diasingkan oleh ibu tirinya, perlahan menemukan secercah kebahagiaan ketika seorang lelaki datang ke dalam kehidupannya. Diego Wilson, satu-satunya lelaki yang mampu membuat jantung Vanilla berdetak kencang saat berde...