Danuar sudah duduk di tepi ranjang milik Alesya, membuka jas hitamnya dan menggulung lengan kemejanya yang juga bewarna hitam. Gadis itu sedang memeras kain yang ia basuh dengan air, untuk mengompres luka lebam di wajah Danuar.
Danuar terus memperhatikan gadis di depannya, yang mengobatinya seraya menangis. Bahkan yang memiliki luka tak meringis sama sekali, tapi yang mengobatinya malah terus meringis.
“Sudahlah Alesya, jangan terus menangis, aku tidak apa-apa.”
“Lukanya banyak, ini pasti sakit. Kenapa kamu nggak balas pukulan kakak?!” Alesya mengomel seraya terisak.
Danuar terkekeh. “Itu perjanjian kami, aku tidak boleh melanggar janji ‘kan?”
“Aku tidak peduli dengan perjanjian bodoh kalian!”
Tok tok
Pintu kamar terbuka, menampilkan Nanda dengan kotak putih di tangannya. Ia menaruhnya di nakas samping kasur.
Nanda menghampiri Danuar, mengusap kepalanya. “Kamu nggak apa-apa? Lukanya parah?”
Danuar menggeleng sambil tersenyum tipis. “Tidak, lukanya biasa saja.”
“Apanya yang biasa aja?! Bunda liat ‘kan, mukanya jadi ancur gini!” Alesya membentak.
Nanda terkekeh, ia mengusap pucuk kepala Alesya yang fokus mengobati luka Danuar. “Jangan marah-marah gitu, nanti nggak sembuh-sembuh lukanya Danuar.”
“Danuar, maafin Dewa, ya? Alesya itu adik satu-satunya, kamu pasti memaklumi apa yang dirasakan Dewa?”
Danuar mengangguk. “Tidak apa-apa, ini juga hukuman untuk Danuar, Bunda.”
Nanda tersenyum, ia mengangguk. “Istirahatlah, Alesya akan menjagamu dengan baik.”
Nanda keluar, membiarkan Alesya mengobati Danuar dengan tenang.
Selesai mengobati wajahnya, mata Alesya teralih pada bibir Danuar yang terdapat bercak darah. Ia mengusap bibirnya, membuat sang empu terkejut.
Alesya kembali memeras kain, menyecapkannya pada sudut bibir Danuar. Kali ini, sedikit ringisan terdengar dari bibir pria itu.
Alesya meringis. “Apa itu sakit?”
Danuar menggeleng. “Tid--- uhuk uhuk,” ia terbatuk dan memegangi dadanya.
Alesya baru ingat, bahwa kakaknya tadi menendang dada suaminya dengan sangat keras. Tanpa pikir panjang, ia membuka 4 kancing kemeja yang Danuar gunakan.
Jiwa sebagai ketua PMR Alesya dipertaruhkan, sedangkan Danuar terkejut dengan apa yang Alesya lakukan.
“Kamu mau apa?” tanya Danuar.
Alesya tidak menjawabnya. Setelah membuka 4 kancing itu, barulah Alesya bisa melihat tanda biru di dada bidang Danuar.
Alesya menutup mulutnya sendiri, matanya kembali berkaca-kaca. “Ya Allah, dadanya sampe biru gini ...”
“Maafin kak Dewa ya? Aku nggak tau, harus gimana lagi buat sembuhin sakitnya ....” Alesya menunduk.
Danuar membuang nafas pelan, mengangkat dagu Alesya. “Itu bukan kesalahan siapapun. Lukanya bisa sembuh seiring waktu, tenanglah ...”
Alesya menyentuh dada Danuar, mengusapnya singkat berharap rasa sakitnya mereda.
“Kamu mau mandi? Tapi lukanya pasti perih kalo kena air ...”
Danuar menggeleng dengan mata sayu. “Mau tidur.”
Alesya menyentuh kening Danuar sekilas lalu mengangguk. Ia membantu Danuar membaringkan tubuhnya di kasur. Saat hendak beranjak, Danuar menarik pelan lengan Alesya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Love [ ✓✓ ]
General FictionHai haaaaiii!! Sebelum baca isi ceritanya, kalian pasti baca deskripsinya dulu, iya 'kaaaannn? Oke. Fyi, ini cuma cerita suka-suka, hasil dari haluanku yang tiba-tiba lewat waktu lagi sendirian di rumah. But, calm! Aku update setiap hari, kalo ada k...