Take Your Hand (4)

7.4K 737 11
                                    

Lama juga ya wak nunggu 600 vote wkwk

Nih, Minces kasih double sama cerita baru.

***

Namira tidak menolak sentuhanku. Meski napasnya masih tersendat, aku yakin dia juga kebingungan dengan serangan mendadak dariku.

Aku menarik diri sejenak, lalu menatap wajahnya yang kacau. Ada rasa kesal dan juga marah saat melihat lebam dan luka di sana. Apa sebenarnya yang ibuku pikirkan saat menyerang Namira sampai seperti ini?

"Aku gak akan berhenti kalau kamu gak kasih penolakan," kataku dengan pelan.

Namira menarik napas panjang. Matanya yang semula terbuka menatap mataku kini beralih pada bibirku. Dia menelan ludah, lalu perlahan matanya terpejam. Sial. Dia benar-benar membuatku semakin hilang kendali.

Tanpa ragu dan tidak membuang waktu, aku meraup rakus bibir merah muda Namira. Aku merasakan dia meringis karena gerakan bibirku yang agresif.

"Pelan-pelan. Sakit."

"Maaf,"

Aku mulai mensugesti diriku untuk tidak begitu brutal menciumnya. Bibirnya terluka dan jelas saja sakit. Dengan penuh hati-hati aku menyentuhnya. Bibir bertemu bibir saja tidak membuatku puas.

Tanganku mulai menyentuh bagian tubuhnya yang bisa aku gapai. Aku elus dengan lembut, lalu aku remas dengan gemas. Napasku mulai memburu begitu pun dengan napas Namira.

Menduda memang sudah 1 tahun, tapi tidak menyentuh lawna jenis seintim ini sudah 3 tahun. Bagaimana mungkin aku bisa mengontrol diriku saat ini. Aku seolah dihadiahi air setelah kehausan dalam kurun waktu yang lama.

Aku beranjak dari atas tubuh Namira tanpa melepaskan tautan bibir kami. Kubawa dia duduk di atas pangkuanku dan aku bersandar pada sofa. Posisi ini membuatku lebih leluasa untuk mendekap pinggang rampingnya.

Bibir memang terus mencecap, tapi isi pikiranku berkelana entah ke mana. Apalagi saat kedua telapak tanganku meremas bongkahan bokong Namira yang bulat dan padat.

Aku mengerang dan menarik wajahku. Namira terpaku dan aku segera mengecup sekilas bibirnya. Kedua telapak tanganku yang tadi meremas bokongnya kini menjadi penyanggah saat aku berdiri bersama tubuhnya dalam gendonganku.

Namira mengatur napasnya yang tersenggal. Dia mengalungkan kedua lengannya di leherku. Mata kami saling bertatapan untuk beberapa saat sebelum bibir kembali saling menyerang.

Aku mencari dinding terdekat dan menekan tubuh Namira bersandar di sana. Kedua kakinya melingkar di pinggangku dan aku kian menekan lebih intens.

Namira tersentak saat aku menggigit bibirnya. Mungkin dia merasa sakit pada lukanya juga dan aku benar-benar melupakan kondisinya karena gairahku.

Aku kembali mendekap Namira dan membawanya menuju lantai dua di mana kamarku berada. Namira menggeleng saat aku hendak membuka pintu.

"Kamar lain. Aku gak mau kamu malah mengkhayal sama orang lain."

Aku berdecak. Bisa-bisanya dia berpikir sejauh itu di saat genting seperti ini. Akhirnya aku mengalah. Aku tidak mau merusak suasana hatinya. Aku membawa Namira kembali ke bawah dan dia sedikit kebingungan.

"Kamar tamu di bawah yang masih bersih," bisikku.

"Sialan."

Aku terkekeh geli. Pasti dia berpikir aku dan Yumi pernah mencoba kamar tamu di lantai dua. Tidak. Yumi yang pernah tidur di sana saat menghindariku. Aku juga tidak mau memasuki kamar itu.

"Kami pisah kamar udah 2 tahun. Dia milih tidur di kamar tamu."

Oke, aku rasa memang harus menjelaskan pada Namira agar dia tidak salah paham dan berpikir macam-macam. Wajahnya seketika berubah. Sepertinya dia tahu maksudku menjelaskan alasannya.

SHORT STORY NEWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang