Bab 2: Tentang Hujan

196 21 4
                                    

***

"Aku menyukaimu. Menyukai suaramu. Menyukai dekapan dinginmu."

***

Selain suka menulis, aku pun tentunya suka membaca. Novel, komik atau apapun dengan beragam genre, aku menyukainya. Namun beda hal dengan buku pelajaran, aku menyampingkan itu. Tetapi, dari buku fiksi pun aku banyak mendapatkan ilmu, tentunya ilmu kehidupan.

Ke mana pun dan di mana pun buku bacaan harus tersedia di tasku, apalagi saat di sekolah. Tanpa adanya buku-buku fiksi ini rasanya aku tak punya teman. Bukannya aku memang tak punya teman, tapi rasanya hampa saja jika tidak adanya fiksi. Perlu kau tahu, di dunia nyata aku memiliki banyak teman. Biar kusebut satu persatu.

Pertama, dua gadis bego di sebelah kanan dan kiri bangkuku yang sudah kuanggap sebagai babu.

Kedua, ada tiga gadis primadona di sekolah ini. Keren bukan, aku berteman dengan mereka(?). Meski begitu aku tak terlalu dekat dengannya, hanya saja mereka berada di depan mejaku, oleh sebab itu topik pembicaraan pun sering terjadi dan kita sesekali berjalan bersama.

Nah, segitu saja.

Jadi bisa disimpulkan temanku ada 5 jiwa; dua teman yang sudah kuanggap babu dan tiganya primadona di sekolah. Banyak bukan?

Ya, tentu saja. Lima teman sudah cukup banyak bagi seorang introvert, sepertiku.

Siang ini, bel jam istirahat kedua telah bersuara. Banyak orang yang langsung berhamburan keluar kelas; ada yang menuju lapangan, perpustakaan, taman dan kantin tentunya, tapi tidak denganku. Seperti biasa aku akan mengeluarkan benda persegi dari tas abu-abu ini, membuka lembaran-lembaran tipis dan mencari tulisan terakhir yang telah kubaca baru-baru ini.

"Buku baru, Na?" tanya gadis sebayaku dari arah kanan, namanya Nara. Aku hanya mengangguk.

Nara, dia salah satu dari dua orang yang sudah kuanggap babu itu. Orangnya mungil, lebih pendek dariku. Dia pandai, pandai dalam bermain game, tapi tidak dengan belajar. Namun aku iri dibuatnya, kekuranganku ada di kelebihannya atau mungkin hanya di kebiasaannya, aku tak bisa bermain game. Game yang ia main begitu susah. Aku hanya bisa memainkan game kodok zumba dan onet, kalian tahu itu?

Selain itu, aku iri dibuatnya karena dengan game-nya itu ia bisa saling bertukar cerita dengan lelaki di sampingnya, lelaki yang memberikan aura hitam berasap dari tubuhnya, lelaki yang aku kagumi. Haghh, asem!

"Heh! Kalian mau di kelas aja nih?" Astri mencolek lenganku sambil merebut buku yang sedang kubaca, tangannya terangkat lalu membuka lembaran-lembaran yang masih halus itu dengan kasar, sungguh itu adalah sakit hati terberat bagiku.

Aku mencoba merebut, "Ishh! Astr-"

"Bentar aku liat dulu," Astri memotong ucapanku sembari membolak-balikan kembali buku bersampul biru itu dan ...

"... Hah! Ada kertasnya" ucapnya saat selembar kertas dari halaman pertama terjatuh.

"Eh, jangan!" cegatku sambil buru-buru kurebut, panik.

Sialnya, tangan Astri yang lebih panjang dariku bergerak lebih cepat, ia mengambilnya dan melempar buku novelku sembarangan, lalu menaiki mejanya dengan kertas yang ia angkat tinggi-tinggi.

Panik attack tentunya, panik karena buku novel yang baru kubeli semalam dengan mudahnya ia lempar ke bumi dan panik karena takut ia akan membaca tulisan absrud milikku di kertas kusut itu.

Dan benar saja, ia membaca tulisanku dengan lantang seperti membaca Proklamasi dengan intonasi puisi.

"Suka hujan karena apa?"

I Have a Crush on You [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang