Bab 19: Tentang Sebuah Rencana

30 7 0
                                    

***

"Beri aku sebuah lagu, maka aku akan mengingatmu."

***

Sudah seminggu semenjak ujian akhir dilaksanakan, aku belum mengunjungi Ruang Musik lagi. Padatnya kegiatan akhir-akhir ini membuatku tak bisa menyempatkan diri berkunjung ke sana, bahkan hanya untuk sekedar melewati ruangan itu.

Kini aku harus kembali mendatangi Ruang Musik sebelum kesibukan kembali melanda, apalagi setelah ujian akhir ini semua anggota sekolah akan mempersiapkan pelulusan. Hatiku terkadang masih teriris tatkala mengingat Darren yang pergi lebih dulu. Padahal, kalau masih ada, pasti sekarang kita akan membahas beberapa soal ujian yang muncul kemarin sembari tergelak; dan mungkin Darren akan lebih banyak lagi mengenalkan alunan-alunan lembut pianonya lebih banyak.

"Aku mau ke Ruang Musik, Ra," pamitku.

Nara menengadah melihat aku yang berdiri lebih dulu dari kursi, "Ah, iya." Kali ini Nara tak lagi berselisih denganku karena Ruang Musik. Sebab, setelah saat kita bertengkar kala itu, aku mencoba menjelaskannya dan menyakinkan jika aku mengunjungi ruangan itu hanya untuk melepas rindu dan sesekali memainkan piano, tidak untuk berhalusinasi kalau Darren masih ada; meski terkadang seperti itu, aku tetap sadar jika Darren telah tiada.

"Hai, Ruang Musik!" sapaku saat baru saja membuka pintu ruangan ini. Dulu aku selalu menyapa Darren saat masuk ke sini, tapi sekarang ... Siapa yang harus kusapa selain ruangan kosong dengan beberapa alat musik ini (?)

Aku menghirup dalam-dalam udara di ruangan ini, rindu rasanya dengan suasana di sini. Hagh ... Ruangan yang membuatku dejavu. Perasaanku masih sama dengan kenangan di Ruang Musik ini. Aroma badan Darren pun serasa masih tertinggal di dalam sini. Aku tak tahu ini nyata atau tidak, yang jelas aku merindukanmu, Darren.

"Beri aku sebuah lagu, maka aku akan mengingatmu," lirihku sembari bercermin dari kursi piano.

Aku meniup debu di penutup piano itu dan mulai membukanya, "Dan kamu, Darren. Kamu sudah memberikanku sebuah lagu yang penuh arti. Oleh sebab itu, aku tak bisa melupakanmu sampai saat ini, bahkan sampai seterusnya," ucapku sebelum mulai memainkan piano dengan lagu yang seperti biasa Darren alunkan untukku, lagu 'Dandelions'.

Setelah di tekanan terakhir aku menyadari sesuatu hal, "Maaf, Darren. Maaf, cintaku bukan untukmu, cintaku tak seperti halnya lagu ini, maaf..." lirihku sambil mulai terisak.

"Kamu selalu mengertikanku, aku yakin sekarang pun kamu masih mengerti akanku di alam sana, maaf."

Setelahnya aku pun membiarkan pintu itu tak terkunci sebelum kutinggalkan. Biarlah sembarang orang memasuki ruangan itu, harap-harap orang yang memasukinya bisa mencintai musik layaknya Darren pada alunan pianonya, pun agar ruangan itu tak kesepian ditinggal orang yang berarti seperti halnya aku yang ikut melara. Aku tak tahu, kapan bisa berkunjung lagi ke sini. Apa mungkin ini yang terakhir (?) semoga saja tidak.

Apapun itu, semoga kamu tenang di sana, Darren.

***

Pelajaran terakhir hari ini ialah Seni. Semua siswa di kelasku disuruh membuat lukisan sketsa. Ini salah satu kekuranganku. Aku mungkin ditakdirkan sebagai penulis, tapi tidak sebagai pelukis. Kata orang, penulis mengabadikan seseorang dalam tulisannya, sementara pelukis mengabadikan seseorang dalam lukisannya. Memang, itu benar adanya. Setidaknya mereka pernah mengabadikannya di salah satu karyanya.

Begitupun denganku. Aku akan senang hati mengabadikan dia dalam tulisanku, sesuai dengan permintaannya. Namun, ntahlah aku akan diabadikan oleh siapa. Aku ingin tahu rasanya diabadikan oleh seorang pelukis.

Sebenarnya pembelajaran sudah dihentikan setelah ujian akhir selesai dilaksanakan tiga hari lalu. Tapi, karena kelas memang tidak ada kegiatan sama sekali, akhirnya guru seni masuk dan meminta kami untuk melukis untuk terakhir kalinya saat SMA.

Karena tak ada seorang pun guru untuk mengawasi, akhirnya semua murid mengerjakan tugas dengan sewenang-wenang. Ada yang mengerjakan sambil duduk di atas meja, ada yang di atas jendela, dan di lantai-lantai, termasuk denganku; aku duduk lesehan di lantai belakang jajaran bangku. Terlihat Ken menghampiriku, aku tak merasa tak enak dengan beberapa tatapan anak kelas yang mengikutinya, "Hai, ada pensil lebih? Aku gak bawa alat tulis," paparnya. Tatapan anak-anak kelas itu terlihat kebingungan. Wajar saja, kita belum pernah bercengkrama dan saling mengobrol banyak satu sama lain di kelas; di tengah-tengah semua siswa.

Tiba-tiba Ken tergelak melihat lukisanku yang baru setengah jadi. "Lukisan apa ini, hahaha!" Kini semua mata tertuju pada kami; khususnya pada Ken yang tertawa terbahak-bahak. Spontan kuambil lembar lukisanku untuk menutupi wajah kami dari tatapan mereka, "Sialan, kenapa aku harus lakuin hal kayak gini!" Aku merutuki diri sendiri.

Ken perlahan terdiam, menyadari yang barusan aku lakukan. Lalu ia menurunkan tanganku yang tengah menutupi wajahnya. Jujur, aku pun sedikit terkejut melihat dirinya yang tertawa begitu renyah. Padahal sejauh ini aku hanya melihat ia tersenyum atau terkekeh pelan. Apalagi anak kelas, mereka langsung dibuat bengong olehnya. Wajar saja, bukan?

Aku senang melihatnya tertawa karenaku. Meski selebihnya karena lukisanku. Setidaknya aku; bahkan semua orang melihat Ken itu manusia biasa, manusia yang bisa memiliki rasa senang, hingga tertawa.

"Sini, lukisan jelek!" ejeknya sambil tertawa kecil sebelum meninggalkanku dengan tatapan anak kelas yang masih terpaku.

Setelah satu jam berlalu, kami pun mengumpulkan semua kertas sketsa, tugas yang barusan selesai dikerjakan. Ken berjalan ke depan dan menghampiriku. Aku mencoba mengintip lukisannya, namun sayang, tubuhnya yang tinggi membuatku tak bisa melihat kertas lukisan yang dipegangnya itu. "Aku mau lihat!" bisikku.

"Ck," ia mendecak sambil meninggalkanku lebih dulu. Asem!

"Hei, guys! Gimana kalo besok kita bikin acara fotoshoot khusus buat kelas kita!" ajak Maydi setelah guru seni meninggalkan kelas. Terlihat semua orang masih kebingungan sambil berdiskusi dengan teman bangkunya masing-masing.

"Mungkin di sebuah taman, pantai atau studio, nanti aku yang atur tempat sama temanya," sambung Maydi. Terlihat mereka pun menyetujuinya, termasuk aku yang tipe 'ikut-ikut saja'.

Tak terasa, tinggal beberapa hari lagi baju SMA ini akan kulepas. Namanya juga kehidupan, tak luput dari kata perpisahan. Ya, seperti yang pernah Tante Maia lucapkan, 'people come and go'. Meski berpisah dengan cara yang berbeda, tetap saja, rasa sakit itu ada. Persetan dengan orang yang berkata 'biasa saja' setelah mengalami perpisahan; mereka hanya berpura-pura. Mana ada orang yang rela ditinggalkan(?). Sekalipun ada, mereka pasti orang gila.

Tapi, balik lagi. Ini kehidupan. Tak ada yang abadi. Semua akan pergi dan sirna begitu saja. Terkadang tanpa bertanya-tanya dan berpamitan. Sekalipun kau berkata akan sehidup dan semati, itu tak akan terjadi jika alam tak menyetujui.

Inilah cara kerja kehidupan. Kau harus menghargai dan menerima semua jalan yang telah ditentukan!

❄❄❄










I Have a Crush on You [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang