Aku menatap satu wanita yang kini duduk di sebuah sofa dengan kepala mengarah pada jendela kafe. Entah apa yang wanita itu pikirkan sampai mau bertemu denganku dalam keadaan seperti ini. Sambil menghela napas berulang kali, aku meyakinkan diri untuk melangkah mendekatinya. Aku bahkan yakin kalau hati wanita itu pasti sama gelisahnya denganku saat ini.
Aku mengetuk meja satu kali dan wanita itu langsung menoleh. Dia memberikan tatapan tenang, lalu menyuruhku untuk duduk di sofa yang bersebrangan dengannya.
"Inara?" tanyanya.
Suaranya saja sudah membuatku merasa jahat saat ini. Aku hanya bisa mengangguk dan tidak berani memberikannya sebuah senyuman ramah. Entah kenapa aku merasa tidak pantas.
"Saya Kirana, istri Maulana."
Aku tahu.
"Maaf kalau saya terkesan memaksa kamu untuk ketemu saya," lanjutnya dengan ringisan kecil.
Dia memanggil pelayan, lalu memesan beberapa menu untuknya, kemudian dia menawarkan padaku juga. Aku hanya memesan minuman saja karena benar-benar tidak berselera untuk menelan apa pun saat ini.
"Kenapa Mbak Kirana mau ketemu saya?" tanyaku yang tidak tahan lagi berlama-lama dengannya. Menatap wajahnya saja membuatku merasa amat bersalah.
"Kamu hamil."
Aku diam beberapa saat. Dia tahu kondisiku yang sejak 3 bulan lalu aku sembunyikan dari siapa pun. Bahkan ayah dari janin ini saja tidak tahu apa pun yang terjadi padaku sejak malam itu.
"Lalu?" Aku mencoba untuk tetap tenang.
Dia tersenyum, kemudian mengalihkan tatapan ke arah jendela. "Membesarkan anak tanpa suami gak mudah, Inara. Kamu masih muda dan masih banyak yang bisa kamu gapai. Jadi, saya akan menjadi ibu untuk anak kamu."
Aku menatap tak percaya padanya. Bahkan rasa bersalah saja tidak cukup bagiku saat menatapnya, lalu kini dia ingin membesarkan anak yang kukandung? Yang benar saja. Anak ini tidak bersalah. Bagaimana mungkin dia akan menjadi korban dari kesalahan kedua orangtuanya? Dan aku tidak yakin dia bisa dicintai oleh wanita di depanku ini dengan sepenuh hati seperti anak sendiri.
"Maaf, Mbak, saya gak ada niatan untuk membuang anak saya," balasku dengan senyuman juga.
"Kamu mau jadiin anak itu ancaman ke depannya buat rumah tangga saya? Apa yang kamu harapkan dari anak haram itu?"
Aku terpengarah. Anak haram? Seorang Kirana yang terkenal dengan motivasinya terhadap mental sehat kaum wanita malah menjatuhkan mentalku. Aku merasa lucu. Aku memang salah, tapi cukup salahkan aku saja, jangan anak yang kukandung saat ini.
"Kalau Mbak takut sama kehadiran anak yang saya kandung ini, Mbak gak usah khawatir. Saya gak akan jadiin anak saya pengemis status dan harta ayahnya. Saya masih sanggup dan mampu untuk membiayai kehidupan anak saya hingga dewasa kelak."
Kirana menatapku dengan tajam, lalu bibirnya menyunggingkan senyuman cemooh. Aku tidak akan sakit hati karena tatapan itu. Aku tahu aku memang sehina itu di matanya.
"Kamu benar-benar gak tahu malu. Selain punya jiwa murahan, kamu juga punya jiwa sombong."
Aku tersenyum membalas ucapannya. "Tolong jangan hubungi saya lagi. Karena saya gak ada kepentingan apa pun dengan Mbak. Permisi."
Aku beranjak dari dudukku dan pergi begitu saja. Aku tidak tahu apa yang Kirana pikirkan tentangku setelah ini. Sudah dipastikan dia akan mencapku sebagai wanita paling buruk. Aku berlalu menuju pintu kafe, lalu mengucapkan terima kasih pada seseorang yang baru saja membukakan pintu sehingga aku keluar lebih dulu.
Aku tersentak saat lenganku tertahan ketika aku hendak melanjutkan langkah. Aku menoleh, lalu tersentak untuk kedua kalinya saat menatap siapa pelaku yang menahan lenganku. Sial. Ini pasti jebakan dari wanita itu.
Aku menarik paksa tanganku, tapi orang itu tidak mau melepaskannya. Sekuat mungkin aku ingin melarikan diri. Sungguh, bertemu dengannya lagi bukanlah hal yang aku pikirkan. Aku malah ingin menghilang dari kehidupannya.
"AAAKKHH..."
Aku terduduk di lantai dengan sakit yang luar biasa pada bokongku. Tanganku pun spontan menyentuh bagian perutku. Aku meringis merasakan sakit yang kini menjalari area pinggul hingga ke pinggang.
"Na, kamu baik-baik aja?"
Aku menggeleng menjawab pertanyaan yang orang itu lontarkan. Orang itu berlutut di depanku sambil mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Aku menepis tangannya dan berusaha untuk bangkit sendiri.
"Darah," katanya saat menatap area pahaku yang terbuka karena dresku tersingkap.
"Da—rah?"
Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah mengatakan itu dengan tergagap. Yang aku tahu selanjutnya adalah terbangun di sebuah ranjang dengan ruangan serba putih di sekelilingku. Aku kembali meringis saat kini merasakan nyeri di pinggangku.
"Kamu sudah bangun?"
Aku menoleh dengan pelan mendengar suara itu lagi. Ingin rasanya aku meneriakinya untuk tidak bertanya padaku. Aku muak padanya.
"Kenapa Mas di sini?" tanyaku dengan nada lemah.
"Na, aku mohon, jangan kayak gini."
Aku tidak membutuhkan permohonan itu. Aku tidak membutuhkannya. Aku hanya ingin hidup tenang tanpa kehadiran dirinya di hidupku lagi. Aku ingin hidup berdua saja dengan anakku kelak.
Anak?
Aku tiba-tiba tersentak. Mataku mengerjap saat mengingat kalau sebelumnya aku jatuh terduduk dan... darah.
"Dia baik-baik saja. Kamu gak usah khawatir."
Aku menepis tangannya yang menyentuh perutku. Kurang ajar. Berani sekali dia menyentuhku setelah apa yang dia dan istrinya minta padaku. Mengambil anakku? Yang benar saja. Aku tidak akan memberikannya.
"Menjauh dariku, sialan," makiku menahan diri untuk tidak berteriak keras padanya.
"Na," tegurnya. Mungkin dia tidak menyangka aku akan berkata kasar seperti itu. "Aku gak akan minta maaf sama apa yang aku lakuin malam itu dan aku gak akan pernah ninggalin kamu."
Lucu sekali orang ini ya Tuhan. Ingin rasanya aku terbahak mendengar kalimatnya. Dia lupa statusnya apa atau dia benar-benar sudah gila?
"Gila," makiku sekali lagi.
Dia menganggukkan kepala tanda menyetujui apa yang aku katakan.
"Makasih karena kamu menjaganya."
Aku menepis tangannya yang kembali terulur untuk menyentuh perutku. Sialan. Dia tidak tahu saja apa yang sudah aku lalui karena perbuatannya.
"Bikin semuanya mudah," kataku.
Dia kembali mengangguk dan aku membiarkan tangannya meraih tanganku untuk dia genggam. Dibawanya tanganku ke depan bibirnya, lalu dia kecup berulang kali dengan lembut.
"Lepaskan aku dan anak ini akan selamat. Atau—"
"Gak. Aku gak akan lepasin kamu atau pun anak ini," potongnya cepat.
"Kamu cuma punya 2 pilihan, Mas Lana."
Maulana menggeleng kembali. "Tolong dengarin aku—"
"Kamu yang harus dengarin aku. Aku gak mau merusak apa pun. Ingat status kamu."
"Aku bisa lepasin Kirana."
"Gila."
Aku tidak habis pikir dengan apa yang dia katakan. Melepaskan Kirana? Yang benar saja. Mereka bahkan sudah menikah hampir 2 tahun. Hubungan yang sempat mereka sembunyikan dariku sampai aku sesakit ini.
***
600 vote lagi untuk next story muehehe
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT STORY NEW
Romance[MATURE 21+] Semua cerita hanyalah karangan penulis saja. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat atau kejadian, itu hanyalah ketidaksengajaan. Harap bijak dalam memilih bacaan sesuai usia. Follow dulu jika ingin mendapatkan notifikasi update. Start, 0...