Make Even More Memories

8.7K 763 7
                                    

Pernah gagal dalam bahtera rumah tangga tidak membuatku jerah untuk terus mencoba kembali berhubungan dengan lawan jenis. Mungkin aku terlalu muda dan ceroboh saat itu. Hanya memikirkan rasa malu dan menerima keputusan mendadak yang tidak sempat aku pikirkan efek ke depannya bagaimana.

Kini aku sudah cukup dewasa untuk sebuah keputusan yang matang. Aku bukan perempuan usia 20 tahunan lagi. Usia yang sudah menginjak angka 30 membuatku lebih selektif dalam memilih pasangan. Mungkin banyak cibiran yang aku terima katanya aku janda tapi banyak maunya.

Memangnya salah dengan status yang kusandang saat ini? Memangnya janda tidak boleh memilih pasangan yang layak untuk dirinya sendiri? Apa janda harus menerima siapa saja yang datang tanpa pertimbangan apa-apa?

Manusia memang tempatnya salah.Mmanusia juga makhluk yang pandai menilai dan menghakimi tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidak lagi memusingkan penilaian manusia semenjak menginjak usia 30 tahun. Semua cibiran, sindiran bahkan ujaran kebencian pun sudah aku telan. Aku tidak lagi takut apa pun saat ini.

"Bu Nana, ini mau dibagiin langsung apa gimana?"

Aku menoleh pada seorang gadis yang kini meringis padaku. Dengan senyuman tipis aku menganggukkan kepala. "Bagiin aja. Acak ya, biar gak ada yang tahu tugasnya diperiksa siapa."

Gadis itu kembali mengangguk dan mulai menyusuri barisan meja serta kursi yang ada di hadapanku. Dia membagikan selembar kertas pada tiap meja untuk diperiksa.

"Jawaban yang benarnya ada di sini. Kalian cocokkan dengan jawaban yang ada di lembar tugas di meja kalian. Jangan ada yang curang ya. Saya juga sudah periksa beberapa lembar jawaban yang ada bekas koreksinya. Sudah saya tandai juga. Saya mau lihat kejujuran kalian."

Aku menyisir pandangan ke seluruh mahasiswa dan mahasiswi yang hadis siang ini di kelasku. Mereka mengangguk paham dan ada beberapa yang terlihat berbisik. Dari ekspresi wajahnya sih seperti khawatir akan nilai dari tugas mereka.

Sekitar 30 menit berlalu hanya untuk memeriksa tugas saja. Kini mata kuliah berlanjut ke materi baru dan aku kembali memberikan tugas baru. Tentu saja disertai keluhan lelah dari anak-anak muda ini.

Semester 1 dan 2 masih tahap tugas dan tugas yang mudah. Tidak jauh berbeda dengan tugas-tugas di sekolah sebelumnya. Hanya saja nanti semakin tinggi semesternya, tugas bisa saja berkurang dan lebih banyak prakteknya.

Aku Kirana, wanita 30 tahun yang kini menjadi pengajar di salah satu kampus swasta. Hampir 5 tahun aku bekerja di sini dan rasanya masih sama. Menyenangkan. Apalagi setiap tahunnya aku akan bertemu dengan anak-anak baru di semester awal tahun pertama mereka. Masih lugu dan menganggap dunis kuliah itu menyenangkan.

Sudah 7 tahun aku menyandang status janda. Pernikahannya memang impianku, tapi orangnya tidak. Pria yang harusnya menjadi suamiku hari itu melarikan diri seperti pecundang. Lalu apakah batal? Tentu tidak. Aku menikah dengan penggantinya. Keluarga sudah terlanjur malu untuk membatalkan semuanya. Tamu undangan sudah datang dan menunggu mempelai pria.

Hingga rumah tangga yang tidak dilandasi cinta itu kandas di usia pernikahan 2 tahun saja. Aku sedih? Ya. Wanita mana yang tidak sedih diperlakukan tidak adil oleh jalan takdir? Aku sempat mengurung diri beberapa hari di dalam kamar merenungi kesalahan apa yang mungkin aku perbuat sampai pria yang menjadi suamiku saat itu sulit membuka hati untukku.

Tapi yang namanya perasaan, tidak bisa dipaksa. Aku juga tidak percaya dengan kalimat 'karena terbiasa makanya jatuh cinta'. Menurutku itu tidak selalu benar. Mungkin beberapa ada yang mengalami, tapi itu tidak berlaku dalam kamus hidupku.

Kelasku hari ini sudah selesai. Tepat pukul 5 sore aku meninggalkan kampus, lalu melajukan mobilku ke arah jalan pulang. Aku akan mandi, kemudian beristirahat sebentar sebelum kembali bersiap mendatangi acara pernikahan teman kuliahku dulu.

***

Malam menyapa dengan begitu cepat. Aku sudah siap dengan dandananku malam ini. Setelah memastikan semuanya sempurna di mataku, aku bergegas meninggalkan rumah.

"Mam, aku pergi dulu ya."

Semenjak bercerai, aku lebih memilih kembali tinggal dengan orangtuaku. Selain suasanya terasa lebih nyaman, aku juga tidak suka tinggal sendiri di rumah besar atau apartemen. Di rumah orangtuaku aku kembali seperti anak kecil manja mereka. Semua keperluan disiapkan dan aku hanya tinggal mengenakan saja. Tidak perlu repot memilih ini itu karena aku punya pelayan pribadi di sini.

Kadang aku bersyukur juga berpisah dari pria itu. Setidaknya aku tidak menjadi penghalang untuk kebahagiaannya dengan wanita lain begitu pun dengan kebahagiaanku sendiri hidup nyaman begini.

Aku diantar sopir ke tempat acara diadakan. Salah satu hotel ternama menjadi pilihan temanku itu. Pernikahan impian memang selalu terasa berbeda. Aku pernah memimpikannya tapi lebur begitu saja.

Langkah kakiku berhenti di sebuah meja bulat yang di atasnya ada beberapa minuman. Aku meraih satu gelas dan kembali melanjutkan langkah menyusuri beberapa orang yang tampak asik menikmati acara. Senyumku mengembang seketika saat seseorang melambaikan tangan padaku.

"Ya ampun, Nana!"

Aku memeluk teman-temanku yang sudah cukup lama tidak bertemu. Mereka tampak luar biasa malam ini. Kami berbasa-basi sejenak untuk melepas rindu sebelum menikmati jamuan yang disediakan. Usai mengisi perut, kami dipanggil oleh si ratu hari ini untuk mengabadikan momen ini.

Senyumku tidak luntur sedikit pun sejak bertemu mereka malam ini. Meski acaranya begitu meriah dan heboh, kami tidak merasa terganggu untuk terus mengobrol banyak hal. Jarang sekali bisa berkumpul seperti ini setelah kami sibuk dengan kehidupan masing-masing.

"Na, gue punya teman masih single sampai sekarang. Mau kenalan gak? Lagi nyari istri katanya."

Aku terkekeh geli. "Kaya gak? Kalau gak kaya gak mau gue. Nanti disakitin gak ada jaminan apa-apa."

Teman-temanku tertawa. Makin berumur wanita dan makin bagus karirnya, cinta bukan lagi hal utama yang dia pikirkan. Laki-laki dengan tanggung jawablah yang dia butuhkan. Tidak hanya bertanggung jawab dengan hubungannya, tapi juga dengan komitmen bersama pasangan ke depannya. Serta ada jaminan di dalamnya.

Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang.

Jika nanti hal-hal yang tidak aku inginkan terjadi, setidaknya aku tidak merugi. Lebih baik aku menangis di atas jet pribadi daripada menangis karena tidak bisa makan tiga kali sehari.

"Jangan ditanya kalau soal kaya. Lo bakalan kaget kalau tahu siapa orangnya."

Aku meneguk sisa minuman di gelasku, kemudian mengangguk tanda setuju dengan usulan temanku itu. Dia tampak senang, lalu melambaikan tangan ke arah belakang tubuhku. Aku sengaja tidak berbalik untuk melihat siapa yang dia panggil sampai suara berat seseorang menyapa indera pendengaranku.

"Bang, ini Nana. Masih inget gak?"

Aku spontan menoleh pada pria yang baru saja berdiri di sebelahku. Tenggorokanku mendadak kering saat tahu siapa yang dimaksud oleh temanku itu.

Demi Tuhan, dia pria tampan yang dulu sempat aku idolakan saat masih duduk di bangku kuliah. Namanya Addy. Pria matang yang bisa aku jamin menjadi incaran gadis-gadis muda untuk dijadikan sugar daddy.

SHORT STORY NEWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang