Sudah tiga bulan lebih Jaemin tak ada kabar. Setelah melamarnya tiga bulan yang lalu, lelaki itu malah sibuk dengan perusahaan ayahnya yang memang diwarisi untuk dirinya.
Dan Lisa, hari-harinya tampak monoton sekarang. Gadis itu setiap hari pergi ke apartemen Jaemin, berharap lelaki itu ada di sana untuk melepaskan kerinduannya. Sesekali, gadis itu pergi ke rumah Jisoo dengan alasan yang sama, namun nihil, tak ada tanda-tanda lelaki itu di sana.
Pesan dari Lisa pun hanya sesekali di balas dan hal itu membuat Lisa kesal.
Ia sangat merindukan Jaemin.
Kata Jisoo, Jaemin memang disibukkan dengan jadwal kerjanya, karenanya lelaki itu tampak sibuk sekarang. Jabatannya sekarang bukanlah sesuatu yang harus dipermainkan, dan Jaemin harus sadar akan posisinya.
Lelaki itu harus belajar untuk cepat beradaptasi dengan lingkungan kerjanya.
Jisoo juga bercerita, sejak ayahnya meninggal dulu, Jaemin memang sudah diwariskan untuk mengambil alih perusahannya, karena ia anak lelaki satu-satunya di keluarga itu.
Namun, karena posisi lelaki itu yang masih belum mengerti apa-apa, terpaksa harus ia yang mengurus terlebih dahulu perusahaan tersebut.
Jisoo yang memang menyukai hal-hal sederhana memutuskan untuk kembali memberikan perusahaannya pada adiknya, berharap jika lelaki itu dapat mengkoordinir perusahaan agar lebih baik.
Gadis itu juga menyuruh Lisa untuk bersabar sebentar, setidaknya, hanya untuk beberapa Minggu ke depan.
Melihat perawakan Lisa tentu saja Jisoo merasa iba, namun mau bagaimana lagi? Ia juga tak bisa melakukan apa-apa untuk temannya itu.
Pernah beberapa kali Lisa bertandang ke perusahaan kekasihnya itu, namun nihil, ia juga tak menemukan Jaemin di sana, resepsionis nya berkata jika Jaemin pergi ke luar negeri untuk mengurus kantor cabang di sana.
Kecewa? Ya. Lisa sungguh kecewa pada lelaki itu, padahal, Lisa sudah sangat berharap.
Gadis itu menatap ke arah cincinnya sebentar, sebelum suara deringan ponsel terdengar. Matanya berbinar cerah, berharap jika itu panggilan dari seseorang yang dinantinya.
Namun nihil, harapannya putus begitu saja begitu nama sang ibu tertera di layarnya.
Lisa menghela napasnya pelan seraya tersenyum di sana, "Halo, Ma?"
"Lisa, nak?" Terdengar nada panik di sana, membuat Lisa mengernyitkan dahinya.
"Iya, Ma? Kenapa?" tanya Lisa panik saat mendengar suara parau ibunya. "Ada apa?"
"Pulang sekarang, papa kamu ... Papa kamu masuk rumah sakit." Seakan terguncang hebat, Lisa segera berdiri dan memesan tiket langsung ke California saat itu juga. Mengabaikan tatapan dan juga pertanyaan dari teman-temannya mengenai kepergiannya.
***
Setelah sampai di California, gadis itu memesan taxi dan segera beranjak ke rumah sakit tempat di mana ayahnya berada.
Sedari tadi, gadis itu tak berhenti untuk tak menangis, mengingat betapa durhaka nya ia pada sang ayah.
"Ma?" Lisa segera memeluk tubuh ringkih sang ibu yang tampak gemetar itu.
"Lis, Papa kamu ...." Ibunya menunjuk ke arah sang Ayah yang nampak terbaring lemah dengan beberapa peralatan medis di sana.
"Maaf, maafin, Lisa, Pa." Lisa menangis di sana sambil menggenggam tangan sang Ayah. Gadis itu menunduk sambil menatap wajah pucat ayahnya itu.
Ayah Lisa hanya tersenyum di sana dengan wajah pucatnya, "Hei, little girl. Apa kabar?"
Lisa menggeleng tak mau menjawab, gadis itu lalu memeluk sang ayah sambil sesenggukan, "Papa harus cepet sembuh."
Selesai menangis Lisa duduk di sebelah Ayahnya sambil menatap lelaki paruh baya yang sudah nampak beruban itu.
"Sayang, makan lah terlebih dahulu, kamu belum makan, kan?" suruh sang ibu sambil menatap anaknya khawatir.
Lisa menggeleng tak mau, gadis itu begitu keras kepala sama seperti Ayahnya. Dan hal itu membuat Ibunya menghela napas.
"Sayang, jika kamu tidak makan. Nanti sakit," ucap Ibunya lagi namun Lisa hanya terdiam di sana dengan tatapan yang tak lepas dari ayahnya.
Melihat itu, Ayahnya menghela napas pelan, "Dear, tidak apa-apa. Papa hanya sakit biasa."
"Papa gak mungkin sakit biasa tanpa peralatan medis ini," ucap Lisa ketus.
Dan hal itu membuat Ayah Lisa terkekeh di sana, anaknya ini sama seperti dirinya. "Anak kamu!" ucap Ibunya kesal saat melihat Lisa yang tak ada mirip-mirip nya dengannya.
Ayah Lisa terkekeh lagi, "Yeah, that's my girl."
"Nak bisa tolong turuti satu permintaan Papa?" Ayah Lisa bertanya saat gadis itu tengah menyuapinya.
Dahi Lisa mengkerut di sana, lalu kemudian mencebikkan bibirnya kesal, "Pa, Papa masih hidup. Jangan bikin aku takut," balas gadis itu, takut dengan permintaan ayahnya.
Ayah Lisa hanya menggeleng di sana, "Hanya satu permintaan, Lisa, Papa tidak akan pergi."
Lisa menghela napasnya pelan, lalu mulai mengangguk di sana.
"Menikah lah dengan seseorang yang sudah Papa pilih." Mendengar ucapan Ayah Lisa, gadis itu sontak berdiri, lalu menggeleng keras di sana.
"Aku gak mau. Aku udah punya pacar, Pa."
Gadis itu ingin menangis rasanya, belum juga dengan masalah Jaemin. Sekarang malah permintaan Ayahnya yang membuatnya pusing.
Gadis itu lalu keluar dari sana dan berjalan seorang diri ke arah taman dan duduk di sana. Tak di sangka, ibunya mengikutinya dan duduk di sebelah Lisa.
"Papa dan Mama juga dijodohkan, nak. Dan sekarang malah saling menyayangi," ungkap Ibu Lisa seraya tersenyum mengenang masa lalu.
"Itu dulu, Ma. Aku bukan anak kecil lagi, aku bisa milih pasangan aku sendiri."
"Sayang, listen. Kadang, omongan orang tua itu bener. Pilihan kamu belum tentu tepat. Mama takut, kejadian dengan Sehun akan terulang lagi. Percaya lah, kita memilih orang yang tepat untukmu," kata perempuan paruh baya itu sambil memegang bahu Lisa, menatap anaknya itu dengan raut meyakinkan.
Lisa menunduk menatap ke arah cincinnya, hatinya berdesir di sana mengingat kenangan yang diberikan oleh Jaemin padanya.
Namun apa ini? Kenapa takdir selalu tak adil padanya? Apa ia tak berhak mendapatkan cinta tulus?
Gadis itu menggenggam jari manisnya, di mana cincin itu berada, lalu menoleh ke arah Ibunya dan menghela napasnya pelan.
Ya, mungkin ini pilihan terbaik. Tak ada salahnya menuruti orang tua. Karena selama ini, Lisa selalu salah menilai orang.
"Lisa mau, Ma."
Mendengar itu Ibu Lisa tersenyum bahagia, lalu memeluk anaknya itu sambil menciumi rambut sang gadis.
Lisa ikut tersenyum di sana, walaupun rasanya hatinya tak rela jika melepaskan kenangannya dengan Jaemin.
Gadis itu melirik ke arah cincin di tangannya, dengan mata berkaca-kaca. "We're done."