Kenapa POV laki di sini jadi panjang bgt yak ceritanya. Pdhl mau bikin sesimpel POV cewek kyk sebelumnya🤒
Capedeh.
Satu part lagi end kok wkwk 600 vote dulu ini. Udah double loh yaaaa...
***
"Aku kira salah orang," lanjutnya saat telah berdiri di depanku.
Aku menatap Yumi beberapa saat sebelum kembali melirik arah pintu kafe di mana Namira menghilang. Sepertinya wanita itu benar-benar tidak membutuhkan aku dan risih dengan kedekatan kami di lingkungan kerja.
"Apa kabar, Mas?"
Aku menoleh lagi pada Yumi. Meski kami sudah berpisah tapi bukan berarti hubungan kami akan berakhir buruk, kan? Aku tersenyum tipis, lalu mengangguk pelan.
"Baik. Kamu?"
"Baik juga."
Beberapa detik terdiam, Yumi menunjuk salah satu meja di dekat kami. "Mau ngobrol dulu gak?" tanyanya.
Tanpa ragu aku mengangguk. Yumi lebih dulu duduk, lalu aku menyusul mengambil tempat di depannya. Aku cukup terkejut dengan perubahannya setelah 1 tahun kami tidak pernah bertemu lagi. Perubahan besar yang wanita itu ambil sepertinya memiliki alasan yang besar juga.
"Kamu gak kaget sama perubahan aku?" tanyanya.
Aku tersenyum lagi dan menggangguk pelan. "Tapi aku gak berhak nanya alasannya apa."
Yumi yang kali ini mengangguk. "Aku yang sebenarnya ya begini. Awal perubahan yang terjadi itu karena orangtuaku, perjodohan dan juga kebohongan semua orang."
Keningku sontak mengerut. Ingin menyela, tapi Yumi kembali melanjutkan kalimatnya.
"Jujur, aku berat nerima perjodohan itu. Apalagi harus dituntut untuk jadi perempuan lemah lembut, baik, sopan dan tertutup. Awalnya aku masih ngerasa oke aku bisa jalanin kok. Lagian cuma 5 tahun, kan? Gak akan lama lah menurutku."
Rahangku sontak mengeras. Maksud dari kalimat Yumi ini apa? Bukankah harusnya kami tidak perlu lagi mengungkit masa lalu? Semuanya juga sudah berakhir.
"Tapi 5 tahun berlalu, aku seolah semakin kehilangan diriku sendiri. Mereka bilang, tahan ya, 2 tahun lagi. Oke, aku masih tahan. Setelah 2 tahun, aku tahu kalau pria yang aku nikahi bukan anggota keluarga kandung di keluarganya.
"Aku makin gak terima saat tahu kamu bukan cucu kandung Opa. Kamu cuma anak angkat yang kapan aja bisa ditendang dari keluarga itu. Aku ngerasa gak bakal ada harapan kalau terus-terusan bertahan sama kamu. Aku takut masa depanku suram dan gak terjamin. Aku terbiasa tercukupi sejak kecil. Apalagi di perusahaan kamu cuma dikasih jabatan rendah. Manager. Harusnya kamu yang jadi direktur utamanya, bukan Mbak Nami."
Yumi mengangguk pelan berulang kali. "Seenggaknya itu pemikiran aku setahun yang lalu. Aku masih gak tahu arah mana yang benar dan salah. Aku hanya mengikuti apa yang menurutku tepat aku ambil saat itu."
Aku tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun untuk membalas perkataan Yumi. Memang benar aku bukan anggota kandung di keluarga besar Opa. Aku hanya anak angkat di sana. Tapi bukankah ini terlalu kejam untuk sekadar jadi alasan aku dicampakkan?
"Maaf, Mas. Untuk semuanya. Dan makasih juga untuk waktu 7 tahun yang kamu habiskan dengan wanita jahat sepertiku. Aku gak akan mengelak kalau selama 2 tahun terakhir sikapku memang buruk. Tapi asal kamu tahu, 5 tahun sebelumnya aku ikhlas dan tulus melayani kamu sebagai suamiku."
Aku masih terdiam menatap kotak tisu di atas meja. Benda itu lebih menarik dibandingkan wajah Yumi saat ini. Entah kenapa aku merasa kesal, marah dan juga hina di saat bersamaan.
Yumi berlalu begitu saja meninggalkan aku setelah mengeluarkan semua isi kepalanya tanpa memikirkan dampak untukku. Tanpa sadar aku terkekeh pelan, lalu pipiku basah begitu saja. Aku mengusapnya dengan kasar sambil beranjak dari dudukku dan berbalik menuju pintu keluar.
***
Kepalaku terasa berat. Mataku juga enggan terbuka. Rasanya kantuk ini tidak akan berujung. Tapi suara bel rumah yang terus saja berbunyi membuatku berdecak kesal. Dengan sebelah tangan yang meraba nakas, aku menemukan ponsel dan melihat jam di sana. Pukul 11 malam.
Dengan terpaksa aku bergerak, lalu keluar dari kamar dan melangkah dengan gontai menuju lantai 1. Aku menguap beberapa kali sebelum mengucek mata. Semenjak berpisah, aku lebih memilih hidup sendiri tanpa pelayan di rumah besar ini. Paling hanya sekali seminggu saja aku memanggil orang untuk bersih-bersih.
"Nami?"
Aku terkejut saat membuka pintu, sosok Namira lah yang berdiri di sana. Wanita itu kacau. Penampilannya benar-benar kacau. Rambutnya acak-acakan, pakaiannya juga tidak beraturan. Dan sial, pipinya lebam dengan sudut bibir yang berdarah.
Aku segera menarik Namira ke dalam rumah dan mengunci pintu. Aku membawanya ke sofa, lalu mendudukkannya. Aku beranjak untuk mengambil kotak obat saat Namira bersuara dan itu menghentikan langkah kakiku.
"Kamu tahu kenapa dulu aku nolak kamu?"
Aku menelan ludah mendengar pertanyaan itu. Kenapa harus tiba-tiba semuanya terjadi hari ini. Tadi Yumi dan sekarang Namira.
"Karena aku gak suka sama ibu kamu."
Ya. Alasan aku menerima perjodohan itu salah satunya karena penolakan Namira. Entah apa yang aku pikirkan saat itu sampai mau melamar sepupuku sendiri padahal kami tidak terlibat hubungan asmara apa pun. Aku hanya merasa kalau Namira adalah orangnya.
Aku berbalik pada Namira dan menatapnya yang juga menatapku. "Aku gak bisa ngebayangin jadi menantu wanita jahat kayak dia."
Aku mendekat pada Namira, lalu duduk di sebelahnya. Keningku berkerut melihat wajah Namira. "Ini ulah Mama?" tanyaku dengan pelan.
Namira terkekeh. "Kenapa? Kamu gak percaya dan ngatain aku pembohong? Kamu bisa telpon Opa. Tanya ke Opa segila apa wanita itu."
Aku langsung meraih telepon rumah dan mendial nomor Opa. Tak menunggu lama, panggilanku langsung terhubung. Kalimat yang pertama kali Opa tanya adalah keberadaan Namira. Sepertinya semua orang mencari wanita ini.
"Ada apa, Opa? Kenapa Nami kacau begini?"
"Mama kamu mengamuk."
"Tapi kenapa?"
"Masalah perusahaan."
"Jabatan lagi?"
Opa berdeham di sebrang telepon. Aku tahu wanita yang sudah menjadi ibu angkat untukku itu sangat terobsesi untuk menjadikanku pewaris perusahaan. Tapi aku tidak begitu mempermasalahkan apa pun. Diperlakukan baik dan diterima dengan hangat saja di keluarga besar Opa, aku sudah sangat bersyukur.
"Dia bilang aku menghalangi jalan anaknya. Harusnya perempuan gak usah kerja kayak dia. Kenapa aku malah jadi direktur utama di sana dan kamu wakilnya."
Namira berdecak saat aku menyentuh sudut bibirnya. Dia menatap kesal padaku tapi aku tidak menghiraukannya. Aku terus berusaha untuk melihat separah apa ibuku menyerangnya.
"Stop, Azam! Sakit bego!"
Aku berdecak. Dengan sedikit memaksa aku menyibak rambut Namira dan rahangnya mengeras seketika. Sial. Apa yang sebenarnya ibuku pikirkan saat menyerang Namira sampai wanita ini terluka separah ini?
"Kamu tahu, seorang ibu bisa melenyapkan apa pun rintangan yang menghalangi masa depan anaknya. Seperti Mami ke Papi."
Aku tidak tahan dengan ocehan Namira. Aku dorong tubuhku ke sofa dan kutindih dia. Namira tampak terkejut dan aku tidak peduli. Aku membungkam bibir cerewet itu dengan tekanan bibirku. Bisa kurasakan napas Namira tertahan begitu saja. Sial. Aku sudah kehilangan kendali kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT STORY NEW
Romance[MATURE 21+] Semua cerita hanyalah karangan penulis saja. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat atau kejadian, itu hanyalah ketidaksengajaan. Harap bijak dalam memilih bacaan sesuai usia. Follow dulu jika ingin mendapatkan notifikasi update. Start, 0...