Triple up deh ini muehehe
***
Tidak ada yang bisa aku katakan lagi pada pria beristri ini. Aku sudah menegaskan padanya kalau aku tidak mau diganggu olehnya lagi. Tapi bukan Maulana namanya kalau tidak keras kepala. Bahkan aku sampai heran, apa yang dulunya membuatku begitu mempercayakan hati pada pria ini?
"Kamu mau sesuatu?" tanyanya saat aku memilih berbaring di sofa sambil menyalakan televisi.
Aku tidak menjawab, bahkan menoleh pun tidak padanya. Dia sibuk dengan kegiatannya yang entah apa itu. Meski pandanganku mengarah ke televisi, tapi fokusku tidak ada di sana. Aku tengah memikirkan ke mana aku harus pergi agar bisa menjauh dari pria ini.
Ponselku di atas meja bergetar dan mataku menatap malas pada benda itu. Sepertinya itu pesan penting karena ponselku kembali bergetar beberapa kali. Dengan enggan aku meraihnya, lalu menatap nomor baru si pengirim pesan.
Kirana.
"Kamu serius cerain istri kamu?" tanyaku pelan.
Meski sudah dirawat 2 hari di rumah sakit, tapi aku masih merasa lemah. Selama 2 hari itu pula Maulana tidak meninggalkanku sendirian. Dia setia menemaniku meski aku selalu mengusirnya. Kini pria itu lebih memilih ke rumahku dan menginap di sini padahal dia punya rumah dan istri yang menunggunya.
"Aku akan bikin semuanya mudah, demi kamu."
"Demi diri kamu sendiri. Kamu egois. Kamu bohong ke aku, terus sekarang kamu jadiin aku alasan kebohongan kamu itu?"
"Aku gak bohong, Inara. Aku cuma belum dapat waktu yang pas buat ngomong ke kamu."
Dia selalu saja memberi alasan yang membuatku muak. "Aku sama kamu udah 5 bulan, Mas. Banyak waktu yang kita habisin berdua. Bahkan hampir setiap hari. Akhir minggu pun kamu sama aku. Dan sekarang kamu bilang gak dapat waktu yang pas? Konyol."
Maulana mengambil tempat di sofa sebelahku. Dia menatapku dengan intens, lalu menghela napas dengan kepala yang mengangguk.
"Aku memang akan pisah juga sama Kirana. Aku lagi urus semua berkasnya waktu itu dan kamu malah gak ada kabar. Kamu kira 3 bulan itu waktu yang sebentar? Pikiran aku terbagi. Berkas sialan itu gak menarik lagi karena aku sibuk mikirin ke mana kamu pergi."
"Omong kosong," desisku.
"Demi Tuhan, Na—"
"Gak usah bawa-bawa Tuhan," potongku cepat.
"Aku serius sama kamu."
Aku menatapnya yang kini mengusap wajah dengan gusar. Dia menatapku dengan pandangan lelah. Kantung matanya sudah menghitam karena tidak cukup tidur selama menjagaku di rumah sakit. Bahkan beberapa malam ini dia juga rela terbangun dari tidur lelapnya hanya untuk memenuhi keinginan bayi kami.
"Istri kamu mau anak aku. Kalian pasti udah sepakat untuk itu, kan?"
Maulan mengernyit dan menatap tak suka pada tuduhanku. "Anak kamu? Itu anak kita."
Aku memutar bola mata kesal. Dia hanya mempermasalahkan penyebutanku saja.
"Kasih aku waktu untuk ceritain semuanya ke kamu."
Aku menggeleng. "Meskipun alasan kamu klasik nantinya, perjodohan lah, apalah terserah. Aku tetap gak bisa, Mas. Pacaran sama kamu aja udah bersalah banget rasanya. Apalagi aku sampai nikah sama kamu. Aku gak bisa bayangin dihantui rasa bersalah setiap hari seumur hidupku."
Maulan menghela napas dengan kasar, lalu dia beranjak dari duduknya entah menuju ke mana. Aku kembali menatap ponsel di tanganku. Pesan baru terus saja muncul di sana dari orang yang sama.
***
Bunyi bel di pintu rumah membuatku segera melangkah ke sana. Maulan sedang mandi dan pelayan juga sedang tidak ada. Jadi, tidak ada yang bisa aku suruh. Saat membuka pintu, aku terdiam kaku menatap Kirana yang berdiri di sana.
"Saya mau bicara sebentar."
Aku mengeraskan rahangku. Kenapa aku harus masuk dalam masalah rumah tangga wanita ini? Andai saja aku lebih dulu tahu pria itu sudah beristri, aku sudah pasti akan menjaga jarak dengannya. Tapi aku terlambat, aku tahu setelah rahimku dibuahi oleh pria itu. Dan aku juga sudah menjaga jarak selama 3 bulan tapi tetap saja pria itu kembali datang.
"Di luar saja," kataku.
Kirana melirik ke dalam dan aku menelan ludah. "Saya tahu Maulana di dalam."
Aku tidak menghiraukannya. Aku memilih duduk di kursi teras dan Kirana mengikutinya. Pandanganku menatap taman yang kurawat dengan sepenuh hati. Bunga-bunga dan beberapa tanaman berbuah lainnya tumbuh di sana dengan subur.
"Saya minta maaf soal waktu itu. Saya tahu kamu pasti terkejut."
Aku menoleh padanya dengan kening mengerut. Minta maaf? Istri sah Maulana yang minta maaf pada wanita simpanan suaminya? Lucu sekali.
"Maulana sudah menjatuhkan talak pada saya sejak 4 bulan lalu. Saya menolak karena saya merasa saya gak bikin salah apa pun. Kami menikah memang bukan karena cinta. Maulana hanya korban dari kakaknya yang pergi ninggalin saya di hari pernikahan kami."
Aku menoleh pada Kirana dengan wajah terkejut. Bibirku sudah berkedut untuk bertanya apa yang wanita itu katakan sebenarnya saat suara Maulana datang menyapa.
Maulana menarik tanganku memaksa aku untuk berdiri. Dia menatap Kirana dengan tajam tapi wanita itu hanya diam memberikan tatapan tenang.
"Aku udah tandatangan surat cerainya. Semuanya akan diurus pengacaraku. Maaf kalau aku menjadi penghalang kamu untuk mencintai perempuan lain."
Aku menelan ludah. Jadi, sebenarnya aku ini yang korban atau Kirana? Atau Maulana?
Kirana menatapku dan aku balas menatapnya. "Sejak ketemu kamu saat itu, saya tahu kenapa Maulana jatuh cinta sama kamu. Bahkan kalian bertemu belum lama, tapi kamu mampu memikat hatinya. Sedangkan saya yang 2 tahun berjuang tidak membuahkan hasil apa-apa."
Kirana tersenyum padaku sebelum melangkah pergi meninggalkan rumahku. Sedangkan Maulana hanya diam saja tanpa menatap kepergian wanita itu. Aku mendongak pada Maulana, lalu menarik tanganku yang sejak tadi di pegang.
"Pulang sana. Aku mau sendiri."
"Gak. Kamu gak akan bisa ngusir aku."
Kepala batu.
Aku memasuki rumah meninggalkan Maulana. Dia mengikutiku masuk, lalu menutup pintu dan menguncinya. Bisa aku rasakan langkah kakinya begitu cepat menyusulku. Dia meraih pinggangku, kemudian melingkarkan tangan ke perutku. Langkah kakiku terhenti karena ulahnya.
Pelukan hangat Maulana membuat semuanya terasa berbeda. Perasaan bersalah memang masih ada, tapi aku tidak merasa menyesal dengan pertemuan kami. Mungkin, ini memang jalannya. Tidak semua yang pertama itu berarti berjodoh, seperti Maulana dan istrinya.
"Aku mencintai kamu, Inara."
Bisikan dengan nada rendah itu membuatku menoleh padanya. Aku meletakkan tangan di lengan kekarnya yang melingkar di perutku.
"Beresin semuanya sampai tuntas, lalu berjuang lagi dari awal bikin aku luluh biar maafin kamu."
Maulana mengangguk tanpa ragu. Dia tersenyum dan berusaha untuk meraup bibirku tapi aku memalingkan wajah. Dia terkekeh dan makin mempererat pelukannya.
"Sebelum semuanya beres, kamu gak boleh nginap di sini."
"Gak. Aku gak bisa ninggalin kalian di rumah sebesar ini."
Dasar keras kepala.
Aku tidak tahu hubungan kami akan bagaimana ke depannya. Tapi untuk saat ini, aku sedang berusaha kembali menaruh rasa percaya padanya. Karena aku mencintainya.
***
Udahan.
Ramaikan duluk!
KAMU SEDANG MEMBACA
SHORT STORY NEW
Romance[MATURE 21+] Semua cerita hanyalah karangan penulis saja. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat atau kejadian, itu hanyalah ketidaksengajaan. Harap bijak dalam memilih bacaan sesuai usia. Follow dulu jika ingin mendapatkan notifikasi update. Start, 0...