***
"Berikan sebuah rasa untuk musik, maka musik akan mengerti perasaanmu"
***
"Kau mengenaliku?" Aku bertanya pada Darren setelah berhasil keluar dari rumahnya.
Ia terlihat santai dengan kaos putih dan celana pendek yang ia kenakan. "Aku sering melihatmu di sekitaran komplek ini, lagi pun kita satu kelas" kekehnya sembari menungguku yang masih memakai sepatu untuk pulang.
Aku tak menyadari, sejauh ini ternyata ada orang yang memperhatikanku. Orang melihatku tapi tidak denganku, aku tak melihat orang lain. "Salam kenal, aku Haina," ucapku seraya berdiri dan mengulurkan tangan untuknya.
"Ck, aku udah tahu namamu!" seru Darren lalu berjalan mendahuluiku tanpa menjabat tangan yang sudah kuulurkan padanya.
Awalnya aku menolak untuk diantarkan pulang, toh rumahku tak terlalu jauh, pun aku yang selalu pulang malam karena sering menulis di Cafe dekat sekolah itu. Ibu pun tahu kebiasaanku, alhasil takkan ada masalah. Namun setelah berdebat dingin dengan ibunya Darren, akhirnya aku mengalah dan menyetujui permintaannya. Ia bilang, takut jika ada pemuda-pemuda yang mabuk di tengah jalan. Memang benar, di sekitaran sini banyak orang-orang gila seperti itu.
Terlihat dari ujung netraku Darren memasukkan kedua tangan ke saku celananya, mungkin karena angin malam yang dingin, "Lagi pun seminggu lalu kau mengintipku di Ruang Musik," gumamnya. Aku terperanjat mendengar ungkapan darinya.
"Hah?! J-jadi itu kau?"
Ia mengerutkan kening, "Kenapa?"
"Mau kuajarkan bermain musik?" sambungnya.
***
Pagi ini berbeda dengan pagi disatu minggu yang lalu. Aku yang awalnya selalu berbalik arah menuju kelas untuk melihat Ruang Musik dan mengamati keberadaan pianis kala itu, kini berputar sembilan puluh derajat, pianis itu mengantarkanku langsung ke ruangannya.
"Kenapa bisa tahu kalo minggu lalu aku mengintipmu di sini?" tanyaku melihat Darren yang sedang membuka kunci pintu. Ia masih terdiam, tak ada jawaban. Lalu berjalan masuk dan menghampiri cermin yang berada di samping papan piano. Matanya menunjuk pada cermin sebesar tubuhku itu.
Aku mengerti. Kala itu ia menyadari keberadaanku sebab adanya pantulan dari cermin. "Kenapa bisa ada cermin sebesar ini di sini?" Aku bertanya lagi.
"Seminggu yang lalu, cermin di tempat ruang ganti dialihkan, para guru minta Tukang Kebun buat pindahkan cermin bekas ini ke gudang, tapi mereka malah menyimpannya di sini, alhasil aku memintanya dan mereka dengan senang hati memberikan cermin tua ini," jelas sembari sesekali tertawa ringan.
"Ohh~" balasku, mengerti.
Tujuan awal masuk ke ruangan ini adalah untuk mencoba belajar bermain piano dengan Darren, "Jadi, kita mulai dari mana?"
Darren menjawab, "Dari rasa,"
"Berikan sebuah rasa untukku" lirihnya sembari menatap lekat manikku.
"H-hah?!" Aku tak mengerti apa yang ia maksud.
Ia terkekeh sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Ahh, maksudku, mulai saat ini kamu harus ingat kata kiasan itu. Anggap saja piano ini yang berbicara seperti itu padamu," tuturnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Have a Crush on You [COMPLETED]
Teen FictionSeberapa lamanya kamu bisa mencintai seseorang dalam cara paling sepi? Satu bulan? Satu tahun? empat tahun? Atau sampai sepuluh tahun? Ah tidak, ini ceritaku! Aku mencintanya seumur hidupku. *** Haina. Seorang penulis SMA tingkat akhir yang tero...