*FYI: ini bukan tamat ya, guys!
***
"Penulis adalah seorang pemimpi"
***
Berawal dari saat aku menekan tuas pintu Ruang musik, aku memasukinya dan berkata, "Aku kembali daren." Lalu kakiku kembali melangkah untuk membuka jendela agar udara masuk, "Pianonya udah agak debuan, Darren," ucapku lagi sembari mencolek sedikit debu itu, aku meniupnya sebelum kubuka papan penutup tuts piano. Sebentar, aku mendapati sebuah buku kecil di sini, sangat kecil nan tipis, mungkin hanya sekitar 10-15 lembar saja.
Kuambil buku yang tergeletak di tuts piano ini lalu kubaca, "Ah, ternyata hanya buku tuntunan lirik piano saja!"
Sejenak, aku sempat terdiam, "Siapa yang datang ke sini?" pikirku.
Sebelum kupikirkan lagi, lebih baik aku memulai niatku datang ke sini. Aku hanya ingin sekedar bermain piano, "Baiklah jemari, mari kita mulai!" seruku sebelum jari-jari ini mulai menari di atas tuts piano; mengalunkan lagu Dandelions seperti biasa; sebab itu yang kubisa.
Saat bermain piano kali ini, penghayatanku lahir sebab jemariku yang kian gemulai menekan tuts. Aku terpenjam sambil menghirup udara ruangan, meski dengan banyaknya debu yang berjalan di sorot matahari dari jendela. Sesekali kutatap cermin tua di samping sambil tersenyum miris, berharap Darren ada di sini dan ikut mendengarkannya.
"... Mine." ucapku terakhir saat menyanyikan lagu Dandelions itu.
Prok prokk prokk!
Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari belakangku, aku menoleh, "Ken!"
"Hai," balasnya.
Ia tersenyum penuh lalu suara beratnya kembali merebak di ruangan ini, "Ternyata kamu bisa bermain piano juga, keren!"
Aku celingukan dibuatnya, "Ehe, sejak kapan di sini?" tanyaku sembari menggaruk tengkuk yang tak gatal, aku mencoba untuk mengalihkannya.
"Pas kamu tengah fokus bermain," jawabnya.
Hah! Syukurlah, untung dia tak masuk saat aku berbicara dengan Darren; maksudnya berkhayal tengah bicara dengannya. Bisa-bisa aku dikira sedikit gila. "Dua hari ini, aku bantu Tante Maia buat bawa barang-barang Darren yang tertinggal di ruangan ini," sambung Ken.
"Oh~. Eh, jadi ini bukumu?" tanyaku sembari menyodorkan buku tipis tadi.
Ken menggelengkan kepalanya, "Kalo bukan, terus punya siapa?" Aku bertanya lagi.
Kemudian Ken mengangkat bahu seraya mengerutkan kening, membuat aku gemas melihatnya, "Mungkin punya Darren,"
Sebenarnya aku tahu jika buku ini bukan kepunyaan Darren. Meski dia sering bermain piano, ia tak pernah bermain dengan buku lirik, apalagi buku panduan seperti ini. Tapi, apalah buat. Hal kecil ini tak perlu dibesar-besarkan. "Oh, maybe."
"Mau bantu aku masukin semua barang ini ke dalam dus?" tanya Ken membuyarkan lamunan kecilku. "Oh, tentu," balasku.
...
Setelah selesai merapikan barang Darren ke dalam dus dengan ukuran sedang, Ken lalu membawanya. Saat ini kita tengah berjalan beriringan berdua untuk kedua kalinya, namun kali ini berniat untuk pulang bersama. Jalur kita memang searah. Namun, sebelumnya aku jarang satu bus dengannya, sebab, kalian tahu alasannya, aku sering nangkring terlebih dahulu di Cafe untuk menulis. Bagaimanapun itu juga termasuk kebahagiaanku.
Lagipun, dulu aku tak berani dekat-dekat dengannya, takut ia merasa risih dengan kehadiranku di harinya. Dulu, aku berpikir bahwa lebih baik tidak dikenalnya sama sekali daripada dia mengenalku tapi merasa jengkel padaku. Namun, itu semua tak seperti yang kukira, tak seburuk apa yang kupikirkan. Bahkan saat ini lebih baik, berdekatan dengan orang yang kita suka itu menyenangkan.
"Langitnya tiba-tiba mendung," pungkasku saat tengah menunggu bus di halte sekolah. Sekian detik kemudian, percikan air pun turun membasahi bumi.
Ken mengangkat telapak tangan kanannya, lalu menampung air hujan yang terjun dari atap halte, "Kamu suka hujan, 'kan?"
Haa! Mendengar pertanyaannya sontak membuatku sedikit terperanjat dari lamunanku saat menatap percikan air di tanah, "Y-ya, kenapa?"
***
Oh shit!
Pagi ini aku terlambat masuk ke sekolah. Aku lupa menyalakan alarm tadi pagi. Alhasil aku amblas di alam mimpi. Kendati aku memang penulis amatir, tapi ketahuilah! Penulis adalah seorang pemimpi, ia selalu bermimpi.
Tapi tidak dengan mimpiku tadi pagi. Itu hanyalah mimpi saat tidurku, mimpi di bawah alam sadarku. Tidak penting. Kalian pasti pernah mengalaminya. Kecuali, kalian memang bukan manusia.
Eh, tunggu! Apa hewan juga bisa bermimpi?
Ah, sudahlah! Aku terlambat. Upacara hari ini sudah terlewatkan. Aku tak mengikutinya pagi ini. Kecerobohan harus dibayar dengan pelajaran. Lalu apa jadinya jika pelajaran yang diberikan itu hanyalah hukuman. Semacam berdiri di lapangan; tepat di tengah teriknya matahari. Untung saja, rambutku sudah dikepang dengan baik oleh Astri tadi.
Tapi apa yang didapatkan dari hukuman yang di'manipulatif'kan dengan kata pelajaran. "Omong kosong!" bualku sambil mengangkat dua jari yang digerak-gerakkan.
Bukannya mendapatkan sebuah pelajaran, malah mendapatkan sebuah kelesuan. Mana keringatku bercucuran tak ada guna, ditambah lagi dengan tenggorokan yang terasa serat saking hausnya. "Nih, Na!" Astri menyodorkan satu botol minum saat aku menghampirinya di kursi sisi lapangan.
"Hai!" sapa Ken saat ia berjalan melewati kami. Ia tersenyum padaku saat tatapan kita saling beradu. Jika memang ini buah yang Tuhan berikan dari hukuman tadi. Aku akan rela dihukum berkali-kali jika ini ujung dari semuanya. Sampai-sampai keringat panasku berubah seketika menjadi keringat dingin seperti ini, semuanya ulah Ken, 'sih!
Namun dibalik itu, Nara menjawab, "Hai juga, Ken!"
Aku sedikit jengkel padanya. Jelas-jelas Ken manggil namaku, malah ia jawab dengan sapaan lagi. Alah! Biar manapun aku tak bisa mengutiknya. Mungkin memang benar jika barusan, Ken hanya menyapa, bukan memanggil namaku secara pribadi; seperti saat biasanya.
"Ken akhir-akhir ini berbeda," imbuh Astri.
Ndasmu! "Dia berbeda karena ada aku!" kataku dalam hati sembari membayangkan jika saat ini aku tengah mengibas-ibaskan rambut dengan bangganya.
Dasar pemimpi!
"Hei, lihat! Artikel ini lucu," pungkas Nara seraya memperlihatkan layar gawainya.
"Ta-tap manik pasa-nganmu selama 5 detik, ji-ka dia menurunkan tata-pannya lebih dulu darimu, ma-ka berarti dia memang be-nar mencintaimu," ejah Nara.
Selanjutnya Nara menampik handphone milik Astri, "Coba tatap mata aku, siapa yang duluan turun! Ayo, ayo!" teriaknya sembari membulatkan kedua matanya.
Astri meraup wajah Nara yang menyebalkan, "Maaf, ya, saya bukan lesbih!" ketusnya.
Tunggu! Di tengah keributan mereka, aku malah berperang dengan pikiranku sendiri. Aku belum pernah mendengar sebuah fakta ini, atau 'mungkin juga mitos ini. Tetapi masalahnya bukan antara fakta atau mitosnya. Namun, ada tidak adanya pasangan itu. Persetan dengan pasangan! Aku masih begitu muda untuk memikirkan hal itu. Tapi setidaknya ini masuk akal. Sepertinya mesti kucoba!
'Kan ada Kenzi! He's my Crush!
Aku jadi cengengesan sendiri, "Apa salahnya aku coba? Aku cukup umur
jika memikirkan hal ini," batinku.❄❄❄
Next?
JANGAN LUPA FOLLOW, VOTE, COMMENT AND SHARE CERITANYA!
THANK YOU 🌷🌷🌷
KAMU SEDANG MEMBACA
I Have a Crush on You [COMPLETED]
JugendliteraturSeberapa lamanya kamu bisa mencintai seseorang dalam cara paling sepi? Satu bulan? Satu tahun? empat tahun? Atau sampai sepuluh tahun? Ah tidak, ini ceritaku! Aku mencintanya seumur hidupku. *** Haina. Seorang penulis SMA tingkat akhir yang tero...