Bab 9: Tentang Seutas Kesadaran

55 14 1
                                    


***

"Penyesalan hanya ada diakhir, jika yang diawal itu namanya peraturan"

***



Darren semakin mendekat, menerobos jarak antaranya denganku. Menatap penuh netraku, lalu mencoba mendekatkan bibirnya dengan bibirku yang masih mengatup kuat. Aku memejamkan mata mengikuti arus yang dibawanya. Pikiranku terus berputar.

Mengapa harus menjadi seperti ini?

Apa yang harus kulakukan saat ini?

Apa dia benar-benar menciumku?

Rasanya aku ingin menangis.

Dengan cepat aku memundurkan diri dan mendorongnya pelan agar menjauh. Perlahan, tetesan air, terjun dari kelopak mata diiringi isakan yang tertahan dari mulutku. Aku menatapnya sendu; kecewa. Setelahnya aku meninggalkan dia seorang diri. Berharap bisa menjernihkan pikirannya.

"Hiks ... Kita hanya teman."

"Dan selamanya, h-hanya akan menjadi ..."

"TEMAN!"

Itu ucapku sebelum meninggalkannya sendiri di Ruang Musik.

Dia bilang, selain ujian, masih ada lagi yang harus ia siapkan. Apa ini yang ia siapkan selama seminggu itu? Apa ini yang membuat dirinya tak mau bertemu dan tak ingin diganggu olehku selama seminggu itu? Apa ini?

APA INI?!

BAHKAN SAAT INI AKU TAK INGIN MENEMUINYA LAGI!

***

Paginya ia masih terlihat memasuki ruangan kesayangannya itu. Ia terlihat baik-baik saja. Aku tak ingin memperdulikan dia. Aku mencoba menjauhinya hari ini. Darren harus berpikir kembali apa yang ia lakukan kemarin.

"Na?!" panggilnya setiap kali kita berpapasan. Namun, aku terus berpura-pura tak mendengarnya.

...

Hari kedua, ketiga dan keempat, tak terlihat batang hidung Darren di lingkungan sekolah ini. Meja piano pun senantiasa tertutup, menjadikannya sedikit berdebu. Aku tak boleh memperdulikan itu. "Jangan masuk!Darren pasti akan datang jika aku masuk!" tekadku dalam hati.

...

Ckittt...

Di hari kelima, ia datang ke sekolah dengan motor tuanya. Memang, seminggu setelah dilaksanakannya ujian, para guru memberikan kesepakatan untuk masuk ke sekolah meski tak ada yang namanya belajar. Hanya belajar mandiri, seni atau mungkin olahraga. Tak ada yang namanya belajar di dalam kelas.

Dan dihari kelima ini, aku melihat Darren yang berbeda. Tatapannya yang kosong, tubuhnya yang semakin kurus, rambut yang tak tertata dan mulut yang membungkam tatkala berpapasan denganku. Baiklah! Mungkin ini akhir dari kebersamaan kita saat dulu. Ketahuilah, orang yang datang pasti akan pergi. Salahku juga tak menerimanya dengan baik.

"Serius gak mau aku anter?" tanya Nara, khawatir.

Aku terkekeh, "Gak usah, Nara, udah biasa kok,"

"Kamu pulang duluan aja, gakpapa!" sambungku sembari menepuk bahunya yang lebih pendek dariku.

"Yaudah, hati-hati." balas Nara sebelum ia pergi.

I Have a Crush on You [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang