Bab 12: Tentang Sebuah Cara Untuk Mengikhlaskan

47 12 1
                                    


***

"People come and go."

***

"Sust!" panggil seorang dokter pada suster di sampingnya yang baru saja selesai melakukan kegiatan operasi.

"Ibu ... Bapak ... Kalian harus tenang dulu, kegiatan operasi pasien atas nama Darren ini ... " ucapannya terhenti.

"Gimana, Dok?!" desak Tante Maia, ibunya Darren.

"Operasinya lancar Bu, tapi ... Tuhan berkehendak lain ..."

"... Nyawa nak Darren, tidak bisa kita selamatkan," sambung dokter itu.

Huaaa... Hikss...

Tante Maia menangis kencang serta terus menerus menjerit-jerit memanggil nama Darren. Air mataku pun tak bisa dibendung lagi, semuanya roboh, rapuh, dan tak berdaya. Miris. Rasanya, melihat tubuh Darren yang terbaring kaku dipenuhi selang operasi, hati seakan terkoyak, penuh sayatan pedang kesedihan dan irisan bawang kekecewaan. Wajahnya yang kian memucat dan maniknya yang telah terpejam selamanya.

Berharap ada satu keajaiban yang Tuhan berikan saat ini. Bahkan aku rela bernegosiasi dengan alam, ambil satu kebahagiaanku untuk mengembalikan Darren yang seutuhnya. Namun, kebahagiaanku hanya dia, hanya Darren. Tak adil memang.

Kenapa orang yang baik lebih cepat diambil Tuhan?

"Pak! Jenazahnya mau dikremasi kapan?" bisik salah satu suster pada Om-nya Darren.

"Tunggu, Sust! Aku belum pamitan dengannya," Aku menyanggah.

"Baiklah," balas suster tersebut sebelum meninggalkan kami; Aku, Tante Maia, Om-nya Darren dan ... jenazah Darren.

Hikss... Hikss...

Kusentuh tangan dan bahu kanannya yang selalu menjadi tempat sandaranku, kini terasa kaku dan sangat dingin. Kututupi tangannya yang dingin itu dengan selimut yang penuh bercakan darah di ruang operasi; lalu menangis di atasnya setelah Tante Maia dan Om-nya pergi.

Aku terisak, menumpahkan semua rasa salahku dan kesedihanku. "Darren bangun, hikss... Darren...!"

"Bangun Darren! Kamu harus menyanyikan lagu untukku lagi! Kamu harus mengalunkan tekanan piano lagi untukku! Kamu harus memberikan sandaranku lagi untukku! Kamu harus, kamu harus Darren, harus!" Aku berteriak, berharap ia bisa terbangun kembali. Namun nahas, ia tak pernah membukakan matanya kembali, kendati aku terus menerus terisak di sampingnya. Aku berpikir, mungkin Darren akan kembali hidup karena peduli denganku yang mengkhawatirkannya. Tapi semuanya hanya halusinasi, hanya impian belaka.

Ahha!

Aku menghapus cepat jejak air mataku, lalu mencoba tersenyum dan membujuk pada Darren, aku membisik di samping telinganya, "Darren, bangun! Kamu bilang, bakalan ajarin aku cara memainkan piano dengan lagu Dandelions, kan? Kamu bilang aku harus mengerti arti lirik itu dulu, kan? Aku udah ngerti, Darren! Udah ngerti!"

"Sekarang, kamu harus ajarin aku, kamu pernah janji. Ajari aku lirik Dandelions kesukaanmu itu, Darren, ajari ..." sambungku.

Tak ada gubrisan sama sekali. Melihat tubunya yang mengkaku, tak bergumam sekalipun dan tak bisa menatapku lagi, seakan ia berbicara, "tapi aku udah gak ada, Na."

Hiksss....

Aku kembali menangis sembari memeluk tangannya, "Maafin aku, Darren, maafin..."

...

"Maaf, Dik, jenazahnya mau segera kita kremasi," izin seorang perawat yang diikuti beberapa orang perawat lagi di belakangnya.

"Enggak! Jangan ambil Darren!" sanggahku.

I Have a Crush on You [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang