Minhee menatap dawit yang berada jauh darinya, ia ingin meminta handuk, tapi ia terlalu malu.
Jika diingat lagi, minhee juga tidak memiliki pakaian ganti. Ia pun mendesah pelan, "aku harap ada handuk dan pakaian yang kering di sini" ucapnya kecil sembari menatap ke langit.
"Minhee, apa kau sudah selesai? " tanya dawit, "sudah! " jawab minhee sedikit berteriak. Lalu muncul seekor burung mengambil handuk dari dawit dan memberikannya pada minhee.
"Ah, terima kasih" ucap minhee pada burung itu lalu bangkit berdiri dan mulai mengeringkan tubuhnya.
Ia keluar dari tempat kayu itu dan tidak sengaja melihat kain berwarna coklat dan putih.
Matanya pun berbinar, baju putih besar dan celana coklat pendek.
"Burung itu membawakannya untukku? Ah, burung yang baik" ucap minhee merasa tersentuh.
Sementara minhee mengenakan pakaian barunya, liz melihatnya dari atas sambil mendesah kesal, "ajari putramu tentang sihirnya! Aku bisa tua melihatnya bertingkah bodoh" ucap liz, minhee belum membuka matanya pada aeternum yang sebenarnya.
"Aku tidak punya anak" tolak roh yang ada di sebelahnya, "teruslah mengelak dan biarkan anakmu terluka! " ucap liz kesal, ibu dan anak memang sama saja, terus membuatnya kesal.
Setelah selesai menggunakan pakaiannya, minhee pun menghampiri dawit yang tengah mengobrol dengan burung tadi.
"Dawit, aku sudah selesai" minhee menepuk pundak dawit, "aku tidak tahu kau punya pakaian ganti" ucap dawit terkejut melihat minhee dengan pakaian yang berbeda.
"Burungmu yang memberikannya padaku" ucap minhee membuat dawit menatap sang burung yang langsung berkicau bising.
Pria itu pun mengebaskan tangannya, membuat si burung terbang pergi, "kita harus menemui miyeon lebih dulu" ucap dawit.
Mereka pun menuju ke rumah rei, dimana miyeon dan rei menunggu keduanya. Sesampainya di sana, mereka berbincang sedikit.
"Minhee, kau sudah tahu sihirmu? " tanya rei, minhee pun menggelengkan kepalanya, "aku bisa menggunakan sihir? " tanya minhee penasaran. Tapi liz belum tertidur, wanita itu menatap ke bawah sembari menahan emosinya.
"Apakah ini pertanda bahwa aku harus berhenti membantu ailux? " ucapnya lalu menghela nafas pasrah.
"Kau ailux, jika kau tidak mempunyai sihir, setidaknya kau punya kemampuan" jawab rei.
Minhee menunjukkan ekspresi bingungnya, "seperti kami contohnya. Hybrid tidak punya sihir, tapi kami punya kemampuan yang berhubungan dengan alam" jelas rei namun minhee masih tidak mengerti.
"Di antara kelima wilayah, unpaix adalah satu-satunya wilayah yang tidak memiliki sihir kecuali di puncak gunung paix. Kau pasti sudah bertemu dengan magical fire, mereka adalah bunglon sihir. Tapi kami memiliki kemampuan, contohnya dawit bisa berbicara dengan hewan dan rei bisa mengontrol air"
"Dimana letak perbedaannya? Ada api, air dan hewan, terdengar sama" tanya minhee, jujur ia tidak paham.
"Kemampuan adalah hal yang dimiliki semua makhluk. Sedangkan sihir adalah hal yang dapat digunakan dalam keadaan mengancam atau terdesak. Kami para hybrid hidup di lingkungan yang aman, kami tidak memerlukan sihir" jelas dawit, minhee pun menggigit bibir bawahnya sembari menatap ke atas.
"Jadi, semua makhluk mempunyai kemampuan, tapi tidak tidak semuanya mempunyai sihir? " tanya minhee diangguki oleh ketiganya.
"Apakah ailux juga mempunyai sihir? " tanyanya lagi, mereka pun menatap pada miyeon.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARCUNA; Aiterleux Mission
Fantasy─ rembulan terus menjadi saksi bisu baginya, membiarkannya dibawa pergi untuk menemui orang tuanya di tempat yang terlalu jauh.