Bab 15: Tentang Kembalinya Dia

43 9 0
                                    

***

"Bagaimana pun yang terjadi saat ini padaku ialah cara alam bekerja. "

***

"Hai!" Seseorang memanggilku dari belakang setelah aku turun dari bus. Aku berbalik dan mendapati Ken yang tengah berjalan cepat menghampiriku. Tidak! Aku harus berjalan lebih cepat agar tak terdahuluinya. Aku tak mau jika kita berjalan bersamaan. Bisa-bisa jantungku lepas saking berdegup kencang dibuatnya. 

"Haina!" panggilnya lagi. Haduh, dia malah mengerjarku. Aku tidak tahu apa yang bakal terjadi nanti di koridor sekolah. "Oh, h-hai!" balasku saat ia berhasil mengejarku.

Ia tersenyum kecut saat mendengar balasan sapaanku, oh ya! Aku lupa, "H-hai, Ken!" seruku. Kemudian ia tersenyum lebar dibuatnya. Sekejap aku terpaku melihat senyum lebarnya yang diberikan untukku.

"Ini bukan mimpi, kan? Aku berjalan beriringan dengan, Ken? Tolong katakan, ini bukan mimpi, kan?!" pikiranku terus bertengkar.

"Hari ini, hari ujian akhir pertama, kan?" tanya Ken sembari berjalan di samping kiriku, seakan melindungiku dari deretan kendaraan di samping trotoar. Ah, apa ini hanya perasaanku? Tapi, serius! Dari tadi ia terus mengikuti arah langkahku, di samping kiri.

"Ah,iya." Oh, sialan! Kakiku melemas dibuatnya. Aku tak tahu langkahku bisa sampai kelas atau tidak. Sepertinya, saat ini ribuan kupu-kupu tengah menari di dalam perutku. Jalanan yang kini padat dengan kendaraan dan lalu lalang orang pun terasa seperti melihat lapangan belantara yang dipenuhi  beribu-ribu bunga yang terhampar. Baiklah, aku tak bisa mengiaskan kebahagiaanku lagi saat ini. Yang jelas, ini adalah perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Beberapa langkah selanjutnya kita sampai di depan sekolah. Aku merasa lega bisa melangkah sampai sini meski kakiku tak bisa lagi menopang tubuh yang tengah berdebar ini. Untung saja di sekitaran koridor tak satu pun orang kutemui saat ini. Ntahlah mereka pergi kemana, mungkin alam sedang berpihak kepadaku saja saat ini.

***

Dipertemuan kita pagi tadi, aku jadi teringat kata-kata yang pernah Tante Maia ucapkan, "people come and go", itu kata yang masih sering kupikirkan. Aku tak masih tak mengerti kenapa bisa ada ketentuan seperti itu. Darren pergi dan kini, Ken datang ke dalam kehidupanku. Aku pikir ia hanya sekedar 'tak sengaja' melintasi hariku dengan alasan mendiskusikan sebuah tugas lalu pergi dan menjalani kehidupan seperti sebelumnya. Namun, pikirku salah. Ia malah terus menerus menyapaku di menit berikutnya, di jam berikutnya, sampai di hari-hari berikutnya, saat kita berpapasan.

Jika kupikirkan, mungkin alam membuat Ken datang setelah Darren dibuatnya pergi. Tapi, tidak! Aku tak boleh menyamakan mereka. Ken dan Darren berbeda. Bukan karena mereka bersaudara aku bisa menyamakannya, mereka begitu bertolak belakang. Tak perlu dipikirkan lagi, bagaimana pun yang terjadi saat ini padaku ialah cara alam bekerja.

Namun, sebuah perasaan dan prasangka buruk tiba-tiba terbesit di benakku. Sebuah ketakutan. Aku takut yang datang di kehidupanku saat ini akan pergi seperti yang sebelumnya telah terjadi.

Alam kejam, tapi aku hidup di alam. Aku tak bisa memberontak.

"Na! Bengong aja, mau pesen apa?" Astri menggebrak meja kantin membuat lamunanku buyar.

"Iya, nih. Novelmu juga mana, laptopmu mana, Lagi-lagi gak bawa, aku gak bisa suapin kamu lagi kalo kayak gini terus!" seru Nara.

Aku tersenyum penuh. Mereka berubah sejak aku kehilangan Darren. Mereka memberikan perhatian lebih padaku. Bilangnya, jika aku terus menerus seperti ini, mereka tidak bisa berbalas budi lagi padaku dan tak bisa sewenang-wenangnya lagi meminta kunci-kunci jawaban padaku, terlebih, tak bisa memperbudakku lagi di dalam kelas. Haha! Mereka ... lucu.

"Baiklah! Aku gak bakalan ngelamun lagi, ngomong-ngomong, pesanannya seperti biasa, ya!" seruku mencoba untuk semringah.

"Gitu, dong!" balas mereka berdua sebelum Astri pergi memesan makanan.

"Hai!" Tiba-tiba seseorang memanggilku dari belakang setelah Astri pergi. Di tengah kegiatanku membaca, aku mendongak, sebelum itu aku mendapati wajah Nara di depanku yang terpaku, melongo melihat orang di belakangku, seperti melihat hantu saja, pikirku. Hah! Aku tahu suara dari panggilan namaku yang berbeda itu, "Ada apa, Ken?" tanyaku.

Aku sedikit terkejut melihatnya membawa sebuah mangkuk bakso penuh di tangannya, "Kamu mau punyaku?"

Uhukk!

Nara tersedak saat mendengar suara Ken, padahal ia tengah berpura-pura meminum air di gelas kosong. Rasanya aku ingin menertawainya saat ini. "Ini, bakso ini," sambungnya lagi.

"Ah, nggak usah, aku udah pesen makanan," balasku.

Ken mengangguk ringan, "Oh~ kalo gitu, aku boleh duduk di sini?"

Uhuk, uhuk, uhukk!!!

Nara kembali terbatuk, tersedak ucapan yang Ken lontarkan. Oh, ya, mereka; Nara, terlebih Astri pun belum pernah melihat kita; aku dan Ken yang sering saling menyapa dan bercengkrama.

"Boleh,"

Sedetik mungkin ia langsung menurunkan bokongnya di kursi sebelah, di meja bundar yang lumayan besar ini.

Di sisi lain, Nara terus-terusan terbatuk, mencekik dirinya sendiri, menahan sedakan sampai Astri datang membawa sebuah nampan berisi es teh, secepat mungkin ia meneguk dua gelas hingga tandas. Ken dibuat melongo olehnya.

"Humpphh!" Aku malah dibuat ingin tertawa terbahak-bahak melihat mereka, namun masih kucoba untuk menahannya. Apalagi, kini Astri ikut-ikutan melongo, membuat Ken yang masih melongo pun jadi bertatap-tatapan dengannya.

Tangan Astri tiba-tiba bergetar kuat membuat nampan yang biasa bawa ikut berguncang, kemudian telunjuknya terangkat, "D-dia?!"

BRUKGHH!!!

Di detik setelahnya, ia tergeletak pingsan membuat semua warga kantin panik termasuk kita. Bisa-bisanya sampai seperti ini. Memang seseram apa wajah Ken? Padahal, menurutku dia kaum Adam yang paling tampan setelah ayahku, yang pernah kutemui.

Dengan polosnya, Ken bertanya, "Mereka kenapa, Hai?"

***

Kringg, kringgg!!!

Suara bel melengking di semua penjuru kelas, menandakan jika pembelajaran hari ini sudah berakhir. "Ayo, Na!" ajak Nara.

Astri yang pertama selesai membereskan barangnya pun ikut menungguku, "Kalian duluan aja, aku mau ke Ruang Musik," kataku.

"Hah?! Kamu serius, Na?!" teriak mereka beriringan.

"Kenapa?" tanyaku heran.

Nara berdecak, "Na, Darren udah gak ada!" bentaknya.

Deg!

Itu membuatku kembali merasa sakit, "Aku tahu, kok, apa salahnya aku pergi ke sana lagi?!" Aku kembali membentaknya lalu pergi meninggalkan mereka, tak terasa sebuah tetesan air kembali meluncur, membasahi pipi.

Sudah lumayan lama aku tak mengunjungi ruangan ini, ruangan kesayangan Darren. Mungkin tak ada lagi yang pernah memasuki Ruang Musik sejak saat terakhir aku mendatanginya; saat memberikan penghormatan terakhir untuk Darren sebelum ia di ke bumikan. Tak ada yang begitu menyukai musik seperti Darren di angkatan kelasku. Oleh sebab itu, Ruang Musik sudah seperti ruangan pribadi bagi Darren; dan aku yang ikut masuk di kehidupannya.

Kubuka daun pintu yang telah lama tak kupegang ini, aku tersentak melihat ke dalam ruangan, "Darren, aku kembali..." lirihku.


❄❄❄

Next?

JANGAN LUPA FOLLOW, VOTE, COMMENT AND SHARE CERITANYA!!!
SANKYUU🌷🌷🌷










I Have a Crush on You [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang